Pagi harinya aku dan Mas Sam segera bersiap untuk pergi ke utara kota. Aku sempat gugup, memikirkan akan berkumpul dengan keluarga besar Mas Samudera, sebab sebelumnya aku hanya bertemu kedua kakak Mas Sam setelah dua minggu lalu, saat kami menikah. Ada perasaan tak kerasan dalam hatiku.
Mas Sam menikmati sarapan yang kubuat barusan, tapi aku tidak menemaninya di meja makan. Aku masih sibuk mengemas pakaian lalu menutup pintu dan jendela. Rumah ini akan kami tinggalkan selama 3 hari 2 malam. Pagi yang syahdu, sementara gelisah terus menguasai ku. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain duduk dan melipat pakaian, dipanggang rasa cemas.
Mbak Aina... bagaimana caranya aku menyakiti dirimu? Aku menggumam sambil sejenak menatap langit kamar.
Di saat itulah tiba-tiba muncul dua telapak tangan dari belakangku dan menutup mataku dengan erat. Kupegang telapak tangan itu, besar sekali. Ini jelas tangan seorang lelaki. Dan milik siapa lagi kalau bukan Mas Samudera ...
"Kamu membuatku terkejut, Mas."
"Sudah selesai berkemas pakaian?"
"Belum, sebentar lagi ya?!" jawabku.
"Kamu lebih banyak melamun pagi ini, gugup ya?"
Dia bertanya padaku dengan menyunggingkan senyum, manis sekali. Kulihat dia sudah siap setelah mengenakan pakaian seperti yang ku saksikan saat pertama kali kami bertemu. Kemeja hitam yang lengannya digulung setengah, membuatnya tampak lebih jantan dan classy. Inikah pakaian andalannya? rambutnya disisir rapi pakai minyak rambut yang membuatnya klimis dan wangi. Aku jadi terlupa dengan rasa gugup dan cemas ku dari semalam. Walau sejenak
Mas Sam menarik kursi rias di samping ranjang, lalu duduk di sana.
"Ada yang di pikirkan? dari semalam kamu tidak tidur dengan baik, sekarang mengemas pakaian juga lama sekali."
"Tidak, tidak." jawab ku sambil berpaling.
"Kenapa? Belum bisa berbagi dengan ku, ya?"
"Tidak, tidak. Maksudku, begini Mas; dari tadi aku memikirkan oleh-oleh untuk dibawa ke rumah mama dan papa nanti, sejujurnya aku tak tahu selera mereka bagaimana, aku juga sedikit gugup bertemu Mbak Rania, ini pertama kalinya untukku akan bertemu secara intim dengannya. Belum lagi, aku takut---canggung mengobrol dengan Mbak Aina dan Mas Angkasa..." Aku berkata ngawur, sekadar untuk mengalihkan perhatian tentang rencana yang diinginkan Laras.
"Kamu ini ada-ada saja, bukannya kemarin sudah bertemu dengan Asa dan Aina? Kamu tidak canggung sedikit pun, malah sangat pandai memanjangkan obrolan."
"Oh, ya. Be-begitu kah Mas?" jawabku. "Omong-omong pakaian Mas bagus sekali. Seperti yang kulihat waktu kita pertama kali ketemu."
"Memang pakaian ini yang kupakai waktu itu?"
"Benarkan? tapi bawahannya beda, Mas tidak pakai celana ini."
"Kamu detail sekali, tapi aku senang saat kamu memperhatikan ku begini." Ujar Mas Sam, menghanyutkan.
Dia menatapku tersenyum dan aku balik menatapnya sambil melipat kembali pakaian ku.
Setelah merasa beres, aku dan Mas Sam segera melangkah ke luar rumah. Mas Sam menyusun barang di bagasi mobil, sementara aku sudah duduk rapi di kursi.
Sepanjang jalan, di dalam mobil, pikiranku melayang-layang tidak keruan, bertubrukan dengan semrawutnya pemandangan kota yang riuh-rendah oleh kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Mampukah aku melakukan rencana itu? Benarkah jalan yang sudah kuambil ini? jika benar kulakukan, bagaimana caraku menghadapi kegaduhan rumah saat Mbak Aina tiba-tiba sakit dan keguguran?
"Berhenti sebentar!" seruku kepada Mas Sam.
Mobil berhenti di depan sebuah mini market. Aku izin membeli minum dan kemudian berangkat lagi.
Apa pun yang terjadi maka terjadilah. Bukankah Mbak Aina juga melakukan yang sama kejinya ke Laras? Kalau nanti ribut-ribut, aku tinggal pura-pura tak tahu saja. Intinya, selama aku belum melaksanakan rencana itu, aku tidak usah terlalu banyak berpikir.
"Sebenarnya aku sudah belikan susu almond untuk Papa dan Mama." Mas Sam membuka obrolan.
"Sungguh? Kapan Mas beli?"
"Tadi pagi, sudah maraton subuh aku sempat mampir ke rumah Mas Rudi. Beruntung kita bertetangga, jadi beliau tidak masalah kalau beli sebelum tokonya buka."
Aku menghela napas lega. Entah untuk apa!
Mobil melaju pelan dan tiba-tiba hatiku berdebar-debar hebat. Apa yang akan terjadi? dari kejauhan dapat kembali kulihat rumah mertuaku yang klasik dan rimbun. Mobil terus melaju, sejauh aku mencoba tenang dengan suasana tempat tinggal mertua, aku tetap saja merasa cemas dan gelisah.
perasaan berdebar-debar itu kian kencang ketika mobil memasuki rumah dengan cat putih, tepatnya di depan gerbang rumah Papa Mama. Rasanya jantungku mau copot.
Keluar dari mobil, pemandangan pagi tampak begitu indah dan tenang, dengan langit yang sedikit cerah serta udara yang terasa cukup bersih. Aku masuk ke dalam rumah, dan rupanya yang lain sudah menunggu. Mama segera menyambut ku dan membantu membawakan tas dan koper ke dalam.
"Anak-anak Mama akhirnya sudah sampai, kita kumpul lagi. Kemari, kemari biar Mama bantu."
"Tidak, Ma. Biar Berlian saja. Terima kasih, bagaimana kabar Mama?"
Mama tersenyum dan menjawab, "baik, seperti yang kamu lihat."
"Akhirnya kalian datang juga. Sini Aku saja yang bantu bawakan." Sambut seseorang yang aku ketahui dialah Mbak Rania, perempuan jangkung dengan rambut panjang bergelombang ini; dalam pikiranku-- sungguh sangat nampak seperti orang berkelas yang begitu ramah.
Aku memandang Mas Sam di belakang, sehingga ia pun beranjak dari tempatnya tegak untuk menghampiri kami. Aku sedikit terkejut saat dia menepuk pundakku sedangkan tangan satunya masih tersembunyi di pinggang belakangnya.
"Maaf dan Terima kasih Mbak Rania, tapi ini tidak begitu menyulitkan ku. Aku tidak mau merepotkan." kataku.
"Kamu ini baik sekali, bagaimana bisa adikku beruntung bertemu perempuan seperti kamu, Berlian?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum kaku, mengiyakan, tapi dengan perasaan berat, karena aku tahu dia masih tidak sepenuhnya tahu siapa aku yang dianggapnya baik? siapa aku, sampai lelaki beruntung mendapatkan ku? Penilaian Mbak Rania itu sepenuhnya salah.
"Mbak Rania ini cerewet sekali ya..."
Tiba-tiba Mas Sam menyambung dari sampingku, dia mengulurkan tangannya begitu sopan dan penuh hormat untuk mencium telapak tangan Mbak Rania. Sepintas kurasakan kebanggaan melihat sikap Mas Samudera, sungguh dia sangat pandai menghormati dan mencintai perempuan. Tidak ada gengsi, bisa kulihat bagaimana Mama dan Papa mendidiknya saat kecil. Rasanya hampir tak masuk akal, keluarga besar penuh kehangatan ini bisa berbuat jahat pada orang lain...
"Di mana Asa dan Aina?" Tanya Mas Sam kemudian. Benar, aku pun sesunggugnya penasaran.
"Asa dan Aina sedang ke pemakaman. Ziarah ke makam kedua orang tua Aina." Sahut Papa dan Mas Sam pun mengangguk. "Ayo masuk, kalian pasti sudah lelah. Papa dan Mama sudah siapkan kamar untuk kalian."
Papa menarik ku dan merangkul Mas Sam masuk ke ruang tengah. Dia terlihat begitu hangat berbeda dari yang ku pikirkan setelah diberitahu Laras.
"Terima kasih, Pa." kataku.
Sempat aku merenungkan suasana pagi ini. Bahkan dari hal yang kecil saja, semua orang bahkan menyambut kedatangan kami. Mama dan Papa yang selalu tersenyum, sungguhkah mereka adalah mertua culas yang menolak wanita karena kelas sosial?
Dan Mbak Rania yang bahkan tak segan untuk membawakan tas pakaian ku? Sungguhkah dia akan bersikap pilih kasih untuk iparnya seperti yang dikatakan Laras?
Sikap Mas Sam yang mampu menghormati kakak perempuannya, walau dalam usia yang tidak lagi muda ini, kasih sayang mereka tidak berubah atau pun berkurang karena terkikis gengsi. Sungguhkah Lelaki ini pula yang dengan ringan hati memasukkan Laras ke dalam bui, untuk alasan yang tidak terbukti tak adil?
Pemandangan yang jarang, bahkan tidak pernah kudapatkan dari dulu, sejak kecil. Keluarga ini terlalu hangat untuk hati ku dan Laras yang terlalu dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Nuy
Si laras mah tukang bohong jahat dia 🥴🥴🥴🥴🥴
2024-09-21
0
Sri Rahayu
harusnya kamu bisa menilai bagaimana kel suami mu....mereka tdk seperti yg dikatakan Laras...jd kamu harus mikir utk melakukan apa yg Laras minta 😇😇😇😇😇
2023-12-13
0
@E𝆯⃟🚀BuNdAιиɑ͜͡✦⍣⃝కꫝ🎸🇵🇸
puaskanlah menilai, berlian. gunakan nuranimu.
2023-12-12
0