"Maksudku, biarkan saja media berpikir seperti itu. Tak perlu memberi klarifikasi apapun," ucap Luke santai tak peduli dengan keadaannya sekarang.
Arthur menghela nafas. "Apa kau sedang tidak bisa berpikir jernih sekarang?" tanyanya dengan mata yang terlihat lelah. "Baik, kita lakukan saja dulu seperti katamu itu. Lalu, bagaimana kedepannya? Kau mengatakan tak akan bermain di romance, kau pikir para pria normal itu mau bermain peran denganmu?" sentak Arthur tegas. Dia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran dangkal anak didiknya itu.
Semua orang terdiam. Tak ada yang berani menyangkal perkataan pria itu. Bagaimanapun, memang benar apa yang dikatakannya.
"Hanya kau yang bisa memutuskan masa depanmu, Luke. Pilihlah, membuat gosip kencan dengan seorang perempuan atau bermain drama romance? Aku hanya bisa membantu sebatas itu. Pikirkan baik-baik!"
Luke dan semua orang di dalam ruangan terkejut dengan perkataan Sir Arthur. Bagaimana bisa tiba-tiba mengajukan hal itu? Tentu saja, Luke akan menolak gagasan bodoh seperti itu.
"Tidak! Aku mohon tidak ada penolakan kali ini, Luke! Kita bisa membiarkan ini sekali dua kali, tapi tidak untuk ketiga kalinya. Industri ini sangat kejam, Luke. Mereka bisa menjatuhkan kita kapan saja," ujar Arthur dengan suara yang dalam. Mengabaikan penolakan yang akan disuarakan pria yang sudah seperti anaknya sendiri. Ya, ini tidak hanya tentang pemilik agensi dan aktornya. Ini lebih dari itu. Ayah mana yang tidak sedih ketika melihat anaknya diterpa berita negatif terus menerus?
Tak ada yang berani berbicara. Bahkan, semua orang seperti menahan nafas mereka masing-masing. Luke seperti dijatuhkan hukuman mati. Ucapan Arthur kali ini adalah keputusan yang mutlak.
Arthur menatap dalam pada pria yang terduduk tanpa nyawa itu. Dia sangat tidak tega padanya. Namun, hanya itu yang bisa ia lakukan. Industri mereka sangat mengerikan. Mereka tidak tau kapan berita-berita kecil seperti ini bisa menjatuhkan perusahaan yang dia bangun dengan susah payah. "Maafkan aku, Luke."
Luke menatap pada pria yang selama ini sudah seperti ayahnya. "Tak apa, aku tau kamu sudah memikirkan matang-matang sebelum mengambil cara ini."
Mereka berdua saling menatap satu sama lain. "Aku sangat menyesal dan telah membuat kesalahan. Aku tidak memberimu izin saat itu ketika kamu meminta untuk mempublikasikan kekasihmu. Maafkan aku," ucap Arthur lagi.
Tatapan mata Luke bergetar. Ya, jika saat itu dia diperbolehkan mempublikasikan pacarnya, dia tak akan mengalami kejadian hari ini. Dia mengalihkan tatapan nya pada jendela kaca yang memberikan tampilan senja di luar sana. Suara kebisingan di bawah tampaknya lebih menarik untuk di dengar. Sinar senja yang mengintip dari balik gedung-gedung tinggi ibukota.
Senja adalah yang terindah ketika tidak ditelan oleh kegelapan malam. Begitulah ia dan industri ini. Jika saja, saat itu Arthur memberinya izin untuk publikasi, dia tak akan menolak harus bermain di drama romance. Namun, karena Arthur melarang, dia harus menjaga hati kekasihnya dengan tidak terlibat dengan perempuan manapun di industri mereka. Matanya masih memandang langit senja ketika dengan samar dia mendengar mereka berpamitan. Sebuah remasan terasa di bahunya kemudian kesunyian kembali datang setelah suara tutupan pintu.
Meninggalkan ia dan kesunyian yang berbaur dengan segala pemikiran.
*****
Pripta menghembuskan nafas ketika dia sudah sampai di lataran depan mansion keluarga 'Payne'. Mansion ini benar-benar seperti kastil yang sering ditampilkan di film. Sangat besar dan mewah dengan khas arsitektur Victoria. Pilar-pilar putih dengan ukiran berdiri tegak menghiasi teras mansion. Bangunan tua itu masih nampak terawat walau sudah melewati beberapa generasi. Lihatlah, bagaiman lantai teras itu mengkilap. Halamannya sangat luas dan memiliki taman yang ditanami berbagai macam bunga. Bahkan, di tengah halaman ada kolam hias dengan patung perempuan dengan sayap malaikat di tengahnya. Melihat bagaimana mansion ini masih berdiri tegak dengan indah. Sepertinya, neneknya masih memiliki banyak uang.
Pripta masih melihat-lihat mansion yang sudah lama tidak ia pijak ini ketika seseorang mengetuk kaca mobilnya. Dia segera keluar dari mobil mengetahui ibunya juga sudah sampai. Astaga, udara di mansion ini sangat segar dan terjaga sehingga membuat Pripta merasa sangat tertekan untuk sekedar bernafas. Bagaimanapun, jika dia berhasil keluar dari mansion ini tanpa melibatkan drama dan tangisan, dia akan mengapresiasi dirinya sendiri.
"Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya Paula melihat wajah putrinya yang sangat tidak ikhlas memijakkan kaki disini.
Pripta menggelengkan kepala yang memperlihatkan raut malas yang teramat sangat.
Paula tentu sangat tau mengapa putri nya bersikap seperti ini. Jadi, dia hanya bisa menerima sikap putrinya itu kali ini. "Cobalah, untuk tersenyum."
Pripta melirik ibunya dari samping. Yang benar saja. Ibu menyuruhnya untuk tersenyum namun apa-apaan dengan raut wajah ibunya itu? Dia bahkan menampilkan raut yang lebih sangar daripada singa batu di depan teras mansion.
Yeah, setelah sekian tahunan lamanya. Dia kembali memijak lantai marmer mewah mansion keluarga ibunya ini. Oh, Pripta akan memasuki pintu neraka dunia. Pintu itu terbuka seperti mulut raksasa yang akan menelan siapa saja yang berani masuk kedalamnya.
Dibalik pintu masuk, mereka disambut oleh kesunyian ruang tamu. Ruang tamu ini adalah puncak dimana kemewahan dan keeleganan tercipta. Langit-langitnya tinggi, menciptakan rasa ruang dan grandeur. Dinding-dindingnya yang dilapisi dengan panel kayu mahoni yang mengkilap. Lampu kristal Chandelier menggantung di tengah ruangan.
Apa yang dibutuhkan ruang tamu mewah? Sofa kulit? Perapian? Lukisan pelukis ternama? Barang-barang antik? Vas kristal? Atau permadani mahal? Tentu saja, itu menjadi pemandangan dari ruang tamu mansion ini. Ruang tamu ini adalah bentuk mutlak dari kekayaan dan kemewahan keluarga ibunya. Dari sini, Pripta bisa mendengar suara keramaian canda tawa. Suara anak-anak kecil yang bertengkar dan menangis. Sangat berbeda dengan ruang tamu yang sunyi ini.
"Tersenyumlah, Pripta. Bahkan jika kamu sangat membenci orang-orang di dalam sana, kamu tetap harus tersenyum," ujar Paula pada putrinya ketika melihat raut ketakutan dan kebencian bercampur di wajahnya.
Pripta menatap ibunya dan tersenyum. Senyum itu terasa berat di wajahnya, seperti topeng yang terlalu ketat. Dia bisa merasakan bagaimana otot-otot wajahnya tegang, memaksa diri untuk membentuk ekspresi yang seharusnya menunjukkan kebahagiaan.
"Aku baik-baik saja, percayalah. Aku akan menjadi putri yang baik hari ini."
Tidak. Jangan menjadi putri ku yang baik. Jika mereka mengatakan sesuatu yang buruk padamu, kau boleh membalasnya. Bahkan, jika kau tak sanggup membalas perkataannya, kau boleh menampar mereka. Tampar mereka sekeras yang kau bisa. Hari ini, kau bisa melakukan apapun yang kau mau," ujar Paula sambil menatap kedalaman mata putrinya.
"Maa?" Pripta memandang pada wanita yang melahirkannya itu.
"Maaf, karena selalu menyuruhmu menahan diri. Maaf, karena Mama kau harus selalu mengalah dan terdiam di hadapan mereka."
*****
HAI TEMAN-TEMAN.
Follow, Vote, dan komen cerita aku ya! Jangan lupa di subscribe juga! Kalian boleh berbagi saran dengan ku. Terimakasih.
Love,
Kak Sera.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Titien Muliasari
Tetap Semangatttt kk, semoga rating pembaca nya akan terus bertambah
2023-12-22
0