"Mas, kamu sudah makan terlalu banyak. Bagaimana kalau kamu berhenti dulu?" Aku menjadi gelisah hebat saat semua bubur ini dihabiskan Mas Sam, aku tidak berani untuk lebih lama berada dekat dengan Mas Sam seperti ini. Dia seperti menggila, tapi yang lebih kutakutkan adalah kesehatannya.
Mas Sam menoleh, dia tersenyum namun menatap ku dingin. "Masakan buatanmu sangat enak. Begitu enak, sampai aku tidak mau berbagi dengan siapa pun."
"Tapi, Mas----" sahutku dengan napas tersengal.
Secara tak terduga diam-diam Mas Sam meraih tanganku dan menggenggamnya, sensasi sentuhannya itu mengirimkan desir bahagia tapi juga menakutkan di sepanjang bulu kuduk dan merambat hampir ke seluruh pembuluh darah ku.
Tubuh Mas Sam seolah mengirim isyarat bahwa dirinya amat sangat memperhatikanku dalam momen ini. Membuat jantungku berdebar hebat, dan dia masih terus menikmati bubur itu, hatiku berteriak seolah memperingatkan untuk segera memaksanya berhenti sebelum ia tidak mampu lagi.
Semua orang berseloroh, tertawa bahkan menggoda seakan kami pengantin baru yang tengah dilanda kasmaran.
"Besok Berlian tidak usah masak, Ah." Mbak Rania menggerutu manja. "Bisa-bisa kita semua kelaparan, karena semua makanan dihabiskan Sam."
Tidak lama setelah selesai makan, semua orang berkumpul di ruang tengah, menonton televisi bersama. Sementara aku bersama Mbak Aina mencuci piring di dapur.
"Mbak, biar aku saja yang cuci. Mbak masuk saja ke dalam." Kataku.
"Loh, mana bisa. Kita kerjakan sama-sama, ya."
"Jangan Mbak," sergahku, "Mbak kan lagi hamil, jangan terlalu capek."
Tatapan Mbak Aina tertuju lekat-lekat ke mata ku, sorot khawatir terpancar di matanya. "Kalau tidak biasa gerak juga tidak baik Berlian. Hamil bukan alasan untuk diam kan? Tapi yang pasti, kehamilan yang sekarang belum terlalu menguras stamina---" Dia mendongak ke atas, menatap pada langit-langit dapur, baru kemudian kembali menatapku.
"Nanti Berlian pasti bakal berpikir yang sama kalau seperti ini... "
Seperti itu? Maksudnya hamil?
Lalu Mbak Aina mengelap tangannya dan menggenggam erat tanganku ketika ia kembali mengungkapkan keinginannya, keinginan yang syarat halusinasi dan memabukkan.
"Kalau kita mengandung dalam waktu yang sama pasti sangat menyenangkan, ya Berlian? Kita bisa sama-sama cek kandungan, saling berbagi cerita soal kehamilan. Belum lagi kalau misal mengidam; coba bayangkan bagaimana Kak Asa dan Kak Sam kerepotan? Pasti seru!" Mbak Aina memberikan aku sebuah khayalan yang membuatku hampir terbuai. Sempat aku pun bersimpati padanya, saat dia tersenyum padaku sambil berujar, mendoakan;
"Semoga nanti Berlian dan Kak Sam segera diberikan keturunan, biar kita bisa sama-sama merawat anak-anak kita. Terus semoga keluarga kita selalu diberikan kebahagiaan dan kesehatan."
Seketika langit hatiku runtuh saat mendengar rapalan doa Mbak Aina yang begitu tulus. Diriku serasa kehilangan seluruh jejak waktu, aku bahkan hampir menangis dengan perasaan gamang karena merasa bahagia dan tersentuh. Oh Tuhan ku, bagaimana bisa orang ini tega mengkhianati sahabatnya sendiri? Bagaimana bisa orang di depanku ini bisa mendoakan kebaikan untuk seseorang yang memiliki niat jahat untuknya?
"Mbak Aina, mantan kekasih Mas Sam----memangnya tidak sungkan mendoakan ku untuk segera hamil?" Kataku tanpa aba-aba. Seolah bibir ini bergerak tanpa kendali.
"Mengapa bertanya begitu?" Mbak Aina memandang ku agak heran. Dan entahlah, aku sendiri juga tak tahu mengapa aku bertanya begitu. "Berlian jangan terjebak kisah yang lalu ya, Aku dan Kak Sam tidak punya hubungan apa pun, jadi kami pun tidak akan terikat dengan perasaan macam cemburu atau yang lain. Sekarang kita sudah memiliki jalan cerita masing-masing. Bukankah sekarang semua ini berjalan sangat indah? Kita hidup berdampingan sebagai keluarga, dan saling mendoakan untuk kebaikan adalah salah satu bentuk kita menempatkan cinta ... "
Aku hanya diam dan membisu, sementara ilusi terus menggerayangi kepalaku. Sungguh semua nampak nyata seolah kebahagiaan memang membuka pintunya untukku, dan aku hanya tinggal melangkah masuk. Tapi benarkah semudah itu?
"Kenapa murung, Berlian? Kamu masih meragukan ucapanku ya? Maaf, kalau kamu jadi tak nyaman atau cemburu." Katanya, dan aku langsung gugup. "Tapi bukankah cemburu itu tandanya cinta?"
"Bagaimana mungkin Mbak?---"
"Apanya yang 'bagaimana mungkin'? Kalian sudah menikah, punya rasa cemburu itu wajar."
"Tidak. Bukan begitu, Mbak. Hanya saja, Mas Sam menikahi ku karena permintaan Mama, kami menikah karena perjodohan, bukan karena perasaan."
"Cinta tumbuh bisa sebelum atau sesudah menikah. Tidak perlu melihat awal pernikahan kalian yang bagaimana, tapi coba lihatlah sekarang?! Bagaimana Kak Sam begitu menghormati dan menyanjungmu, dan kamu yang sudah khawatir bahkan cemburu. Kalau dua perasaan yang sama bertemu, lalu apa yang perlu dirisaukan?"
Begitulah Mbak Aina membuat hatiku dilema. Pandangan semacam itu cocok untuknya, tapi sayang hubungan ku dan Mas Sam tidak sesederhana yang dia bayangkan. Aku masih ingat betul saat dulu Mas Sam berkata; Kamu memiliki alasan untuk menikah denganku, begitu pun aku. Dengan penegasannya itu, jelas masih banyak yang tersembunyi di antara kami, aku dengan keinginan balas dendam ku, dan Mas Sam dengan alasannya yang aku tidak tahu.
Sesungguhnya aku terharu pada hubunganku dan Mbak Aina yang bisa lumayan akrab. Kesanku, dia orang yang cukup objektif memberi penilaian. Dia baik, rendah hati dan apa adanya.
Bagaimana bisa aku menyakiti orang seperti itu? Dan mengapa pula kami jadi bicara persoalan ini? Benarkah menurutnya kalau aku sedang cemburu?
Untuk menghindari rasa bingung, aku mengalihkan pandangan sejenak. Kulihat yang lain asyik berseru menonton TV, pertandingan sepak bola Timnas melawan Argentina dalam laga persahabatan.
Perhatianku pun berpusat pada Mas Sam yang beranjak menjauh dari yang lain, sepertinya menuju kamar. Jantungku mencelus saat kuperhatikan wajah Mas Sam memucat.
"Ada apa?" Seru Mbak Aina, saat aku lekas mengelap tangan dan membereskan piring yang dari tadi kami cuci.
Ketakutan menghantui ku sampai rasanya mual berat, Mbak Aina masih menantikan penjelasan dari ku. Dan aku tak akan membuatnya menunggu lama, aku akan .
"Tadi barusan kulihat Mas Sam ke kamar. Aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya aku sedikit khawatir karena wajahnya terlihat pucat di banding biasanya. Aku khawatir Mbak, jadi mau kulihat dulu keadaannya untuk memastikan."
"Oh--kamu benar," ujar Mbak Aina panik. "Mungkin ada yang salah dengannya dan perlu bantuanmu."
Aku mengangguk dan melempar lap ke samping wastafel. "Sebentar ya Mbak."
Meski rencanaku untuk Mbak Aina gagal, tapi setidaknya aku mendapat banyak pelajaran darinya. Pelajaran apa? aku sendiri juga tidak terlalu paham, cuma mengobrol dengannya barusan, aku seolah cocok untuk bertukar pikiran.
Dan Mas Sam, apa yang terjadi denganmu? Semoga kamu baik-baik saja... Aku akui, malam ini aku sangat khawatir denganmu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Eva Karmita
Sam seperti itu karena ulahmu Berlian kamu bodoh masih percaya sodaramu c Laras
2023-12-14
1
Regita Regita
Berlian mulai menilai seluruh anggota keluarga Anta Reza bahkan anak menantunya sekalian. dan, penilaian nya pasti baik dong, org yg jahat itu kan si Laras
2023-12-14
1
Sri Rahayu
kebanyakan makan bubur kacang hijau buatan Berlian jadi Sam pucat....mau buang air kali 🤣🤣🤣🤭🤭🤭
2023-12-14
1