Setelah selesai mengajar anak-anak di masjid, Aiyla dan Zahwa mengobrol seraya berjalan beriringan menuju kearah parkiran untuk segera pulang.
"Permisi!" Cegat sosok pemuda bertubuh tegap serta kulit sawo matang.
Aiyla dan Zahwa menghentikan langkah mereka ketika mendengar ucapan laki-laki tersebut.
"Maaf sebelumnya, apa boleh saya minta nomer orang tua kamu? Atau mungkin alamat rumah kamu?" Tanya pemuda tersebut dengan hati-hati pada Aiyla.
"Maaf, Mas. Tapi, untuk apa, ya?" Tanya Aiyla.
"Begini, sebenarnya sudah 2 bulan saya memperhatikan kamu mengajar anak-anak di masjid ini. Dan entah kenapa saya mulai kagum dengan kepribadian kamu. Kalau memang kamu mengizinkan, saya mau mengenal kamu lebih jauh lewat ta'aruf." Jelas pemuda tersebut dengan lantang mengutarakan keinginannya.
Aiyla tentu saja cukup kaget mendengar niat pemuda di hadapannya itu. Sebenarnya Aiyla mengagumi cara pemuda itu yang ingin berta'aruf dan langsung menemui kedua orang tua perempuan yang ingin dia dekati. Hanya saja, takdir seolah tidak mengizinkan mereka untuk bersama.
"Maaf, Mas. Tapi, saya sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi kami akan menikah." Jujur Aiyla.
Penolakan sekaligus fakta yang perempuan idamannya itu ucapkan tentu saja menghancurkan senyuman yang sejak tadi terbit di wajah pemuda tersebut. Rasanya seperti ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya. Pupus sudah harapan dan semua impian untuk memperjuangkan perempuan yang entah sejak kapan sudah menempati tahta tertinggi di hatinya.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Mas." Ucap Aiyla berlalu meninggalkan pemuda tersebut yang masih diam mematung di tempatnya.
Melihat Aiyla meninggalkan area parkiran dengan motor milik gadis itu semakin membuat pilu hati laki-laki berkulit sawo matang tersebut.
"Dia akan menikah? Itu artinya saya nggak punya harapan lagi." Gumam pemuda tersebut dengan raut wajah kecewa.
Akhirnya dengan keadaan patah hati, pemuda tersebut meninggalkan area masjid dengan mengendarai mobil pribadinya.
Disebuah kafe, Zaidan tengah duduk sambil menunggu ketiga sahabatnya yang akan datang sesuai perjanjian mereka. Semenjak orang tuanya sibuk mempersiapkan pernikahan dirinya dan Aiyla, rasanya Zaidan semakin bosan untuk berada di rumah. Laki-laki 23 tahun itu akan selalu mencari alasan agar bisa keluar rumah dan bertemu dengan ketiga sahabatnya itu.
"Tumben ngajak kumpul bareng?" Sahut Kevin yang sudah berdiri tepat di balik punggung lebar Zaidan.
"Lagi males di rumah." Jawab Zaidan jujur.
"Hanif sama Azri belum dateng?" Zaidan menggeleng mendengar pertanyaan sahabat karibnya itu.
Pandangan Kevin beralih pada jejeran minuman dan makanan yang tersedia di meja. Senyum merekah kini terbit di wajah pemuda dengan lesung pipi tersebut.
"Wah, sahabat gue emang paling pengertian. Tahu aja gue belum makan dari tadi." Ucap Kevin seraya menarik kursi dan duduk bergabung bersama dengan Zaidan.
Tak berselang lama akhirnya Azri dan Hanif pun datang. Ketiga sahabat Zaidan tentu saja bisa melihat wajah lesu dan loyoh dari laki-laki yang duduk di hadapan mereka.
"Lo itu mau nikah, Dan. Bukan mau ikut perang. Kenapa muka lo lesu kayak gitu sih?" Papar Kevin sembari menikmati makanan yang sudah dipesan Zaidan tadi.
Zaidan mengusap wajahnya dengan kasar. Sudah beberapa malam laki-laki itu sulit untuk sekedar tidur dengan nyenyak tanpa beban pikiran. Tapi, mengingat pernikahannya dengan Aiyla hanya menghitung hari lagi, membuat pikiran Zaidan kembali kacau.
"Lo nggak tahu rasanya mau nikah sama cewek yang nggak lo cinta. Di tambah lagi cewek itu diluar kriteria cewek idaman elo." Tutur Zaidan frustasi.
"Ya, mau gimana lagi, Dan. Mungkin ini yang namanya takdir." Perkataan Hanif mendapatkan anggukan setuju dari Kevin.
"Lagian nih, yang gue dengar-dengar biasanya mereka yang dijodohin itu memang awalnya nggak saling suka. Tapi, ujung-ujungnya bucin juga sama pasangan masing-masing. Mungkin aja suatu saat lo bakalan gitu juga sama istri lo."
"Nggak mungkin gue bakalan bucin sama dia. Liat penampilan dia aja udah bikin gue risih." Jawab Zaidan dengan percaya diri.
"Maksud lo penampilan dia gimana?" Tanya Kevin penasaran.
"Bayangin aja, setiap hari dia pakai gamis sama jilbab yang panjang. Apa istimewanya coba cewek kayak gitu? Yang ada dia kayak ibu-ibu tahu nggak." Ucap Zaidan sembari memijat pelan pelipisnya.
"Lo nggak boleh ngomong kayak gitu lah, Dan. Harusnya lo bersyukur karena bisa dapat istri yang bisa menjaga auratnya dengan baik kayak gitu." Zaidan memutar bola matanya dengan malas. Sepertinya pertemuannya dengan ketiga sahabatnya itu di luar ekspektasi.
Zaidan juga cukup heran, sejak kapan Hanif terdengar bijak dalam menanggapi sesuatu. Biasanya Hanif lah yang lebih dulu memandang aneh pada perempuan-perempuan yang memakai pakaian syar'i di zaman ini.
Saat ketiganya tengah sibuk dengan obrolan mengenai rencana pernikahan Zaidan, Kevin yang duduk di antara Hanif dan Azri seketika menyadari jika ada yang aneh dengan Azri. Sejak tadi laki-laki itu tidak membuka suara sama sekali.
"Azri, tumben lo diam aja dari tadi? Lagi sariawan apa gimana?" Canda Kevin.
Azri yang ditanya demikian pun tak bergeming. Laki-laki itu terlihat sibuk mengaduk minumannya dengan pipet sedotan.
"Kalau aja minuman bisa salting, udah salting dari tadi kali tuh minuman lo liatin mulu."
Jika biasanya Azri akan merespon candaan sahabatnya itu dengan santai, tapi kali ini laki-laki itu terlihat berbeda. Azri justru melemparkan tatapan tajam ke arah Kevin yang terus saja mengoceh tanpa henti. Sedangkan Kevin yang melihat tatapan tajam dari Azri seketika menghentikan gigitannya pada kentang goreng yang berada di mulutnya.
Tanpa sepatah kata lagi, Azri bangkit dan segera pergi meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih bingung dengan tingkah pemuda itu.
"Azri kenapa sih?" Tanya Kevin kebingungan.
Zaidan dan Hanif hanya bisa mengangkat kedua bahunya tanda jika mereka juga tidak tahu menahu soal sikap dingin Azri tadi.
"Zaidan! Kamu Zaidan kan?" Sosok perempuan dengan dress selutut serta rambut terurai terlihat menghampiri meja Zaidan.
Mendengar nama Zaidan disebut membuat laki-laki itu berserta dua orang sahabatnya menoleh ke sumber suara.
Perempuan yang menyapa Zaidan itu tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi. Melihat Zaidan yang hanya diam memandanginya membuat perempuan cantik itu kembali bersuara.
"Kamu masih ingat sama aku nggak? Aku Khalisa. Teman SMA kamu dulu." Ucap Khalisa sembari menunjuk dirinya sendiri.
Memori Zaidan seketika mengulang kembali masa-masa SMA-nya dulu. Dan detik berikutnya, Zaidan berhasil mengingat nama serta wajah perempuan cantik yang kini berdiri tepat di hadapannya.
"Ah, iya, aku ingat. Kamu Khalisa bendahara OSIS waktu itu kan?" Tanya Zaidan.
Raut wajah Khalisa tampak berbinar ketika Zaidan berhasil mengingatnya. Masa SMA dulu, Zaidan dan Khalisa memang terlibat interaksi yang cukup sering karena saat itu Zaidan menjabat sebagai wakil ketua OSIS dan Khalisa menjabat sebagai bendahara OSIS.
"Iya, itu aku. Nggak nyangka, ya, akhirnya kita bisa ketemu disini." Ucap Khalisa.
Kevin dan Hanif yang masih setia mendengar obrolan kedua orang dihadapannya itu hanya bisa saling melempar pandangan.
"Aku boleh ikut gabung nggak sama kalian?" Tanya Khalisa seraya menatap Zaidan, Kevin dan Hanif bergantian.
"Boleh," Bukan Zaidan yang mengucapkan kata itu, melainkan Kevin yang menjawab dengan cepat pertanyaan Khalisa.
Mendapat izin untuk bergabung, akhirnya Khalisa menarik kursi kosong di samping Zaidan.
"Kamu apa kabar?" Tanya Khalisa yang terlihat antusias.
"Baik, kamu sendiri gimana?"
"Aku juga baik." Jawab Khalisa.
"Kalau boleh tahu kesibukan kamu sekarang apa?"
"Sekarang aku lagi sibuk sama kerjaan aja sih. Kebetulan aku dapat amanah buat jadi manajer di perusahaan Gandratama Group." Jawab Zaidan.
"Wah! Itukan salah satu perusahaan yang terkenal. Aku nggak nyangka ternyata 5 tahun nggak ketemu, kamu udah jadi orang sukses, ya."
Keduanya terlihat hanyut dalam obrolan hingga melupakan keberadaan Kevin dan Hanif disana. Kevin yang sejak tadi ingin berkenalan dengan gadis cantik itu hanya bisa mendengus kesal karena kedua manusia didepannya itu terlihat asik sendirian.
"Bisa aja. Ngomong-ngomong kamu sendiri gimana? Lagi sibuk apa sekarang?" Tanya Zaidan balik.
"Kebetulan aku lagi belajar merintis usaha butik sendiri. Hitung-hitung aplikasiin ilmu yang aku dapat waktu kuliah." Jawab gadis itu diakhiri kekehan kecil.
Setelahnya Khalisa beralih menatap jam di ponselnya.
"Zaidan, aku pamit dulu, ya. Kapan-kapan kita lanjutin obrolan yang tadi."
"Ah, iya. Hati-hati."
Melihat tubuh tinggi Khalisa sudah menghilang di balik pintu kafe. Zaidan kini dihadapan pada Kevin yang menatapnya seolah sedang meminta penjelasan dari laki-laki itu.
"Cuman teman SMA gue." Ucap Zaidan tanpa ditanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
꧁♥𝑨𝒇𝒚𝒂~𝑻𝒂𝒏™✯꧂
Azri kah pria yg di tolak utk ta'aruf oleh Aiyla???
2024-01-27
2