Aku buru-buru masuk ke kamar. Kulihat di sana Mas Sam tidur menyamping di atas ranjang, perasaan cemas dalam diriku memuncak saat kuyakini bahwa Mas Sam tengah menahan gelisah.
"Mas, kamu baik-baik saja?" kataku pelan. "Tadi aku lihat kamu berangkat dari ruang tengah, aku sedikit khawatir karena wajahmu memucat."
Mas Sam dengan lemah mengangkat tangan dan badannya untuk bangkit dari tidur. Aku jelas-jelas lega melihat Mas Sam masih bisa senyum, meskipun aku tampak takut. Hatiku terenyuh melihatnya.
Dia berdiri dan menghampiri ku dengan susah payah. "Kenapa kamu panik begitu? Sebelum kamu menyimpulkan apa pun, aku ingin kamu tahu kalau aku baik-baik saja."
Tapi hatiku berkata lain, aku tahu Mas Sam sedang berbohong. Dia makan bubur kacang hijau sampai habis sepanci. Tetapi beruntung, aku tidak jadi menuangkan obat penggugur kandungan itu di sana, sungguh aku bersyukur karena niat tadi ku urungkan. Sebab bila tidak, aku tak bisa membayangkan bagaimana keadaan Mas Sam setelahnya. Tetapi lagi pula mengapa Mas Sam bisa makan sebanyak itu? Aneh, dan tidak biasanya.
Apa yang dia pikirkan? Apa yang sebenarnya sedang ia jalani? Mungkinkah hanya aku yang berpura-pura di sini? atau justru Mas Sam lebih menyimpan banyak misteri yang tidak semua orang bisa memahaminya.
"Hei---" Seru Mas Sam. "Kenapa kamu malah menangis?"
Aku langsung menggeleng. Mengapa aku menangis? Aku bahkan tak tahu kapan manik bening itu mengalir.
"Ini salahku," Ujarku tergagap. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa bersalah dan aku harus meminta maaf." Sekali lagi aku berurai air mata.
Aku bisa merasakan tangan Mas Sam di bahuku. Aku tahu Mas Sam melakukan itu tanpa disadarinya, seolah ia memahami diriku yang sedang membutuhkan dukungan.
"Mas?"
"Aku baik-baik saja, aku mau istirahat."
Ketika Mas Sam kembali membelakangi ku, aku cepat-cepat menyusulnya. Mas kembali tidur menyamping, dan aku mengambil posisi di sebelahnya. Meski dia berpura-pura kuat itu, sekilas ku dapati kalau Mas Samudera sibuk menekan perutnya.
"Kamu tidak enak badan ya, Mas?" Dia hanya diam. "Aku buatkan jahe hangat, bagaimana? Atau air rebusan rempah?"
"Tidak, perutku bisa meledak kalau ditambah makanan atau minuman lagi."
"Kamu begini karena kebanyakan makan, sedangkan nasi tidak kamu sentuh sama sekali. Bagaimana bisa kamu menghabiskan bubur kacang hijau itu sendirian? Satu panci tanpa menyisakannya sedikitpun untuk yang lain. Sejak kapan kamu jadi tamak dan seegois ini?"
"Ucapan yang dari tadi ku ulangi di meja makan, kamu tidak percaya?" Sahut Mas Sam, balik bertanya padaku. Dia membetulkan posisi tidurnya, selagi aku masih menanti jawaban darinya.
Aku menggelengkan kepala dengan percaya diri. "Tidak, tidak sama sekali. Aku sadar walaupun Mas tidak neka-neko soal makanan, tapi Mas tidak termasuk orang-orang yang berlebihan seperti tadi. Lihatlah, sekarang jadi begini. Perutmu tidak nyaman karena terlalu kenyang, sementara Mas mau tidur pun tidak nyaman."
Malam yang dingin, angin bertiup mendobrak-dobrak, merengek minta dibukakan pintu. Tapi aku tak peduli dengan segala kegaduhan di luar itu, yang aku pedulikan adalah keadaan Mas Sam saat ia tengah memejamkan mata dan berkeringat.
"Di cuaca sedingin ini, kamu malah keringatan, Mas."
Mas Samudera kembali membuka matanya dan mengamati ku dengan wajah yang muram.
"Seperti katamu, perutku memang sedang tidak enak. Aku kebanyakan makan, tetapi aku tidak menyentuh piring nasi ku sama sekali. Perutku sakit karena kenyang makan bubur buatanmu... "
Aku mau tidak mau tersenyum. "Kamu memang makan terlalu berlebihan Mas. Lagi pula kalau kamu sudah merasa kenyang mengapa tidak kamu cukupkan saja?"
Kuambil minyak angin di atas meja. Aromanya menenangkan dan sedikit menyengat. Lalu ku buka tutupnya.
"Boleh ku oleskan Mas?"
"Memangnya itu bisa membantu?"
"Bisa!" Tegas ku. "Mungkin."
Lalu tanpa aba-aba Mas Sam mengangkat bajunya, dan menampaklah otot-otot perut yang demikian sempurna itu, bila ku hitung ada sekitar enam kotak yang setelah ku sentuh bergetar seluruh jiwa dan ragaku, bagai gelombang tsunami meluncur melintasi Samudera hidupku, menyapu bersih jejak aliran ombak, gairah merambat di sekujur tubuhku dan menghapus semua batasan yang ada.
Untuk pertama kalinya aku merasa syahdunya menikah. Menyentuh dan merawat seorang pria lebih intim untuk pertama kalinya. Ku oleskan minyak dan kugosok pelan-pelan di atas perutnya. Mas Sam terlihat lebih nyaman dan tenang sekarang, sementara aku masih berkecamuk dengan perasaan berdebar yang tak karuan.
"Hari ini adalah hari pertamamu tinggal di tengah-tengah keluarga ku, ini pertama kalinya kamu mengikuti pertemuan dan kita berkumpul, makan bersama," tuturnya dengan nada gemetar. "Aku hanya tak ingin hari ini berakhir berantakan, dan aku ingin pertemuan ini menjadi berkesan."
Sorot mata Mas Sam yang khas saat memandangku, sudah cukup familier dan sudah mampu dikenal dengan baik oleh ku. Saat ini dia menatapku tajam, membuatku agak tertekan. Pandangan matanya seolah sedang memperingatkan aku.
"Tentu saja aku juga ingin begitu, Mas."
"Benarkah?" Tanya Mas Sam padaku. Dia meraih tanganku dan membenarkan posisi tubuhnya. Mas Sam bangun, dan duduk di hadapanku. Kami saling bertatapan lagi, saling bertanya-tanya barangkali ada sesuatu yang tak terduga. Dan lagi-lagi aku merasa cemas...
Perasaan cemas itu kian mengganggu, menguasai jalan pikiranku, terutama saat dia merogoh saku celananya dan mengangkat benda kecil yang dari tadi kusembunyikan dengan hati-hati.
"Lalu mengapa kamu bisa memiliki obat ini?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
pisces
tuh kaaan misimu akan gagal berlian, mending jujur saja drpd jadi masalah
2023-12-14
0
n4th4n14e4
nahkan
2023-12-14
0
Teh Yen
nah kan ketauan ayo berlian mau ngomong apa.,,, apa kamu akan jujur tentang semuanya atau mau bohong lagi
2023-12-14
0