Sean Conley adalah seorang ilmuan biologi yang tinggal di Minnesota, Amerika Serikat. Conley muda mulai menekuni karier sebagai ilmuwan yang memusatkan perhatian pada sistem reproduksi perempuan sebagai contoh ideal proses penuaan. Di mana ovarium perempuan perlahan-lahan akan masuk ke tahap menopause, seiring berjalannya waktu.
Sejak muda, Conley memimpikan budaya muda yang energik, penuh vitalitas, kegembiraan yang tak berakhir. Tapi ia juga sadar betul bahwa penuaan adalah hukum alam. Sadar bahwa seiring dengan bertambahnya waktu, tubuhnya pada suatu saat tak akan lagi sekuat dulu. Bahwa otot-ototnya akan melemah.
Conley menjadi ilmuwan dengan keyakinan akan hidup selamanya. Menurutnya kematian bukan karena dosa asal dan hukuman dari Tuhan, seperti yang diajarkan para biarawati Kristen. Namun, kematian adalah proses biologis dan karenanya kematian diatur atau dikontrol oleh mekanisme.
Para ilmuwan menerbitkan ratusan teori tentang penuaan dan mengkaitkan teori-teori tersebut dengan proses biologis. Tapi tak satu pun yang tahu bagaimana menyatukan teori-teori yang berbeda ini.
Penuaan didefinisikan Conley sebagai akumulasi perlahan-lahan dari kerusakan yang terjadi pada sel, organ, dan jaringan, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan-perubahan fisik yang biasa terlihat pada orang-orang lanjut usia. Seperti rahang yang mengecil, kulit yang keriput, tulang yang rapuh, arteri yang kaku dan tersumbat, rambut yang memutih, dan daya ingat yang melemah. Penuaan merupakan hukum alam, sesuatu yang tak bisa dicegah atau dihindari. Namun, sejak lama para ahli biologi berupaya untuk menghentikannya. Mereka bertanya-tanya mengapa kita beranjak tua. Bisakah proses itu di hentikan?
Dunia sangat keras dan sel-sel muda pun rentan. Ibaratnya seperti membeli mobil baru. Mesin bekerja sempurna tapi tetap saja mobil ini rusak karena bisa jadi tertabrak ketika dikendarai di jalan raya. Begitu juga dengan DNA kita. Sel-sel muda bekerja dengan baik karena ada “montir-montir” yang siap setiap saat membantu dan memperbaiki kerusakan. Setiap kali sel membelah diri, hasilnya adalah sel lain yang nyaris sempurna. Di dalam sel ini terdapat tiga miliar kode.
Para ilmuwan yang melakukan penelitian tentang proses penuaan memusatkan perhatian pada proses-proses tersebut.
Conley berkeyakinan pasti ada mekanisme yang membuat kita berkembang dari satu sel menjadi sistem triliunan sel bekerja secara sempurna. Program gen ini mempunyai dua fungsi yaitu memulai dan mendorong perubahan dramatis pada organisme dan mengkoordinasikan semua perubahan ini sehingga berjalan kohesif, integratif sebagai satu unit.
Penuaan menurut Conley terjadi karena program ini. Bahwa perubahan terjadi terus menerus, tidak pernah dimatikan. Dari lahir hingga pubertas, kita tumbuh dan dewasa. Ketika kita dewasa, tubuh kita tak perlu berubah, yang diperlukan adalah perawatan. Seperti halnya dengan membangun rumah, kita tak bisa terus-menerus menambahkan batu bata. Mengambil perumpamaan membangun rumah, kita terus saja menambahkan batu bata. Awalnya, kerusakan yang diakibatkan oleh penambahan batu bata ini tak terlalu serius. Tapi pada akhirnya, fondasi tidak kuat dan rumah pun ambruk. Inilah yang menurut Conley yang disebut sebagai penuaan.
Tidak ada yang tahu secara persis apakah memang ada gen atau kelompok gen yang memprogram pertumbuhan pada manusia.
Jika Conley menemukan gen yang menjadi penyebab, ia harus bisa membuktikan gen yang memerintahkan pertumbuhan bisa dimatikan pada tikus-tikus yang menjadi kelinci percobaan. Kemudian harus membuat obat atau terapi gen yang bisa diterapkan ke manusia. Setelah itu melakukan uji coba klinis dalam kurun yang lama dan jelas memakan biaya yang tidak sedikit untuk memastikannya efektif dan aman untuk manusia.
Conley begitu terobsesi untuk menghentikan penuaan. Berdasarkan pengalamannya ketika kecil saat melihat kakek neneknya beranjak uzur. Menurutnya, tak satu pun yang menarik dari penuaan. Orang yang lemah dan renta, duduk di kursi goyang di depan tungku. Pada suatu sore, saat ia mengendarai mobilnya, ia bersumpah kelak ketika menginjak usia 40 tahun, ia akan menemukan obat anti penuaan.
.
.
Sean Conley kerap menghabiskan waktunya berjam-jam untuk melakukan penelitian di laboratorium yang ada di ruang bawah tanah rumahnya.
Hari itu sudah pukul 5 pagi. Conley keluar dari laboratoriumnya dengan tubuh lesu. Langkah lunglai ia ayunkan menaiki tapak demi tapak anak tangga lorong temaram yang menghubungkan laboratoriumnya dengan rumah utama. Di ujung lorong, terlihat berkas cahaya menembus celah pintu yang berasal dari dapur. Tangan Conley lemah meraih handle pintu.
Ceklek...
Begitu pintu dapur terbuka. Seketika aroma harum masakan menggugah selera. Cacing-cacing dalam perutnya meronta-ronta menuntut haknya. Emma, wanita paruh baya yang bertugas sebagai asisten rumah tangga sekaligus nanny bagi putrinya yang berusia 5 tahun, sedang memasak sarapan pagi. Emma mengalihkan pandangannya ke arah datangnya suara.
"Selamat pagi, Tuan. " Emma yang sedang sibuk membuat home fries, menghentikan kegiatannya. Ia mematikan kompor dan mengelap tangannya pada celemek yang sedang ia kenakan.
"Pagi juga Emma. " Conley menarik kursi bar berbahan aluminium bergaya klasik Eropa, dengan tampilan casual yang dilengkapi dengan sandaran nan nyaman.
Kemudian ia mendudukinya. Bertumpu pada siku kanan, Conley memijat pelipisnya yang terasa berdenyut.
"Apakah kau mau aku buatkan secangkir kopi, Tuan."
"Boleh Emma."
"Baiklah. Bisa Tuan tunggu sebentar?"
"Tentu Emma."
Emma menuangkan kopi hitam arabika favorit sang majikan, yang sebelumnya telah ia seduh di coffee maker ke dalam cangkir keramik. Dengan cekatan Emma meletakkannya di hadapan Conley. Aroma khas kopi yang lembut, dan cenderung manis, memberikan rasa nyaman berenergi di pagi hari. Conley menyeruput kopi hitam low sugar yang masih mengeluarkan asap itu, perlahan.
"Apa yang kau siapkan pagi ini, Emma? "
" Home Fries, dengan sosis dan telor mata sapi. Apakah Tuan ingin sarapan?"
"Iya Emma. Bisa kau sajikan sekarang?"
"Tentu, Tuan. Sebentar. Aku tinggal menggoreng kentang ini sedikit lagi. Bersabarlah."
"Baiklah Emma." Sambil menunggu, Conley menyesap kembali kopi hitamnya. Di tangan kanannya telah ada surat kabar pagi Daily News, yang ia ambil di sudut meja. Dibukanya lembar demi lembar surat kabar itu, mencari berita yang menarik untuk dibaca.
"Ini Tuan. Makanlah. " Emma menaruh sepiring kentang goreng yang dipotong dadu. Digoreng dengan menggunakan sedikit minyak zaitun dan mentega, paprika, bawang putih, bawang bombay, lada, dan garam serta daun bawang segar cincang. Di lengkapi 3 buah sosis panggang dan telor mata sapi.
"Terimakasih, Emma. Apakah Dani masih tidur? " Tanya Conley sambil memasukkan potongan kentang ke dalam mulutnya.
"Iya, Tuan. Nona Daniella masih terlelap di kamarnya."
"Hmm. Ya sudah. Nanti aku yang akan membangunkannya." Dengan lahap, Conley memasukkan kembali potongan kentang dan sosis ke dalam mulut.
"Tuan." Panggil Emma sambil me re mas - re mas kedua jari jemarinya.
"Iya Emma. Ada apa?" Sambil terus menghabiskan sarapannya.
"Bolehkah aku mengatakan sesuatu?" Tersirat rasa ragu dari nada suaranya.
"Tentu saja Emma. Katakanlah." Conley menghentikan aktivitasnya. Kedua tangannya yang menggenggam pisau dan garpu, menggantung di udara.
"Begini, Tuan. Nona Daniella sebentar lagi akan masuk sekolah dasar. Menurut ku alangkah baiknya, Tuan menyisihkan sedikit waktu untuknya. Walau hanya sekedar mengantar atau menjemput sepulang sekolah." Emma menghentikan kalimatnya. Ia menunggu tanggapan dari Conley.
"Hmmm." Pria itu hanya berdehem. Emma kemudian melanjutkan ucapannya.
"Waktu Nona Daniella di taman kanak-kanak, dia suka iri dengan teman-temannya yang sering diantar jemput ayah atau ibu mereka. Aku sangat iba dengan Nona, Tuan. Nona kerap murung dan menangis diam-diam di dalam kamarnya."
"Tapi Dani tidak pernah mengatakan hal itu pada ku. Dan ku anggap dia mengerti dengan pekerjaanku. "
"Nona Daniella itu anak baik, Tuan. Dia tidak ingin menambah beban pikiranmu." Emma menarik nafasnya pelan. "Bisakah kau mempertimbangkan apa yang aku katakan tadi?"
"Tentu saja. Kau telah aku anggap sebagai kakak perempuanku. Terima kasih Emma. Aku pasti akan memikirkannya."
"Sama-sama, Tuan."
Mereka pun kembali dalam aktivitas masing-masing. Emma melanjutkan pekerjaannya hari itu. Conley menyelesaikan sarapan paginya.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
adi_nata
anak 5 tahun apalagi seorang perempuan, agak aneh sih menurutku kalau tidak pernah mengajukan protes, tidak pernah manja atau merajuk.
2024-11-24
0
adi_nata
lalu goal dari penelitian ini apa ? hidup abadi ? apa tidak akan menimbulkan banyak masalah akibat over populasi ?
2024-11-24
0
adi_nata
waduuhh .. ilmuwan yang keblinger. tua usia itu hanya salah satu jalan menuju kematian. masih muda pun bisa juga mati.
2024-11-24
0