"Mau makan malam sekarang, Mas? Aku akan siapkan--"
"Baiklah, tapi aku akan mandi dulu. Kamu duluan saja ke dapur, aku nanti menyusul."
Aku mengangguk dan kembali beranjak menuju dapur untuk menyiapkan makan malam. Di muka pintu aku masih sempat memperhatikan Mas Sam, ia memandang ke luar jendela beberapa kali. Jendela kamar kami menghadap ke halaman belakang yang mungil milik kami sekaligus tetangga. Aku masih terus menatapnya, dengan tatapan tajam karena merasa agak tertekan. Kemudian kuikuti arah pandangannya di luar sana, melihat langit yang gelap penuh awan kelabu. Tidak ada seorangpun, hanya rintik mulai berhamburan dari puncak cakrawala.
Tanpa dijelaskan pun, semua orang tahu persis bagaimana perasaan Mas Samudera sekarang. Semakin hujan di luar sana menderas, Mas Sam semakin murung. Memang tidak ada yang salah dalam penglihatannya, namun kini dia mulai bangkit dari duduknya di atas ranjang. Jadi, sebelum ketahuan olehnya, aku pun langsung bergegas ke dapur.
Setelah mandi, Mas Samudera datang menghampiriku. Ia mengenakan celana panjang warna abu-abu dan atasan baju sulaman berwarna putih, bahkan ia masih membawa gulungan sweater lain ditangannya. Biasanya ia tidak pernah mengenakan baju tebal begitu, tetapi malam ini ia membuat pengecualian, mungkin untuk menghindari hawa dingin yang menyiksa.
"Malam ini hujan deras," katanya, tak lama setelah aku menuangkan makan malam di piringnya. "Pakailah sweater ini agar tubuhmu tetap hangat," Mas Sam mengeluarkan sweater rajut dari benang wol yang tebal lalu memakaikannya di tubuhku; ini pakaian miliknya? harum tubuhnya langsung tercium hadir lebih dekat sampai membuat ku sesak. Dadaku langsung terasa panas, terutama saat dia mengangkat kedua tanganku dan mengoleskannya dengan balsam yang ia keluarkan dari saku celananya.
"Aku lupa memberitahu mu," ujarnya sambil menunduk. "Kita tinggal dekat laut. Jadi, kalau hujan dinginnya bukan main seperti mau membunuh."
Selama beberapa saat yang mendebarkan itu, sorot terkejut dalam mataku beradu dengan tatapan Mas Samudera saat ia mengangkat kepalanya. Sementara menyerap pemandangan indah sosok pria ini, aku nyaris tak berkedip di depannya.
Mas Sam tertawa, membuatku jadi heran, tetapi justru karena tawanya itu juga aku bisa sadar dari lamunan.
"Kamu kenapa bengong begitu?"
Dia mengejekku, oh malunya aku. Dengan cepat aku membuang muka, terlalu cepat! terkutuk lah dunia jika sampai dia menyadari diriku yang sempat terbuai.
"Aku ingat waktu pertama bertemu kamu," ujarnya.
Dia tersenyum manis, hampir membuatku jatuh pingsan. Angin malam yang berhembus dari laut nampaknya telah membawa rasa sedihnya menjauh, ia menjadi sangat manis padaku, inikah sifat aslinya? atau mungkin ia sedang menjadikan aku pelarian karena sakit hatinya pada Aina?
Aku menyunggingkan senyum masam untuk menutupi rasa gugup dan mendebarkan ini. "Tidak ada hal yang mengesankan saat pertama kali kita bertemu. Mas selalu menatapku dingin saat itu, sementara aku---"
"Kamu cantik dengan wajah polosmu," jawabnya, lagi-lagi untuk menggodaku. "Dan aku menyukai gadis yang seperti itu."
"Bohong!" Ujarku singkat.
Mas Sam diam saja, hanya tersenyum. Lalu menutup kembali botol balsamnya dan meletakkannya di atas meja. "Jangan sampai demam, di sini sangat dingin. Bahkan bisa membuat flu."
Dan disaat yang sama juga, aku menangkap sorot matanya yang cemerlang. Senyumnya terlalu hangat melebihi balsam yang ia oleskan di tanganku. Jarang sekali bahkan belum pernah kulihat dari awal bertemu dengannya.
"Sepertinya sekarang aku tahu alasan Mas mau menerima perjodohan kita. Pasti mau jadikan aku pelarian ya?" kataku pelan.
Tetapi, Mas Sam lebih memilih berpaling, mengalihkan pertanyaanku. Dia sibuk memandang makan malam yang aku siapkan, pada akhirnya aku menyadari bahwa Mas Sam enggan aku membahas perihal yang menyangkut tentang alasannya menikahiku. Sungguh membuatku penasaran.
"Maaf,"
"Tidak masalah." Jawab Mas Sam yang masih sibuk mengedarkan pandangan di atas meja, "Terkadang ada takdir yang tidak bisa kita duga, sehingga perlu kita tata. Segala urusan yang ada di dunia ini akan saling bertemu dengan berbagai cara kalau Tuhan sudah berkehendak. Semesta itu luas, hanya manusia saja yang suka berpikiran sempit."
Desa-han resah terlontar dari bibir hatiku. Oh, apa yang sebenarnya aku harapkan? Ini bukan kuasa ku. Tapi mengapa tiba-tiba aku berharap ia menyangkal soal menjadikan ku pelarian, mengapa sepintas aku berharap ia--- ah sudahlah! aku menepuk pipi sambil menggeleng-geleng.
Aku menarik napas kuat-kuat kemudian menjawab. "Mari kita makan sekarang, Mas! Aku masak sop buntut, enak dimakan di cuaca dingin begini... "
Selagi Mas Sam menarik kursinya, aku menuangkan air putih di gelas.
"Nasinya terlalu banyak," sela Mas Samudera. "Aku ingin lebih banyak makan sup."
Dengan hati-hati dan agak gemetar kutarik kembali piring makan Mas Samudera, untuk menuruti kehendaknya. Sampai tanganku di sana, langsung kutahan sebentar sehingga aroma rambut dan badan Mas Samudera tertangkap hebat oleh hidungku. Demi Tuhan, dia bukan manusia! Harum, maskulin, dan sangat menyesakkan. Kupejamkan mata. Namun, ketika kusadari bahwa aku lagi-lagi terbuai, aku membuka kembali mataku. Dan tepat di depanku, Mas Sam muncul dengan mata berbinar seperti bunga yang mekar. Membuatku jadi salah tingkah.
"Sudah?" tanyanya.
"Ma-maaf Mas, segini cukup?"
Dia mengangguk, hal lain yang membuatku makin terkesan tentangnya adalah dia menungguku duduk di kursi dan berdoa bersama sebelum makan.
Udara semakin dingin, dan angin berdesir, berkitar memenuhi ruangan, menemani kebersamaan kami di atas meja makan. Beberapa saat kemudian debit hujan mulai turun, airnya tinggal rintik. Sementara suasana sekitar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah-rumah. Hanya lampu rumah yang hidup remang, baru kemudian mati total.
Aku teriak meraih lengan Mas Sam, Reflek saja. bersamaan dengan itu, Mas menatap tanganku yang menyentuh tubuhnya hingga kemudian beralih ke mataku. "Maaf Mas, aku terkejut tiba-tiba gelap." Tetapi Mas Sam segera menggenggamnya, menenangkan hatiku yang jelas merasa tersesat dan malu.
"Tidak apa-apa, bukan hal aneh, hujan terlalu deras tadi, jadi listrik memang biasa mati." Ujarnya menenangkan aku, "Aku akan ambil lilin di laci ruang tengah, kamu mau tunggu di sini?"
"Aku mau ikut Mas saja."
Mas Samudera, aku menggumam. Seandainya Tuhan menjanjikan kehidupan lain setelah kita mati nanti, kupastikan akan ada satu tempat untukmu bila aku diizinkan masuk nirwana. Sesungguhnya di dalam hatiku, andai tiada hal lain di pernikahan kita, mungkin bukan hanya membuatmu jatuh cinta saja yang akan kulakukan. Tapi, aku akan mencintaimu seumur hidup, sampai maut nanti memisahkan.
Mataku mengerjap-ngerjap melawan ruangan yang hampa dan gelap, tetapi di depan bisa kupastikan ada punggung Mas Sam yang gagah bagai benteng yang memberikan ku perlindungan dan rasa tenang.
Mas... tanpa ku sadari, ada bagian lain yang membuat hatiku gugup. Aku tidak sedang mengira, sebab bukan pertama kali kualami, tapi ini adalah kali kedua aku merasa begini saat bersama lelaki ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Haku
sedikit mulai tanda tanda untuk melapangkan dada ni
2023-12-11
0
Regita Regita
Berlian selalu terpesona pada Samudra. yakin, gak bakal jatuh cinta?
2023-12-11
0
Eva Karmita
mas Samudra memang paling romantis perhatian nya walau sederhana tapi bisa buat hati meleleh dan buat jantung berdebar ngak karuan kan Berliana 🥰🥰🥰🥰
2023-12-10
0