'Brak'
Suara pintu mobil yang ditutup dengan ringan membuat pria yang duduk di balik kemudi dan sedang memainkan ponselnya bertanya pada Luke. "Ke apartemen kan?"
Luke berdehem. Pripta menatap pria disampingnya yang begitu naik langsung mengambil bantal untuk di letakkan di pangkuannya. Mata itu langsung menutup seolah-olah tidak ingin diganggu siapapun.
"Kenapa belum jalan juga, Lexie?" tanya Luke lagi pada pria yang katanya asisten manajer Luke bernama Lexie. Pripta mengerjapkan matanya ketika mendengar nama pria itu. Apa sekarang nama 'Lexie' masuk dalam kamus unisexs?
Namun, pria yang tengah cekikikan di depan sambil menggerakkan jarinya di ponsel hanya menyuruh Luke untuk menunggu sebentar. Katanya dia sedang berkirim pesan dengan Julie, yang Pripta juga tidak tau siapa lagi itu.
Luke mendengus dan memerintahkan pada Lexie. "Cepatlah, aku sedikit tidak nyaman sekarang."
Ah, jangan pedulikan pria ini. Sekarang, dia sendiri merasa sangat mengantuk. Kantuk yang tak tertahankan dikombinasi dengan rasa pusing yang teramat sangat. Pelan-pelan matanya terpejam sedikit demi sedikit. Pripta oh Pripta, bagaimana dirimu bisa tertidur di mobil orang lain tanpa kewaspadaan sama sekali?
Samar-samar, dia mendengar suara pekikan dari pria dibalik kemudi. Ah, Pripta juga mendengar namanya disebut-sebut. Apa mereka sedang membicarakannya sekarang? Ia ingin membuka mata mencoba mengembalikan kesadaran, namun tak bisa. Matanya sangat lengket dan sulit terbuka lagi.
*****
Gadis cantik dengan seragam sekolah dan rambut yang dikuncir itu terduduk diam di tangga bagian atas. Tubuhnya bergetar hebat kala melihat pemandangan di bawah kaki tangga sana. Giginya bergemelatuk dan menggigit bibirnya sendiri—mencoba menghentikan gemetar yang ia rasakan.
Berbagai suara teriakan menggema di telinga, menyalahkannya. Tidak, bukan dia. Bukan dia yang melakukan itu. Ingin sekali dia meneriakkan bukan dia pelakunya. Namun tak ada satu huruf pun yang bisa ia keluarkan, melainkan hanya sebuah gelengan, mencoba menolak tuduhan semua orang.
Ia hanya merasakan bahu nya di tolak dengan keras. Ingatan terakhirnya tentang hari itu hanyalah pipinya yang kebas dan telinga yang berdenging keras. Tamparan itu sangat keras, menolehkan mukanya hingga melihat pemandangan penuh darah dibawah sana. Batinnya masih berteriak, "Bukan Aku!"
Matanya terbuka dengan nafas nya yang kacau, silau cahaya matahari pagi menyinari wajahnya. Ingatan tentang mimpi itu membuat kepalanya menjadi sangat sakit.
Dahinya yang mengernyit perlahan-lahan kembali rileks. Sesaat kemudian ia mengerjap, mencoba menyesuaikan penglihatannya dengan ruangan yang asing. Dinding berwarna abu-abu gelap, dengan hiasan-hiasan dinding yang tak dikenalnya, bukan seperti kamarnya yang dipenuhi warna pastel. Bau parfum pria yang kuat, bukan aroma lavender kesukaannya, memenuhi hidungnya.
Dengan panik, Pripta bangkit duduk. Dia memeriksa sekeliling. Furniture di sekelilingnya, sebuah rak buku yang penuh dengan buku-buku tebal, dan sebuah ranjang mewah dengan bedcover yang empuk. Semua itu asing baginya.
"Dimana aku?" gumamnya, kepalanya berputar. Dia mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum terbangun di sini. Apakah dia mabuk semalam?
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dan seorang pria gempal dengan gaya nyentrik memasuki ruangan yang tengah ditempatinya.
"Oh, kau sudah bangun!" seru pria itu. "Maaf, aku membawamu kesini tanpa izin, Pripta. Kau pingsan di perjalan pulang semalam, dan kami tidak tau harus mengantarmu kemana."
Pripta tercengang. Pingsan? Sial, Pripta Louvra. Bisa-bisanya dirimu pingsan di kendaraan orang lain? Lalu, bagaimana pria ini bisa tahu namanya?
Pripta menarik nafas dan menghembuskan nya dengan perlahan. "Baiklah, lalu dimana aku sekarang?" tanyanya, bingung. Dia menatap lagi pria di depannya, memang terlihat tidak asing. Hanya saja, dia tidak ingat pernah melihatnya dimana.
Pria itu tertawa. "Ah, kau tidak ingat?Perkenalkan, aku Lexie, asisten manajer Luke. Aku yang menjemput kalian semalam dan tentu saja, kita di rumah Luke."
Satu persatu kepingan ingatan semalam bermunculan di otaknya. Baiklah, jika dia tidak ingat, tidak apa-apa. Namun, sekarang dia mengingat semuanya dan hatinya langsung saja mengumpat menyerapah nama temannya. Sialan kau, Eleanor!
"Aku... aku harus pulang," ucap Pripta, suaranya terdengar linglung.
Pria itu masih menatapnya dengan senyum yang terlihat hingga matanya. "Tak apa, tak perlu buru-buru. Bersihkanlah dirimu terlebih dulu. Aku membawakan pakaian untukmu dan mari bicara setelah kau selesai, Pripta. Aku yang akan mengantarmu pulang."
Lagi-lagi dia mendengar pria itu menyebut namanya. Dia ingin bertanya lebih lanjut jika pria itu tidak berbalik lebih dulu dan langsung menutup pintu. Jadi, dia hanya bisa menghembuskan nafas pasrah dan bangkit dari ranjang dengan lemas. Kejadian ini membuatnya melupakan tentang ingatan yang selalu menjadi tamu dalam mimpinya.
*****
Setelah selesai membersihkan dirinya, Pripta segera keluar dari kamar yang ditempatinya semalam. Matanya menyusuri isi dalam rumah hingga mata nya mendapati pria yang bernama Lexie itu tengah melambai dari arah ruang makan.
Pripta mendapati pria itu sendirian disana, entah dimana tuan rumahnya sekarang. Di depannya, terhidang makanan yang disiapkan untuk sarapan. Hm, sepertinya dibeli dari luar.
"Makanlah terlebih dulu, Pripta. Luke masih tidur. Disini tidak ada apa-apa karena Luke jarang tinggal disini. Jadi, aku membelikannya dari kafe diluar."
Pripta hanya mengangguk paham dan mengucapkan terimakasih secara singkat. "Apa kau mengenalku?" tanyanya. Itu adalah hal yang ingin ia tanyakan sejak semalam, karena ingatan semalam saat pria didepannya membicarakan tentangnya dengan Luke.
Lexie tertawa kecil. "Tentu saja! Bukankah kau Nona Pripta Louvra Payne? Owner 'ByP'. Hanya saja, jika dikatakan kenal, aku lebih mengenal ibumu, Nyonya Paula."
Pripta mengangguk paham dengan pelan. Namun, Pripta tertarik pada hal lain. Gadis itu mengerutkan dahinya dan berkata, "Kau bahkan mengetahui nama keluarga ku ya."
Lexie tertawa lagi. "Apa itu hal yang tidak boleh diketahui? Keluarga Payne kalian mewariskan ByP turun temurun hingga kalian memiliki tempat tersendiri di industri ini. Aku harap ByP semakin maju di tanganmu."
Pripta bersandar di kursi dan menghela nafasnya. "Entahlah, semoga saja. Terkadang mempertahankan sesuatu lebih sulit daripada memulai nya dari awal."
Ia benar-benar kesal saat keluarga ibunya memaksa nya untuk melanjutkan bisnis keluarga Payne. Mereka menyuruhnya bertanggungjawab akan kesalahannya yang dia sendiri tidak mengerti. Pripta hanya memiliki keinginan untuk melukis, namun sejak mereka memilihnya untuk menjadi pewaris, dia bahkan harus melanjutkan kuliahnya di bidang yang tidak dia sukai. Bahkan, menjadwalkan les privat nya untuk kelas menjahit. Dia benar-benar ingin memberontak, tapi lihatlah dimana dia sekarang? Dunia benar-benar bercanda padanya.
Mendengus kecil untuk meluapkan kekesalannya, lalu kembali menatap pria didepannya. "Kau bilang ingin berbicara sesuatu, apa itu?" tanya Pripta penasaran.
"Ah, benar. Hampir saja terlupa." Lexie menepuk dahinya, tangannya lalu mengambil sebuah map dari kursi di sebelah dan mendorongnya kedepan Pripta.
Pripta menaikkan alisnya, tak paham. Membuat Lexie mengendikkan dagunya dan berkata, "Lihatlah sendiri."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments