Part 17

"Kamu terlalu mengada-ada, Des. Sudah Abang bilang juga, rumah Abang ini kelihatan serem karena memang rumah tua, peninggalan Belanda. Tapi bukan rumah berhantu juga kan?" Moses agak tersingung karena Deasy menganggap rumahnya seram.

"Bukan karena rumah tuanya sih, Bang. Cuma Deasy merasakan ada yang aneh aja dari rumah ini. Deasy juga gak tau apa itu, pokoknya serem aja gitu," kata Deasy sambil bergidik ngeri.

Moses semakin manyun, baru kali ini ada orang yang berani mengatakan rumahnya seram. Orang yang baru pertama ke rumah ini malahan. Dia sendiri yang seumur hidup tinggal di rumah ini, tidak menemukan keanehan sama sekali. Apa karena dia sudah terbiasa? Entahlah.

"Yuk, kita makan aja! Mungkin kamu lagi ngigau karena lapar," ajak Moses.

Deasy cemberut, tapi tetap turun dari tempat tidur dan mengikuti Moses keluar kamar. Deasy mengedarkan pandangannya, ternyata benar, rumah itu tak seseram kelihatannya dari luar.

Interior rumah sudah modern, berbanding terbalik dengan bagian luarnya yang terlihat kuno. Semua barang mewah di rumah itu sepertinya keluaran terbaru.

"Kenapa? Kok sepertinya kamu heran lihat rumahku?" tanya Moses.

"Perabotnya bagus-bagus, sepertinya mahal juga," kata Deasy jujur.

"Itu barang-barang hasil produksi perusahaanku, kami bergerak di bidang eksport mebel. Aku sengaja mengisi rumahku dengan mebel ini sekalian promosi. Itu juga kenapa interior di rumah ini modern, karena rumah ini juga tempat syuting iklan buat produk mebelku." Tanpa diminta Moses sudah menjelaskan panjang lebar.

Deasy hanya mengangguk seperti orang yang benar-benar paham, tapi sejatinya gadis itu tak tertarik dengan ucapan Moses tentang mebel. Yang ada di pikiran Deasy saat ini malah soto ayam buatan Bi Sari yang katanya enak. Apalagi aroma soto itu mulai tercium oleh hidungnya yang mancung.

Deasy melihat sebuah pintu yang indah berdiri kokoh di depannya, sepertinya terbuat dari kayu jati. Pintu itu penuh ukiran dan berpelitur mengkilat. Tapi...seperti ada aura aneh saat Deasy menatap pintu itu. Ada sesuatu di balik pintu yang menarik Deasy untuk masuk ke dalam sana, entah apa.

"Heh nih anak malah melamun di sini, kesambet baru tau rasa loh. Ayok cepat ke dapur, Abang sudah lapar." Moses menarik tangan Deasy yang masih tertegun di depan pintu berukir, membuat gadis itu sadar dari lamunan.

"Ini ruang apa, Bang? Yang pintunya bagus itu," tanya Deasy penasaran.

"Itu perpustakaan. Nanti habis makan, Abang bawa kamu melihat-lihat. Kalau kamu suka membaca, pasti kamu akan betah di dalam sana. Tapi ada satu syarat, buku dari dalam sana gak boleh dibawa keluar, meski pun itu masih di dalam rumah ini," jelas Moses.

"Kok gitu? Aneh banget dah. Emang siapa yang bikin syarat kayak gitu?" tanya Deasy heran.

"Itu perpus peninggalan Papa. Papaku suka sekali membaca, terutama kisah misteri. Kalau kamu pengemar cerita Sherlock Holmes, tempat itu serasa sorga bagimu. Semua buku dan aksesories berbau Sherlock lengkap banget di dalam sana."

"Wah, sepertinya sih itu tempat favorit Thalita. Temanku satu itu aneh banget, sukanya cerita detektif-detektifan gitu, Bang. Boleh gak Thalita kuajak ke sini lain waktu?" tanya Deasy.

"Boleh saja, Abang senang ada yang main ke rumah Abang. Sepi tau di sini, cuma Abang berdua Bi Sari saja. Kadang ada sih karyawan Abang yang ke sini buat syuting iklan, tapi itu sangat jarang."

Tak terasa mereka sudah tiba di ruang makan. Seperti semua perabot di rumah itu, meja makan milik Moses terkesan mewah dan elegan. Meja besar dari kayu yang dipelitur mengkilap. Begitu juga dengan kursi-kursinya. Deasy jadi teringat meja makan milik Beast, dalam film Beauty and the Beast yang pernah ditontonnya.

"Melamun lagi? Ini bocah hobi banget melamun, dah. Beneran kesambet baru tau rasa," gerutu Moses.

"Ah, Abang ini gak asyik banget deh. Deasy bukan melamun kok, cuma kagum aja sama meja makannya, kayak di film-film horor," kata Deasy asal.

"Den Moses, Neng Deasy, ayo buruan makan! Bibi sudah siapin nih, keburu dingin nanti." Bi Sari sudah memanggil keduanya dari ujung meja.

"Iya, Bi. Aku udah lapar banget, malah bocah tengil ini melamun mulu." Moses masih menggerutu.

"Deasy gak melamun kok, Bang. Kan Deasy lagi selidiki, Abang ini beneran bukan penculik dan pembunuh kok."

Deasy berlari ke dekat Bi Sari, diciumnya asap soto yang mengepul di atas mangkok. Moses dan Bi Sari tertawa melihat kelakuan norak gadis itu.

"Dasar bocah! Cepat makan, kamu! Jangan melawak mulu!" titah Moses.

Bi Sari mulai meracik soto untuk majikannya. Moses suka dengan racikan soto dan semua pernak-perniknya, tapi terlalu malas untuk meraciknya sendiri. Bi Sari yang mengasuh Moses dari kecil, sudah paham benar tabiat majikannya itu.

Dulu, awal bekerja di keluarga papa Moses, Bi Sari masih gadis. Dia sempat menikah dengan Pak Tono, pegawai di kantor papa Moses. Setelah memiliki dua momongan, Pak Tono meninggal dunia karena sakit paru-paru. Jadi Bi Sari kembali bekerja di keluarga Moses untuk biaya hidup kedua anaknya.

"Bi, Deasy mau diracikkan juga kayak gitu, boleh?" tanya Deasy.

"Boleh atuh, Neng. Masa gitu aja gak boleh sih?"

"Ya kan di sini Deasy cuma tamu, atau bisa dibilang calon korban keganasan yang punya rumah, kali aja kan gak boleh nyolot," kata Deasy sambil melirik Moses yang sudah asik dengan soto di mangkoknya.

"Dasar bawel," omel Moses.

Bi Sari tertawa melihat kelakuan dua anak muda di depannya ini. Mereka selalu berantem seperti anjing dan kucing, tapi sepertinya cocok satu dengan yang lain.

Berbeda sekali perlakuan Moses pada Renata. Cewek arogan itu lebih banyak mengatur dan menuntut Moses, tak pernah bersikap hangat pada cowok itu.

Dalam hati Bi Sari menebak, Renata cuma memanfaatkan Moses saja. Moses pun tampaknya juga menyadari hal itu, tapi sengaja membiarkannya. Entah, hubungan apa sebenarnya yang sedang mereka jalin saat ini, Bi Sari kurang begitu paham.

"Ih Bibi, melamun mulu. Pasti kangen sama pacarnya ya?" tanya Deasy jahil.

"Huss! Masa sih Bibi udah tua gini masih pacar-pacaran, Non. Non Deasy kali, yang pacaran sama Den Moses." Bi Sari ganti meledek Deasy hingga wajah gadis itu merona merah.

"Deasy sih mau, Bi. Tapi entah Bang Moses, hahaha."

"Kamu itu masih kecil, masih bocah bau kencur. Sekolah dulu yang bener, jangan mikirin pacaran mulu! Yuk, katanya pengen lihat-lihat perpus?" Moses lebih dulu beranjak dari meja makan.

Deasy mengekor di belakang Moses. Padangan gadis itu berubah takjub, saat Moses membuka pintu jati indah berpelitur. Perpustakaan yang sangat menakjubkan, persis seperti perpustakaan di Hogwart, sekolah sihir tempat Harry Potter menuntut ilmu. Tapi...ada sesuatu yang membuat bulu tengkuk Deasy meremang saat melangkah ke dalam perpustakaan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!