Malamnya, Mbak Rania datang mengetuk pintu kamar ku. Saat itu, Mas Sam masih mandi. Aku berangkat dari ranjang dan lekas membukakan pintu.
"Ya, Mbak?"
Dia tersenyum. Dan aku membalasnya.
"Aku antarkan handuk untuk kamu dan Samudera."
Kuambil handuk itu dari tangannya. Handuk putih, sebersih wajah Mbak Rania yang cantik. Tak lupa kuucapkan Terima kasih, meski sebenarnya kami sudah membawa perlengkapan sendiri dari rumah.
Mbak Rania, Kakak iparku yang sudah berkepala tiga ini lengkap dengan karir pekerjaannya yang bagus dan wajah jelita bagai dewi Romawi. Sungguh aku berulang kali tak habis pikir, apa yang membuatnya masih lajang sampai sekarang? Mungkinkah lelaki sudah minder duluan untuk mendekati atau bahkan mempersuntingnya? Atau ia terlalu mandiri sampai tak perlu lelaki?
Tapi, astaga apa yang kupikirkan?! Satu hal yang patut kuakui tentang Mbak Rania, sungguh aku bersimpati pada keteguhan hatinya saat kedua adik lelakinya menikah lebih dulu; Dia tidak takut soal pamali, dia tidak takut dengan cemooh; Sebab Mbak Rania sangat menikmati kehidupannya.
"Kenapa kamu melamun?"
"Iya?" Kataku terkejut. "Maaf Mbak, akhir-akhir ini aku sering kurang fokus."
Dia tersenyum simpul, kemudian menepuk pundakku. "Masih muda, jangan terlalu banyak pikiran." Setelah mengatakan itu, dia berbisik dengan suara yang hanya aku mampu untuk mendengarnya. "Kalau adikku itu nakal, jangan gosok punggungnya saat tidur!"
"Gosok punggung?" Kataku dengan mata membelalak. Kutatap matanya lebih dekat untuk memastikan bahwa dia tidak main-main dengan kata-katanya.
Mbak Rania mengangguk. Sambil memainkan matanya, menggodaku. "Itu kebiasaannya dari kecil," ujarnya. "Aku pikir saat dia jauh dari Mama, kebiasaan itu akan hilang. Tapi tiap pulang ke sini masih minta begitu. Hi-hi-hi... Kalau denganmu bagaimana?"
"Sama sekali tidak ada kebiasaan itu, Mbak." Balas ku dengan tawa kecil.
"Mungkin dia malu, Ha-ha... " Suara tawa Mbak Rania menyenangkan hatiku. Oh, andai ini sungguh mereka dan tak akan berubah. "Baiklah, aku mau lanjut dulu ya ke dapur."
Aku baru teringat bahwa Mama mungkin tengah menyiapkan makan malam untuk keluarga. Aku terhanyut oleh kenyamanan rumah yang sangat tenang, hidupku menjadi luas tak terbatas. Begitu nyamannya sampai aku kerasan dan tidak kepikiran untuk bangkit dari ranjang.
"Tunggu sebentar, Mbak. Aku ikut." Kataku cepat sambil meletakkan handuk di atas meja.
Di dapur, aroma rempah merebak memenuhi hidungku. Mama bergerak gemulai Bagaikan penari, hilir mudik antara kompor dan meja makan. Selagi anggota rumah yang lain menunggu makan malam siap; koki pribadi kami sedang berkonsentrasi pada persiapan makan.
"Baunya sangat nikmat, Ma." Aku sungguh mengakuinya sambil menghela napas.
"Ya, betul," Mbak Aina menyetujui. "Mama memang koki paling hebat!"
"Kalau begitu kalian semua harus makan yang banyak."
"Tentu saja," jawab Mbak Aina, kemudian mengelus perutnya yang masih kempis. "Kamu juga pasti tidak sabar ya, Nak? coba masakan nenek yang enak."
Di bawah sinar lampu yang terang, aku memandang Mbak Aina dengan nanar, kemudian dengan setengah hati tersenyum. "Mama masak ayam bakar, baunya sangat nikmat... berbeda dari yang lain."
"Papa suka ayam yang kering. Katanya biar bumbu lebih meresap. Ditambah kecap sudah pas untuknya." Kata Mama, seraya menuangkan bawang putih yang sudah dicincang dari talenan ke minyak zaitun yang mendidih. Mungkin untuk menumis. "Kalau Angkasa, dia lebih suka makanan pedas... "
"Nah, itu sebabnya Kak Asa kena Asam Lambung!" Sahut Mbak Aina menggerutu.
"Kalau Sam," Mama melirik ke arahku dan tersenyum. "Dia tidak pemilih soal makanan."
Aku mengetahui hal itu. Selama ini, semua masakan yang untuk Mas Sam, memang ia lahap habis tanpa komentar. Dia tidak pernah neko-neko, apa yang ku masak, itu yang ia makan. Malah, ia tak mau jika terkesan merepotkan ku.
Kubalas senyuman Mama dengan haru.
Hingga kemudian Mama menarik celemeknya setelah tumis sawi putihnya matang. Mbak Rania masih sibuk membuat teh, sementara Mbak Aina sudah menyiapkan piring.
"Berlian bisa bantu apa, Ma?" Aku mendekat, menghampiri Mama.
"Mama mau buat bubur kacang hijau untuk makanan penutup. Lagi pula biji-bijian begitu cocok untuk Aina yang lagi mengandung. Berlian bisa bantu Mama cucikan kacangnya?"
Aku terdiam sejenak, saat Mama mengatakan makanan ini baik untuk Mbak Aina. Timbul pikiran soal rencana jahat ku dan Laras; Berarti Mbak Aina yang akan memakan itu lebih banyak. Pikirku. Aku hanya perlu menuangkan bubur itu pertama kali untuk Mbak Aina, lalu sisanya tinggal pura-pura tersandung dan bubur itu tumpah.
"dengan begitu yang lain tidak akan makan," kataku pelan.
"Maksudnya?" Sahut Mama.
"Oh, bukan Ma. Aku hanya gugup kalau masak untuk orang lain, kalau takut seringkali racikannya tidak pas... dengan begitu yang lain tidak akan makan." Jawabku penuh dusta.
"Kalau Berlian mau, Mama bisa ajarkan. Semua orang di rumah ini pasti tahu cara menghargai, jangan ada yang dikhawatirkan."
Benarkah? tanyaku pada diri sendiri dengan tegas. Mengapa Mama selalu bersikap penuh kebohongan? Bukankah Mama sendiri yang menolak Laras karena tidak memiliki status sosial yang sama, memangnya itu bisa disebut tahu cara menghargai? Kurasa tidak.
Saat Mama pergi mengantar makanan ke meja makan, aku melamun sambil mencuci kacang hijau. Aku menggumam; Mengapa semua orang membuatku bingung, Laras berkata A, sementara di keluarga ini aku merasa yang lain. Sesungguhnya siapa yang berpura-pura dan siapa yang benar?
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu kujawab hanya dengan sebuah renungan.
Mama kembali dengan cepat, dan kami masak kacang hijau bersama. Mama membimbingku dengan telaten meski sebenarnya aku sudah tahu, hanya sekedar berpura-pura agar nanti tak mencurigakan.
Kacang sudah lembut, dan uap membumbung dari panci masak. Selagi memperhatikan Mama, aku tak sanggup mengalihkan pikiran. Wajah Mama yang teduh, berkeringat saat sedang mengaduk bubur, mencampurkan santan dengan adonan di dalam panci, sementara tangan kanannya menggapai gagang centong untuk terus mengaduk.
"Mama memang sangat pandai ya masak?" kataku agar suasana di antara kami tidak terlalu kaku. "Waktu awal menikah dengan Papa, pasti Papa jatuh hati dengan masakan Mama, ya?!"
"Berlian salah," jawab Mama dengan ramah. "Justru awal menikah dulu, Mama tidak bisa masak. Kadang masak takaran garamnya kebanyakan, malah kadang tidak ada rasa... Tapi Papa sangat pandai menghargai, dia tidak banyak komentar dan apa pun yang Mama hidangkan akan selalu dia makan. Sifatnya itu sekarang menurun ke Samudera... Suami kamu."
Aku diam, hanya tersenyum simpul, menggambarkan rasa bangga ku.
Kemudian Mama berpamitan, untuk istirahat sebentar sembari menunggu bubur kacang hijau ini dingin. Dan menunggu anggota keluarga yang lain selesai bersiap.
Tinggallah aku sendiri di dapur, dari balik lengan baju, tanganku erat menggenggam bungkusan jamu yang ku beli beberapa hari lalu. Lalu ku pandangi bubur kacang hijau di depan ku.
"Kalau misal kutuangkan jamu ini sekarang, tak akan masalah kan? semua orang tak akan mencurigai aku, karena yang membuat bubur ini adalah Mama Kania, dan dari tadi aku hanya mencuci kacang lalu memperhatikan, hanya itu... " Kataku pelan... Meski sangat berdebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Hj. Raihanah
pikir kan berliana sebelum kau yang terusik kebodohan😒
2023-12-31
0
Ilfa Yarni
deg degan nih
2023-12-13
0
Catur Sk
Kalau sampai Berlian melakukan itu udah ya dia berarti sama aja dengan laras 😌
2023-12-13
0