Part 9

"Den Moses, nih Bibi udah balik." Bi Sari melihat yang mengintip dari celah pintu gerbang berteriak pada Moses yang hendak menutup pintu depan.

"Wah, pasti Bibi kangen banget sama aku ya, makanya cepat-cepat balik?" Moses berlari kembali ke arah pintu gerbang.

"Mas, bantuin bawa tas Bibi masuk ya! Berat ini mah," kata Bik Sari pada Bang Ojol yang mengantarnya.

"Siap, Bi," jawab Bang Ojol.

"Langsung ke belakang aja ya, Mas!" seru Bi Sari yang sudah berjalan lebih dulu.

"Siap, Bi."

"Eh, Bi! Bibi udah kenal sama Bang Ojol itu? Kok main suruh bawa ke belakang aja?" tanya Moses yang mengekor di belakang Bi Sari.

"Dia langganan Bibi, Den. Biasa ngantar Bibi kalau ke pasar atau pergi ke mana gitu," jawab Bi Sari.

"Emang Bibi punya aplikasi ojol? Kok bisa langganan sama dia?" Moses mengerutkan kening heran. Setau Moses, ponsel Bi Sari itu ponsel kentang yang hanya bisa untuk SMS dan telepon saja.

"Bibi pesan lewat SMS, gak pakai aplikasi kok, Den. Dia juga biasa numpang berteduh di depan situ kalau nunggu orderan."

"Oh, gitu. Pantesan saja kayak udah akrab." Moses menggaruk kepala yang tidak gatal.

Bang Ojol sudah kembali ke depan setelah meletakkan tas milik Bi Sari di belakang. Pemuda itu kemudian mendekati Bi Sari yang masih ngobrol dengan majikannya di depan.

"Sudah, Bi. Tasnya sudah saya letakkan di depan pintu dapur," kata Bang Ojol sopan.

"Oh iya, terima kasih ya, Mas. Sebentar, Bibi ambil dulu ongkosnya." Bi Sari hendak mengambil dompet, tetapi Moses sudah mengulurkan selembar uang berwarna merah pada Bang Ojol.

"Ini, Bang. Kembaliannya buat Abang aja."

"Wah, ini masih banyak kembaliannya dari pada ongkosnya lho, Den." Bang Ojol ragu menerima uang dari Moses.

"Gapapa, Bang. Anggap aja rejeki! Makasih ya, udah ngantar Bibi saya."

"Kalau begitu, terima kasih banyak ya, Den. Saya pamit dulu. Mari, Den. Mari, Bi."

"Iya, Bang."

"Iya, Mas."

Bi Sari dan Moses yang kompak mengatakan 'iya', membuat mereka bertiga tertawa. Yah, walau gak ada yang lucu sih sebenernya, hahaha.

Moses mengekor di belakang Bang Ojol untuk mengunci pagar, sedang Bi Sari masuk ke rumah, sambil menenteng tas yang berisi pakaian. Tas yang tadi di bawa Bang Ojol, berisi oleh-oleh yang dia bawa dari Kampung.

"Kok udah balik, Bi? Katanya mau ijin dua minggu? Ini kan baru sepuluh hari lho." Moses duduk di meja makan yang letaknya di dekat dapur setelah mengunci gerbang.

"Emak Bibi udah sehat kok, Den, jadi Bibi kembali aja. Kasian juga kalo Den Moses sendiri lama." Bi Sari mengeluarkan oleh-oleh yang dibawanya dari Kampung.

"Baguslah kalo kayak gitu. Aku kan jadi gak kesepian lagi. Ngomong-ngomong, masak dong apa gitu dong, Bi! Aku lapar dan badanku juga capek semua, kayak habis digebugi massa. Aneh banget deh." Moses menggeliat, berharap rasa kaku di tubuhnya lenyap tetapi malah makin terasa.

"Bibi ada bawa lauk nih, Den. Dendeng ragi. Jadi tinggal masak nasi aja."

"Kalo nasi sih ada, Bi. Kemarin sore aku masak tapi belum kumakan. Bawa sini dong, Bi! Kita makan bareng aja, pasti Bibi juga lapar."

"Tau aja kalau Bibi lapar, hahaha. Sebentar, Bibi siapkan dulu, Den. Tunggu!"

Setelah kenyang, Moses berjalan ke halaman belakang. Halaman itu penuh dengan tanaman lily berwarna putih. Aroma wangi juga tercium sampai ke pintu dapur, membuat Moses tergoda untuk melangkah ke luar dan menikmati keindahan taman belakang.

Bunga lily adalah bunga favorit sang Mama. Dulu, semasa masih hidup Mama yang menanam semua tanaman lily di halaman ini. Dengan tangannya sendiri tentu saja. Mama bahkan bisa menghabiskan waktu seharian untuk mengurus tanamannya.

Warna putih bunga lily sering dipakai sebagai lambang cinta suci yang penuh pengorbanan. Karena itu bunga lily kerap hadir dalam acara-acara pernikahan. Namun tak semua bunga lily di halaman belakang berwarna putih, ada satu rumpun yang berwarna orange.

Moses mendekat ke arah bunga yang berbeda itu karena ingin mengamati lebih lanjut. Pemuda itu mengerutkan kening karena ada yang dia rasa aneh. Kalau di sekitar rumpun yang lain, terlihat rumput di antara rumpun lily tumbuh subur dan tampak rimbun, berbeda dengan di tempat yang menuju bunga lily orange. Rumput di tempat itu banyak yang roboh, seperti sering terinjak.

"Aneh, kok ini seperti bekas dilewati orang ya? Siapa sih yang pergi ke sini? Kalau Bi Sari ada di rumah sih masih wajar, ada kemungkinan Bik Sari yang kemari. Tapi kan Bi Sari baru saja tiba, siapa dong yang kemari?" gumam Moses.

Moses mengamati sekitar tempat itu, dan menemukan beberapa puntung rokok di dekat tempat yang tanahnya membentuk lengkungan. Tempat seperti sering diduduki untuk waktu yang lama. Puntung rokok itu juga berkumpul di satu tempat, tak berceceran. Itu berarti puntung-puntung rokok sengaja diletakkan, tidak dilempar sembarangan.

"Makin aneh nih. Apa jangan-jangan memang ada orang yang menyusup kemari ya? Masa sih maling? Tapi kalo maling, ngapain dia duduk lama di sini? Mengamati lily? Atau ... mau mencurinya? Masa sih bunga lily mahal harganya?" Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Moses.

Moses terus menyusuri hamparan bunga lily di hadapannya tetapi tak ada lagi dia temukan keanehan seperti di tempat lily orange tadi. Semuanya dalam keadaan normal, tak terjamah. Rumput-rumput tampak tumbuh tanpa pernah terusik oleh jejak kaki seperti di lily orange itu.

Puntung rokok atau benda mencurigakan lain juga tidak Moses temukan. Namun ada sesuatu yang tampak janggal di tempat itu, entah apa. Moses lebih memperhatikan sekeliling untuk mencari kejanggalan itu. Setelah sekian lama, barulah apa yang dicari pemuda itu ketemu.

"Sudah sepuluh hari Bi Sari mudik, itu artinya tidak ada yang mengunjungi tempat ini kan? Selama sepuluh hari ini juga tidak juga turun hujan, tapi tanah di halaman belakang ini basah seperti rajin disiram. Benar-benar aneh sekali."

Menggaruk kepala yang tidak gatal, menunjukkan Moses sedang berpikir keras dengan pengamatannya ini. Tak mungkin tanaman ini menyiram diri mereka sendiri kan? Pasti ada yang melakukannya. Tapi, siapa?

Moses tak mempunyai tukang kebun. Bila tempat itu sudah kotor sekali dan perlu dibersihkan, Moses akan memanggil Pak Giman, suami Bi Minah, untuk membersihkan tempat ini. Namun selama sepuluh hari terakhir Moses tak meminta Pak Giman kemari.

"Masa sih hantu yang nyiram? Gak mungkin ah! Dia kan gak punya raga, gimana caranya pegang selang? Hahahaha, aneh-aneh aja pikiranku."

Moses masih asik berpikir, tanpa sadar hari sudah berganti senja. Burung-burung sudah kembali ke sarangnya, yang terletak di dahan pohon yang banyak tumbuh di situ. Suara kelelawar yang baru keluar dari tempat persembunyian dan pergi berburu mangsa, membuat Moses tersadar tengah melamun.

Dan sepertinya Moses juga tak sadar, ada sepasang mata yang terus mengawasinya. Sepasang mata yang terlihat misterius.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!