Suara dering telfon mengalihkan atensi Zaidan dari map yang bertumpuk diatas meja kantornya. Segera, laki-laki itu menerima panggilan masuk dari seseorang yang tak lain adalah Azri, sahabat sekaligus asisten pribadinya.
"Iya, kenapa Azri?" Tanya Zaidan yang masih fokus membuka lembar per lembar berkas yang ada di dalam map.
"Maaf, Pak. Disini ada Ibu Khalisa yang mau bertemu dengan Bapak." Ucap Zaidan.
Sejenak, Zaidan menghentikan gerakan tangannya dan fokus mendengar apa yang diucapkan Azri. Mendengar nama Khalisa disebut, tentu saja menjadi sebuah tanda tanya di benak Zaidan. Kenapa tiba-tiba Khalisa berkunjung ke kantornya?
"Antar dia ke ruang saya," Perintah Zaidan lalu mengakhiri panggilan tersebut.
Tak berselang lama, suara ketukan pintu terdengar yang diyakini Zaidan bahwa itu adalah Azri dan Khalisa.
"Masuk!"
Mendapat izin untuk masuk, Azri kemudian mengarahkan Khalisa untuk masuk di ruangan tersebut.
"Terima kasih, Azri."
"Sama-sama Pak. Kalau begitu saya izin keluar dulu, Pak." Ucap Azri yang mendapat anggukan dari Zaidan.
Melihat asisten pribadinya sudah menghilang dari balik pintu, Zaidan lalu mengalihkan tatapannya pada sosok perempuan yang kini berdiri dengan tangan yang menenteng sebuah paper bag.
"Silahkan duduk, Khalisa." Ucap Zaidan yang tidak ingin basa basi karena memang laki-laki itu tengah sibuk mengurus revisi proposal dari pak Reihan.
"Terima kasih, Zaidan."
"Tumben kamu ke kantor aku. Ada apa, ya?" Tanya Zaidan to the point. Tentu saja Zaidan penasaran dengan maksud kedatangan wanita itu ke tempat kerjanya.
"Aku kesini karena mau nganterin makan siang buat kamu. Makanan ini sekaligus ucapan terima kasih aku karena kamu udah mau nolongin aku waktu di cafe beberapa hari yang lalu." Dengan raut wajah penuh senyuman, Khalisa menyodorkan sebuah paper bag yang berisi makan siang untuk Zaidan.
"Seharusnya kamu nggak perlu repot begini Khalisa. Kita kan teman, jadi wajar kalau aku bantuin kamu." Ucap Zaidan yang menekankan kata teman di kalimatnya.
Khalisa menyadari jika Zaidan berusaha mengingatkan tentang status mereka sebagai seorang teman, tidak lebih. Tapi, bukan Khalisa namanya jika gadis itu mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Nggak repot sama sekali kok. Ini makanannya. Jangan lupa di makan, ya." Ucap Khalisa tersenyum lebar.
"Ah, iya, nanti aku makan. Terima kasih. Tapi, lain kali kamu nggak perlu repot-repot bawa makanan, di kantor ada kantin kok. Jadi aku bisa makan disana."
Bukannya Zaidan menolak niat baik Khalisa yang membawa makan siang untuknya. Tapi, Zaidan tidak bisa menerima sesuatu yang laki-laki itu belum tahu alasan dibalik kebaikan itu. Menurut Zaidan mungkin sikap Khalisa sedikit berlebihan, dengan mengucapkan kata 'terima kasih' pun sudah cukup mewakili balas budinya atas kejadian waktu itu. Zaidan jadi berpikir, apa Khalisa memiliki maksud tertentu dengan sikap baiknya? Tapi, karena tak ingin terlalu berburuk sangka, akhirnya Zaidan memilih menerima saja.
"Ada lagi yang mau kamu sampaikan?" Tanya Zaidan yang membuat Khalisa paham ke mana arah pembicaraan laki-laki itu.
Dalam hati Khalisa menggerutu kesal karena Zaidan terlihat cuek padanya. Padahal, Khalisa sudah merencanakan semua ini agar dia bisa lebih dekat dengan laki-laki incarannya itu. Tidak disangka ternyata Zaidan masih seperti dulu, susah untuk didekati oleh perempuan manapun.
Khalisa yang tiba-tiba teringat akan sesuatu seketika tersenyum dalam diam.
"Nggak ada, kok. Aku kesini cuman mau nganterin makan siang aja."
"Ngomong-ngomong keluarga kamu lagi dekat sama Hanif, ya?" Mendengar pertanyaan Khalisa membuat dari Zaidan berkerut bingung.
"Keluarga aku?" Ulang Zaidan.
"Iya, perempuan yang sama kamu waktu di restoran dulu. Waktu di jalan tadi, aku nggak sengaja ngeliat dia lagi ngobrol sama Hanif di pinggir jalan." Ucap Khalisa yang diam-diam tersenyum miring.
Tentu saja Khalisa senang melihat perubahan ekspresi wajah Zaidan yang terlihat menahan amarah. Khalisa memang tidak sengaja melihat Hanif dan Aiyla yang sedang mengobrol di pinggir jalan. Karena masih penasaran dengan Aiyla, Khalisa akhirnya diam-diam mendengarkan percakapan dua orang itu. Tak disangka ternyata Aiyla yang dikenalkan Zaidan sebagai keluarganya ternyata adalah istri dari laki-laki itu.
Fakta bahwa Zaidan ternyata sudah menikah dan memiliki seorang istri tidak membuat Khalisa mundur ataupun menyerah untuk mengejar laki-laki itu. Justru, Khalisa semakin bersemangat ketika mengetahui jika Hanif yang tak lain adalah sahabat Zaidan menyukai Aiyla.
"Khalisa, saya ada urusan di luar. Kamu bisa pergi kalau memang urusannya sudah selesai." Ucap Zaidan buru-buru membereskan map-map yang berserakan di meja kantornya.
"Oh, iya, Zaidan. Aku juga sekalian mau pamit pulang kalau gitu."
Walaupun rencana utamanya gagal. Tapi, Khalisa tetap bahagia karena berhasil membuat amarah Zaidan muncul ke permukaan.
Di luar kantor, Zaidan sudah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan penuh. Tempat pertama yang akan Zaidan tuju adalah masjid tempat Aiyla meminta izin untuk mengikuti kajian di sana. Pikiran Zaidan sudah berkelana untuk segala kemungkinan yang terjadi. Ada hubungan apa sebenarnya antara Aiyla dan Hanif? Kenapa mereka bisa mengobrol akrab seperti ucapan Khalisa?
Dari kejauhan Zaidan bisa melihat sosok perempuan berpakaian syar'i dan laki-laki yang terlihat mengobrol bersamanya. Beberapa kali, perempuan itu terlihat berusaha menghindar dari si pria, tapi dengan penuh usaha. Laki-laki itu seperti menghalangi langkah perempuan tersebut.
"Aiyla, Hanif!" Seru Zaidan ketika turun dari mobil dan segera menghampiri dua insan berbeda jenis kelamin tersebut.
"Mas Zaidan?" Keduanya tentu saja terkejut dengan kedatangan Zaidan. Terlebih lagi, Aiyla. Mereka berdua bahkan sudah sempat berselisih paham tentang hubungan Aiyla dan Hanif. Jangan sampai Zaidan salam paham untuk yang kedua kalinya.
Ketika berhasil menghampiri Aiyla dan Hanif, Zaidan kemudian menarik tangan sang istri dan menyembunyikan perempuan itu tepat dibelakang punggungnya.
"Ngapain lo ada disini?" Tanya Zaidan dengan tatapan tajam kearah Hanif.
"Gue cuman mampir buat salat disini."
Zaidan tersenyum miring mendengar penuturan Hanif yang membuat Zaidan semakin menaruh curiga pada sahabatnya itu.
"Mampir buat salat, ya? Terus kenapa lo nggak langsung balik ke kantor kalau udah selesai? Kenapa justru lo malah keasikan ngobrol sama istri orang?" Cecar Zaidan dengan suara yang sedikit meninggi.
"Jangan salah paham dulu---"
"Gue nggak salah paham karena gue liat pakai mata kepala gue sendiri! Sebenarnya apa maksud lo deketin Aiyla? Lo tahu kan Aiyla itu istri gue?" Sela Zaidan dengan nada sedikit membentak.
"Lo suka sama Aiyla, Ha?" Tuduh Zaidan sembari menunjuk kearah Hanif.
"Iya, gue suka sama Aiyla. Puas lo!"
Kalimat singkat dari Hanif seakan sebuah tanda peperangan yang dilayangkan laki-laki itu pada Zaidan. Kobaran amarah terlihat jelas dimata Zaidan.
Bagi Zaidan, Hanif sudah melewati batas dengan menyukai Aiyla yang kini berstatus sebagai istrinya.
"Tapi, itu dulu sebelum gue tahu kalau Aiyla ternyata istri lo, Dan. Setelah gue tahu kalau ternyata dia istri lo, gue jadi berusaha buat lupain perasaan gue sama dia!"
Bugh....
Satu pukulan berhasil mendarat mulus diwajah Hanif. Zaidan tidak peduli lagi dengan status mereka sebagai seorang sahabat.
"Jangan pernah berharap buat dapetin Aiyla! Sekalipun lo sahabat gue. Tapi, gue nggak akan mikir dua kali buat hancurin lo!" Ancam Zaidan.
"Ingat ini baik-baik. Aiyla itu istri gue dan sampai kapan pun gue nggak akan pernah lepasin dia. Jadi jangan harap lo bisa rebut dia dari gue!" Tegas Zaidan dengan wajah memerah menahan emosi.
Setelah melampiaskan emosinya pada Hanif, Zaidan kemudian membawa Aiyla masuk ke dalam mobil dan mengemudikan mobilnya menuju ke rumah.
"Lo salah paham, Dan. Walaupun gue cinta sama Aiyla. Tapi, gue sama sekali nggak ada niatan buat rebut dia dari lo karena gue tahu kalau hati Aiyla cuman buat elo." Lirih Hanif melihat mobil Zaidan sudah melaju meninggalkan dirinya.
Tak berselang lama, kendaraan milik Zaidan sudah terparkir di halaman rumah. Semarah apapun Zaidan, laki-laki itu memiliki prinsip untuk menyelesaikan urusan rumah tangga nya di rumah tanpa campur tangan orang lain.
"Jujur sama saya, sebenarnya ada hubungan apa kamu sama Hanif?" Tanya Zaidan masih dengan tatapan tajamnya. Meski pertanyaan itu sudah dijawab oleh Ayla, tetap saja Zaidan memiliki keraguan sebagai seorang suami.
"Aku sudah pernah bilang sama Mas Zaidan kalau aku sama Mas Hanif nggak ada hubungan apa-apa." Jelas Aiyla.
Zaidan tampak frustasi. Laki-laki itu bahkan mengusap wajahnya dengan kasar mendengar jawaban Aiyla.
"Terus apa maksud Hanif kalau dia suka sama kamu? Apa kalian pernah menjalin hubungan sebelum kita menikah?" Tanya Zaidan kembali.
"Aku sama sekali nggak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun sebelum kita menikah, Mas. Dan masalah Mas Hanif, waktu itu beliau memang pernah mengajak aku buat ta'aruf tapi aku tolak karena kita akan segera menikah, Mas." Kini terjawab sudah keresahan yang selama ini mengganggu pikiran Zaidan.
"Jadi kalau kita tidak menikah. Itu artinya kamu akan terima ajakan ta'aruf dari Hanif?"
"Jawab Aiyla!" Sentak Zaidan yang mulai kacau.
"Apa jawaban yang mau Mas Zaidan dengarkan? Kita sudah menikah, Mas. Itu artinya aku dan Mas Hanif memang tidak ditakdirkan bersama. Apa itu tidak cukup menjadi jawaban untuk keraguan Mas Zaidan?"
Bukannya menjawab pertanyaan Aiyla. Zaidan justru kembali melontarkan pertanyaan untuk gadis berpakaian syar'i itu.
"Apa laki-laki yang kamu cinta itu Hanif?" Tanya Zaidan yang kini menatap lekat mata teduh sang istri.
"Bukan, Mas." Tegas Aiyla.
"Lalu siapa dia? Apa kalian sering bertemu secara diam-diam?"
"Kami memang sering bertemu, Mas. Tapi tidak secara diam-diam."
"Apa kamu benar-benar mencintai laki-laki itu?"
"Aku bahkan sangat mencintai dia."
"Mulai sekarang berhenti mencintai laki-laki itu. Karena saya suami kamu dan yang berhak mendapatkan semua itu cuman saya." Ucap Zaidan dengan penuh ketegasan.
Laki-laki 23 tahun itu menghempaskan tubuhnya disofa ruang tamu. Keadaan Zaidan benar-benar kacau saat ini. Kecewa, sesak dan marah menjadi satu. Zaidan benci pengkhianatan dan Aiyla seakan mengkhianatinya dengan mencintai laki-laki lain.
"Maaf, Mas. Aku nggak bisa menuruti permintaan Mas Zaidan." Balas Aiyla yang membuat Zaidan kembali meradang.
"Apa istimewanya laki-laki itu Aiyla? Saya mungkin bukan laki-laki yang kamu inginkan, tapi setidaknya beri saya kesempatan untuk menjadi suami yang baik untuk kamu." Ucap Zaidan sambil memegang kedua pundak Aiyla.
"Dia sangat istimewa, Mas. Bahkan sampai aku tidak bisa melihat laki-laki lain selain dia."
"Stop, Aiyla! Stop!" Teriak Zaidan yang kini semakin dibuat frustasi.
"Apa Mas ingin tahu siapa laki-laki itu?" Tanya Aiyla.
"Tidak! Dan jangan pernah menyebut namanya di depanku!"
"Aku mohon Aiyla jangan bicara lagi." Pinta Zaidan dengan lirih.
"Kenapa? Bukankah Mas sangat penasaran dengan dia?" Tanya Aiyla yang semakin membuat dada Zaidan sesak mendengarnya.
"Karena saya tidak ingin melampiaskan kemarahan saya dan berakhir menyakiti kamu. Jadi saya mohon, berhenti bicara tentang laki-laki yang kamu cinta itu. Saya tidak akan bisa memaafkan diri saya sendiri kalau sampai saya menyakiti kamu Aiyla." Jujur Zaidan dengan mata yang mulai memerah.
"Baik, kalau memang itu yang Mas Zaidan mau."
"Aiyla, bisa kamu berjanji satu hal sama saya?" Pinta Zaidan menatap sendu sang istri.
Sejujurnya Aiyla tidak tega melihat Zaidan yang begitu kacau karena merasa dikhianati. Padahal laki-laki yang selama ini diceritakan Aiyla adalah suaminya sendiri yang tak lain adalah Zaidan.
"Apa itu, Mas?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Yulia Astutik
yah bersambung
2024-01-05
0
Sumarni Marni
mana upx
2024-01-05
0
Sumarni Marni
up dong thor
2024-01-04
0