Part 11

Renata yang sedang berbaring di kamarnya merasa gelisah. Ada sesuatu pada dirinya yang menggelegak untuk segera dipuaskan. Rasa itu begitu kuat, hingga Renata tak kuasa untuk menepisnya.

Gadis itu meraih ponsel yang tadi dia taruh di atas nakas, dan segera menekan nomor Moses, satu-satunya kontak yang tersimpan. Memang Renata tak pernah menghubungi orang lain selain Moses menggunakan ponsel itu, bukan karena tak mau, tetapi memang tak ada lagi kontak lain tersimpan di sana.

"Angkat dong, Ses! Kemana aja sih kamu ini? Ditelfon bolak-balik kok gak diangkat," gerutu Renata kesal.

Sekali lagi Renata menekan nomor Moses, tapi sampai nada tunggu berakhir cowok itu tak juga menjawab telfon.

"Moses! Kamu udah mati ya? Kok gak angkat-angkat dari tadi." Renata melempar ponselnya ke kasur, kemudian beranjak ke arah jendela.

Jendela kamar yang ditempati Renata menghadap ke halaman samping villa. Jendela itu lebar dan tanpa teralis. Entah kenapa pemilik villa tak menempatkan teralis di sana, padahal jendela lain di villa itu berteralis.

Keinginan Renata yang sedari tadi membuatnya gelisah, menjadi semakin tak tertahankan. Gadis itu ingin menuntaskan keinginan itu bersama Moses sang kekasih, tapi tak dapat dihubungi.

Tubuh Renata makin lama makin terasa gerah, seiring kegelisahannya yang semakin memuncak. Untuk membuat dirinya merasa sedikit lebih sejuk, gadis itu membuka jendela.

Semilir angin pegunungan yang masuk melalui jendela yang terbuka, membuat Renata memejamkan mata dan menghirup udara lebih dalam.

"Moses, kamu kemana sih, Sayang? Aku lagi pengen banget kamu di sini," gumam Renata.

Langit di luar jendela tampak cerah. Bulan penuh yang menggantung di langit, membuat malam terlihat benderang. Pemandangan di luar jendela tampak jelas meskipun dengan sedikit lampu.

Di bangku taman halaman samping, Renata melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Gadis itu menyipitkan mata, agar lebih jelas melihat. Perasaan takut membuatnya hendak menutup jendela.

Tangan yang hampir menyentuh daun jendela, segera berhenti ketika Renata menyadari yang bergerak itu Pak Giman. Laki-laki tua itu khusuk melihat benda pipih di tanganya yang tampak berpendar dalam sinar yang temaram, ponsel. Ya, Pak Giman asyik melihat ponsel sambil tubuhnya bergerak berirama.

"Pak Giman, boleh juga tuh orang," kata Renata lirih.

Perlahan gadis itu melangkah keluar dari kamarnya melalui jendela yang telah dibukanya kembali lebar-lebar. Renata menghampiri Pak Giman yang sedang fokus ke ponselnya. Apa yang dilihat Pak Giman di ponsel, membuat napas Renata makin memburu.

Pak Giman bukan tak tahu kedatangan Renata, pria tua itu hanya berpura-pura tak menyadarinya. Seringai penuh kemenangan segera berkembang di bibir Pak Giman, ketika pria itu merasakan hembusan napas Renata mengenai tengkuknya. Rupanya secara tak sadar, Renata semakin mendekat ke arah Pak Giman.

"Pak Giman," kata Renata serak.

"Iya, Non. Kenapa? Pengen?" tanya Pak Giman tanpa menoleh.

"Iii-iya, Pak," jawab Renata semakin serak.

"Mau dimana? Di sini apa di kamar Non Renata?" Kali ini Pak Giman menoleh, dan mengelus pipi mulus gadis itu.

"Terserah Bapak saja." Renata memejamkan mata, dan memegang tangan Pak Giman.

Seringai jahat segera tersungging di bibir Pak Giman yang dihiasi kumis tebal. Sepertinya sesuatu yang tadi dicampurkan istrinya ke dalam minuman Renata sudah bekerja.

Melihat wajah gadis itu yang sudah penuh harap, membuat Pak Giman yakin, gadis itu sudah mulai kehilangan kewarasannya. Tak ada Moses, dirinya akan dijadikan orang yang bisa memuaskan diri oleh Renata.

"Sini, Non! Duduk di sini dulu! Tetap tutup mata ya!" Pak Giman membimbing Renata agar duduk di bangku.

Pria tua itu kemudian mengatur ponselnya agar bisa mengarah ke bangku taman itu dengan menaruhnya di atas tripod. Rupanya Pak Giman sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.

Setelah menyalakan mode mengambil gambar video, Pak Giman mendekat ke arah Renata. Dalam pengaruh obat yang kuat, Renata benar-benar kehilangan akal sehatnya. Gadis itu bertindak sangat agresif, membuat senyum Pak Giman semakin lebar.

Sesekali membenarkan posisi tubuh Renata agar dirinya mendapat sensasi yang diinginkan, Pak Giman membiarkan Renata bekerja lebih keras. Suara napas gadis itu yang semakin memburu, membuat Pak Giman tertawa penuh kemenangan.

Ponsel Pak Giman sudah menunjukkan kalau sudah merekam selama empat puluh menit, tapi Renata masih tetap bersemangat. Pak Giman yang tak lagi muda, mulai kewalahan.

"Masih lama, Non? Bapak udah gak tahan nih. Badannya Non Renata berat juga," kata Pak Giman dengan napas ngos-ngosan.

"Bentar lagi, Pak. Diam aja kalau Bapak capek, tapi tahan ya! Bentar lagi aku kelar."

Renata semakin brutal melakukan aksinya, membuat Pak Giman meringis karena menahan tubuh gadis itu. Tak lama semuanya berakhir disertai teriakan tertahan dari keduanya.

Satu jam lebih dua puluh menit, semuanya berakhir dengan wajah puas dari keduanya. Buru-buru Pak Giman mengambil ponselnya, sebelum Renata sadar kalau aksi mereka berdua telah direkam.

"Pakai bajunya, Non! Nanti masuk angin lho," kata Pak Giman sambil menyalakan sebatang rokok.

Renata terbatuk ketika asap rokok tercium oleh hidungnya.

"Jangan merokok dong, Pak! Bikin mual aja. Lagian cewek hamil kan gak boleh dekat-dekat orang yang merokok," kata Renata sewot.

"Ya maaf, Non! Bapak biasa merokok setelah begituan. Kalau Non terganggu asap rokok Bapak, Non balik aja ke kamar, gih! Dingin lho di sini, nanti malah pengen lagi. Bapak udah gak kuat kalau ada ronde kedua, hahaha."

Renata semakin kesal mendengar ucapan Pak Giman, gadis itu pergi begitu saja setelah meraih pakaiannya yang berserakan. Pak Giman hanya terkekeh melihat ulah Renata, kemudian melanjutkan menghisap rokok yang terselip di dua jarinya.

"Dasar! Habis manis sepah dibuang, hahaha. Lihat aja, Non! Pasti besok kamu bakal lebih ramah sama Bapak. Ramah, rajin menjamah, hahaha."

Suara kekehan Pak Giman masih terdengar ketika Renata sampai di kamarnya. Setelah menutup jendela, gadis itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Mandi di bawah shower yang mengalirkan air hangat, membuat tubuh lelah Renata yang baru saja bekerja keras mejadi lebih rileks. Gadis itu memejamkan mata menikmati guyuran air.

"Gila! Bisa-bisanya aku main dengan kakek-kakek peyot. Heran deh, kenapa tiba-tiba aja pengen banget. Apa bawaan orok ya?" gumam Renata.

"Bodo amat dah. Mau bawaan orok atau bukan, yang penting nikmat." Renata mengakhiri mandinya, dan beranjak keluar dari kamar mandi.

Renata mengucek matanya berulang, mengira apa yang sedang dilihatnya saat keluar dari kamar mandi adalah sebuah halusinasi. Gadis itu melihat sesosok tubuh sudah berbaring di ranjangnya.

"Oh, tidak!" keluh Renata.

"Kenapa, Sayang? Masa gitu aja keok sih? Yuk cepetan ke sini! Udah gak tahan."

Tubuh Renata seketika terasa lemas.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!