Ch 06 : Perjalanan Menuju Lung Xin 2

Belasan bandit telah terbunuh secara menyakitkan, terlihat beberapa bola mata manusia tergelak di tanah, ada yang sudah hancur dan ada juga yang masih utuh, membuat beberapa dari para bandit tak bisa melihat.

Dengan bengis, Rome masih menghajar para bandit dan tak memberikan mereka ruang kosong untuk menghindar. Tarian pedang mematikannya terus menebas beberapa bagian tubuh dengan mudah, tak peduli meskipun mereka tertutupi oleh zirah sekalipun.

Beberapa dari bandit sedikit menjaga jarak mereka, mereka dibuat bingung dan sedikit takut akan teknik bertarung milik pemuda tersebut, tetapi mereka masih tak mau kalah, sebagian mulai menyerangnya bersamaan dengan pedang-pedang mereka yang terhunus.

Tetapi hasilnya tak sesuai ekspektasi mereka, Rome dengan lincah menepis semua rentetan tebasan dari para bandit, desingan besi berbunyi beberapa kali dengan percikan api yang muncul menyiratkan bahwa pertarungan yang terjadi sangat sengit.

"Dua..." Hitungan masih terus berjalan, Rome menunggu jawaban dari para bandit tersebut, sedangkan para bandit menghadapi konflik batin, apakah mereka memberitahukan informasi penting kelompok mereka kepada pria ini, atau terbunuh mengenaskan di tangan pria ini.

"Apa-apaan kau ini!? Kau bilang dalam hitungan ketiga!... Kenapa kau menyerang kami!?" Teriak salah satu bandit tak terima.

Tak menghiraukan, Rome kembali melesat tanpa aba-aba, tiga bandit dengan cepat menghadangnya, mereka kemudian terlibat adu pedang dengan sengit, tapi Rome dengan kemampuan berpedangnya jauh lebih unggul, ia akhirnya berhasil memukul mundur tiga bandit tersebut.

Tak tinggal diam, beberapa bandit yang lain meluncur kearah Rome. Dengan sigap, pemuda itu tak gentar untuk menghadang serangan dari mereka, dengan tebasan kuat dari pedang besarnya, empat bandit terlempar seketika karena dahsyatnya gelombang angin yang diciptakan dari pedangnya tersebut.

"K-kuat..."

"Ia seolah-olah bisa melihat serangan kita..."

"Bukankah mungkin jika dia salah satu anggota ksatria kerajaan?..."

Para bandit merenungkan pilihan mereka kembali, mereka semakin dilanda gusar setelah melihat kemampuan pemuda itu yang lebih jauh diatas mereka. Fisiknya yang jauh diatas rata-rata serta teknik-tekniknya yang aneh membuatnya menjadi lawan yang tak bisa disentuh.

Saat mereka saling bergumam, Rome kembali membabi buta dengan pedang besarnya yang ia ayunkan secara presisi ke salah satu bandit, dan berakhir memotong tubuhnya menjadi dua bagian seketika.

Pemimpin para bandit yang masih setia dengan arogansinya mendecih kesal, "kenapa kau ikut campur dengan urusan kami!? Memangnya siapa sebenarnya kau ini!?"

Rome tak menjawab, ia diam, sembari memperhatikan posisi para bandit, memikirkan teknik-teknik efektif untuk meminimalisir jumlah mereka secara berkala, ia tak memperdulikan apa atau kenapa mereka berbicara,

Pikirannya sudah gelap, pokoknya ia mau jawaban dari mereka. Dan sebelum waktu hitungannya berakhir, ia akan terus membunuh satu per satu dari mereka dengan cara kematian yang menyakitkan.

"T-tunggu dulu, bos! kita beri tahu saja dia!"

"I-itu benar! Kau juga melihat kemampuan pria itu bukan!?"

Sang pemimpin mendengar hal itu masih tak mau mengakui bahwa Rome memang telah membuat mereka terpojok, ia dengan wajah masam memelototi para anak buahnya.

"apa kalian tak tahu malu!? kehormatan seorang Ybaogan tiada duanya! kalian ingat itu bukan!?"

Para bawahan yang tersisa tersebut seketika terdiam takut, mereka putus asa, mereka hanya menunggu ajal menjemput jika terus seperti ini. Pemimpin bandit tersebut sebenarnya mulai goyah, ia tak tahu sampai kapan kelompoknya akan bertahan dari serangan monster berkulit manusia dihadapan mereka itu.

Jumlah bandit sekarang tersisa tiga puluhan orang, termasuk pemimpin mereka sendiri, mereka masih berjuang untuk bertahan, bandit yang memiliki kemampuan bertarung lebih tinggi maju lebih dulu menyerang Rome dan mencoba mendistraksinya.

Tetapi lagi-lagi mereka gagal, Rome dengan berpikir cepat, kabur dari kepungan mereka kemudian melesat menuju para bandit lain yang kewalahan. Ia tak membiarkan satu pun dari mereka menyembuhkan diri, menebas mereka tanpa ampun.

Pemimpin para bandit itu terkejut melihat pergerakan dari sang Pemuda, ia masih mencerna dengan apa yang ia lihat, para bawahannya yang masih menyembuhkan diri itu pun terbunuh dengan sangat cepat, dan hal itu membuatnya semakin gusar.

Rome menarik pedangnya yang tepat mengenai ubun-ubun kepala dari mayat seorang bandit itu dengan kasar, darah bermuncratan keluar, tetapi Rome melihatnya dengan wajah dingin tanpa ekspresinya.

Ia menoleh, kemudian tak sengaja melihat sebuah tiang kayu besar yang tak jauh darinya, banyak darah bercucuran dari tiang kayu tersebut, dan terlihatlah sosok mayat seorang wanita tua tergantung dengan mulut menganga, kedua tangan dan kakinya terpaku, perutnya berlubang kosong tanpa isi.

Rome memelototinya cukup lama, buku-buku jarinya memutih menggenggam terlalu erat, urat-urat nadinya sedikit terlihat keluar menandakan bahwa ia sangat marah sekarang ini, ia tak bisa menahan amarah yang terbendung didalamnya.

Ia kemudian menatapnya suram, 'bedebah-bedebah ini...'

Mereka membunuh istri sang pria tua pemilik karavan dengan cara yang tidak biasa. dari yang ia lihat, mereka mengambil beberapa organ penting yang berada pada jasad wanita itu,

"..."

Rome kemudian mendengar sang pemimpin bandit tertawa, mendengar tawanya ia pun langsung merasakan rasa mual serta jijik yang intens.

"Seseorang menawarkanku sejumlah uang fantastis jika aku bisa memberikannya beberapa organ tubuh manusia yang utuh... Dan kebetulan tua bangka itu berpapasan dengan kami, bukankah itu sebuah keberuntungan?" ujar pemimpin bandit itu menyeringai lebar.

Para bandit bawahan semakin dibuat gusar karena pemimpin mereka memprovokasi Rome dengan santainya, satu per satu dari mereka mundur beberapa langkah sedikit ketakutan.

Rome menatap para bandit dengan mata yang memancarkan kemarahan, sementara pedangnya bersinar memantulkan cahaya. Angin berdesir di sekitarnya, menciptakan aura kehancuran yang membuat para bandit merasa gentar.

Dengan langkah beratnya Ia meluncur kedepan, pedangnya telah terhunus, siap memotong apapun yang ada dihadapannya, dan tanpa para bandit itu pun sadari, Rome tiba-tiba saja telah menebas salah satu dari mereka.

"HADANG DIA SIALAN!!"

Rome merasakan adrenalinnya memuncak ketika pedangnya menyapu udara dengan kecepatan mematikan. Para bandit terkejut melihat rekan mereka terjatuh tanpa perlawanan. Rome, dengan tatapan tajam, menatap bandit-bandit yang berani menantangnya.

"Tiga!" Rome berseru dengan suara menggema. Menciptakan aura mengintimidasi yang luar biasa.

Bandit-bandit itu, meski takut, menggertakkan gigi mereka dan menyerang bersama. Rome menyambut tantangan itu dengan kepiawaian luar biasa, memainkan pedangnya layaknya seorang maestro menari dengan musik yang hanya bisa dirasakannya sendiri.

Saat cakar logam dengan pedangnya bersentuhan, percikan api meloncat memecah hening. Rome meliukkan tubuhnya dengan lincah, menghindari serangan senjata tajam yang datang dari berbagai arah. Ia membalas dengan serangan presisi, memotong dengan kecepatan yang sulit diikuti mata.

"JANGAN BIARKAN DIA LOLOS!!!"

"""""YEAAAHHH!!!"""""

Sorak-sorak bandit menciptakan suasana pertarungan yang mencekam. Rome, seperti tornado maut, terus bergerak tanpa kenal lelah. Pedangnya menari dengan bengis, mengoyak pertahanan musuh-musuhnya satu per satu.

Selang berjalannya pertempuran, Rome mendapati dirinya kembali terjebak dalam lingkaran bandit yang semakin mengepung. Tapi ia tak gentar sedikitpun. Dengan mental yang terlatih bertahun-tahun lamanya, ia berputar dan melancarkan serangan secepat kilat,

"Horizontal : Sonic Wave" kemudian membelah udara, menghasilkan gelombang kejut yang dahsyat sampai-sampai merusak penghalang suara, menghempaskan dan menyisakan korban di sekitarnya.

"A-apa-apaan itu?"

"Sial..."

Salah seorang bandit berusaha mengepungnya dari belakang. Namun, dengan refleks yang tajam, Rome mengubah arah pedangnya dan dengan satu gerakan presisi, menahan serangan tersebut. Pandangan mereka bertemu, dan dalam mata Rome terpancar keputusan untuk mengakhiri pertarungan ini. Ia tak tanggung-tanggung menghabisi para bandit yang tersisa satu per satu.

...>>>...

Tak lama kemudian, gemuruh pertarungan pun perlahan lenyap dan darah-darah mulai meresap ke dalam tanah. Rome berdiri di tengah kehancuran, bernapas berat, tapi ekspresi dinginnya masih menempel di wajahnya.

...

Pandangannya mengarah pada satu korbannya yang masih hidup, ia kemudian menghampiri sosok menyedihkan tanpa kaki yang mencoba kabur darinya sekuat tenaga, merangkak di tanah,

Rome menyeret pedang besarnya, menciptakan suara desingan yang mengintimidasi,

"Sudah saatnya untuk menjawab pertanyaanku..."

Sosok pemimpin bandit yang merangkak ditanah itu pun menoleh cepat, matanya melebar, wajahnya pucat, serta sekujur tubuhnya bergetar hebat, Ia menerka-nerka apakah ini akhir dari hidupnya.

"Bukankah begitu?"

"T-tolong! a-aku akan katakan apapun yang kau mau! T-tapi lepaskan aku! A-aku berjanji akan mengatakan semuanya!"

Rome menatapnya dingin, ia kemudian mengerahkan pedangnya tepat didepan wajah pemimpin bandit tersebut,

"Aku tak pernah mendengar bandit menjarah secara merajalela dikawasan ini, apalagi rute ini sering dilewati oleh prajurit Loxis untuk menuju pelabuhan, itu menandakan kalau kalian kuat atau setidaknya kalian bedebah-bedebah yang nekat... sebenarnya kau dan kru mu itu datang dari mana?... Dan berapa jumlah total kalian?"

Pemimpin bandit itu meneguk ludahnya kasar, melihat tajamnya bilah pedang yang ada tepat didepan wajahnya,

"K-kami... Imigran dari benua Uriye... tepatnya pada Ybaogan, r-rata-rata dari kami adalah... Kau bisa bilang mantan ksatria dari kerajaan tersebut... K-kami membentuk sebuah kelompok dan mulai berlayar di samudra dan berakhir di Vediach... a-anggota kami hanya berjumlah setidaknya 142 orang..."

Rome mendengarkan penjelasan pemimpin bandit itu dengan teliti, sembari masih menatapnya tajam,

"Viking buangan ternyata... bosan dengan suhu dingin disana?"

"..."

Pemimpin bandit itu perlahan memalingkan wajahnya takut, Ia hanya bisa bergidik ngeri dalam diam melihat Rome mulai mengarahkan pedang besarnya pada lehernya,

"Aku penasaran... kira-kira berapa banyak yang kalian bunuh setelah berada di Vediach ini, hm?..."

"..."

"T-tolong... l-lepaskan aku... A-aku sudah mengatakan semuanya..."

Pemimpin bandit itu berusaha mendongak untuk melihat Rome, ia membuat ekspresi wajah sendu, berharap agar nyawanya selamat.

Rome perlahan mengangkat pedangnya tepat diatas kepala pemimpin bandit itu, dan wajahnya tiba-tiba tak berekspresi,

"Ah... Aku lupa bilang ya?... Kau tak memiliki hak untuk memerintahku... keparat"

"A-aa-"

Dengan gerakan cepat, pedang besarnya menembus kepala pemimpin bandit itu, menghancurkannya seketika, hancur lebur berceceran di tanah.

"..."

Rome menengok sekitar sejenak, Padang rumput yang awalnya hijau bersih, menjadi kotor dipenuhi mayat dan organ-organ manusia yang tercecer tak beraturan, Ia menghela nafas panjang, lalu mengayunkan pedangnya singkat membersihkan darah yang masih menempel pada bilahnya.

Kakek tua yang sedari tadi melihat semua pembantaian tersebut, berlari kearah Rome dengan wajah khawatir,

"Anak muda! Kau tidak apa?"

Rome pun menoleh mendengar suara kakek tua tersebut, Ia mengangguk pelan, wajahnya pun terlihat lemas,

Kakek tua itu mengangkat tongkat kayunya seraya berkata, "Terima kasih Tuhan, kau selamat, maafkan aku telah menyeretmu kedalam masalahku anak muda, aku tak tahu harus bagaimana untuk berterima kasih padamu" Ia menggenggam bahu Rome dengan perasaan lega.

"Sejumlah uang dan beberapa makanan tidaklah buruk tuan, tapi saya tahu itu terlalu egois... Tuan tak perlu berterima kasih pada saya, saya memang berniat untuk menolong tuan, setidaknya saya mendapatkan beberapa informasi penting dari para bandit itu" ucap Rome pelan disembari tawa kecil

Kakek tua itu hanya bisa bengong, Ia dibuat heran, setelah menghadapi puluhan banyak bandit itu Rome masih bisa bercanda dengan santainya, ditambah pemuda itu tak memerlukan rasa terima kasih darinya.

"Walaupun begitu, aku tetap ingin berterima kasih padamu anak muda, setidaknya sisa-sisa makanan yang kubawa masih ada bersamaku, tapi sebelum itu..." Kakek tua itu mengarahkan pandangannya kearah mayat tak bernyawa milik istrinya yang tergantung tidak etis di tiang kayu,

"Turut berduka cita... Saya benar-benar sangat menyesal atas kehilangan anda Tuan..." Ucap Rome dengan suara lembut, mencoba meredakan kesedihan yang menyelimuti kedua mata kakek tua itu.

Matanya terlihat lelah, mencerminkan perjalanan panjang hidup yang penuh liku-liku. Rome kemudian menghampiri mayat istrinya, mencoba memberikan penghormatan terakhir.

kakek tua itu menahan air mata yang hampir berlinang. Dengan langkah lemah, Ia melangkah menuju sisa-sisa karavannya yang terbakar di sudut yang masih tersisa.

Ia kemudian mulai mencari sesuatu di puing-puing karavannya, Rome yang melihat itu hanya bisa terdiam, membiarkannya sendiri,

Tak lama kemudian, kakek tua itu akhirnya menemukan barang yang ia cari di balik reruntuhan karavannya, "Syukurlah, masih ada disini" sebuah kotak berwarna coklat yang sedikit pudar.

"Sepertinya ini saatnya aku membuka lembaran baru," bisik kakek itu sambil membuka kotak tua tersebut. Di dalamnya terdapat kotak yang lebih kecil yang ia ingat dulu diberikan istrinya padanya sebagai hadiah ulang tahun.

Dengan perlahan, kakek itu membuka kotak kecil tersebut dan menemukan sepucuk surat yang ditinggalkan istrinya. Surat yang tertulis dengan tinta yang tak pernah pudar selama puluhan tahun pernikahan mereka.

"Semoga kau tenang di alam sana, Matilda... Maafkan aku..." gumam Kakek itu sambil membaca surat dengan mata berkabut. Istrinya merangkai kata-kata penuh cinta, semangat, dan harapan. Pesan yang membuat hati kakek itu terasa hangat meskipun dunia di sekitarnya mulai terasa dingin tanpa kehadiran istri tercintanya.

"Kemarilah anak muda, ini memang tak seberapa, tapi inilah yang aku punya" Kakek itu mengambil sebuah karung berukuran sedang yang kemudian ia berikan kepada Rome.

"Kalau boleh tahu, apa ini tuan?"

"Beberapa sisa harta yang aku punya, gandum, roti, keju, buah-buahan dan juga sosis hasil produksiku"

Rome terkejut sesaat, "tuan, sebaiknya anda simpan ini, saya tak bisa menerimanya, lagipun saya benar-benar berniat untuk menolong anda"

"Terima kasih saja tidak cukup, aku bersikeras, terimalah" ucap Kakek tua itu memaksa.

"... Terima kasih" Rome pun tak bisa melawan, ia menerima apa yang diberikan oleh Kakek dihadapannya tersebut.

"..."

"Ah, itu benar. saya ingat mendengar sebuah kabar bahwa di desa beberapa mil dari sini dekat pelabuhan, terdapat tempat perlindungan bagi mereka yang membutuhkan... Setidaknya Tuan bisa menetap disana dan beristirahat?"

Kakek tua itu kemudian menoleh pelan, lalu tersenyum tulus, "aku benar-benar berutang budi padamu anak muda, kau telah menyelamatkanku, dan kau juga menyelamatkan warga lokal dari teror para bandit itu nantinya... kau... benar-benar seorang pahlawan"

Rome melebarkan matanya sesaat, setelah itu tersenyum simpul, "saya rasa saya tak pantas disebut seorang pahlawan" Ia pun berpikir untuk mengantarkan sang Kakek tua menuju desa para pengungsi.

"Bagaimana kalau saya antar kesana? kebetulan kita searah, saya juga ingin pergi ke pelabuhan untuk berlayar"

Sang Kakek tua sedikit menyerngit, "aku... membuatmu terlambat pada pelayaran pagi... lebih baik aku tak melambatkanmu pada pelayaran siang ini, bukan begitu?" ucap Kakek itu lembut,

"Aku tak apa, sebaiknya kau bergegas menuju pelabuhan, aku akan mencoba mencari desa itu sendiri, terima kasih sekali lagi anak muda" Kakek itu kemudian berniat untuk mengubur istri tercintanya,

Rome hanya bisa diam, Ia sebenarnya sedikit tak tega untuk meninggalkan Kakek tua itu pergi sendirian, "baiklah kalau begitu tuan, saya permisi... Semoga anda selamat sampai tujuan"

Kakek tua itu menengok sekilas ke arah Rome, "Aku yang harusnya bilang seperti itu... semoga kita berkesempatan untuk bertemu lagi, sampai jumpa" kemudian melanjutkan kegiatannya untuk mengubur istrinya.

"Ya, sampai jumpa..." Ia melihat kakek itu terakhir kali, sebelum beranjak pergi.

Mereka berdua pun berpisah, Rome bergegas menuju tunggangannya untuk melanjutkan perjalanan, ia tak ingin terlambat di jadwal pelayaran siang ini, setidaknya perjalan ke pelabuhan tidak terlalu jauh dari sini.

...

"Masih disini rupanya kau Darius, anak pintar" Rome mengelus kuda tunggangannya yang masih bersandar di pohon tempat Ia beristirahat sebelumnya,

Ia dengan sigap menyiapkan peralatannya, tak lupa karung yang kakek tua itu berikan padanya, lalu menunggangi punggung Darius, "ayo kawan, sebaiknya kau berlari dengan cepat, atau aku akan terlambat"

Darius menjawab dengan mendesis, Rome pun tersenyum seraya memacu tunggangannya untuk beranjak pergi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!