Rumah sepi saat Katalina pulang di tengah malam. Gadis itu yakin kalau paman dan bibinya sedang berada di mansion keluarga Bagaskara. Menjaga mansion itu karena malam ini resepsi pernikahan Okan dan Viona.
Matt mengantar Katalina sampai di depan pintu. Ia berjanji akan menghubungi Katalina beberapa hari lagi.
Ketika memasuki kamarnya, Katalina mengambil kembali surat yang ia tinggalkan untuk paman dan bibinya. Ia membakar surat itu. Surat yang berisi permintaan maaf karena ia berbohong akan pergi ke tempat yang jauh.
Perlahan Katalina membaringkan tubuhnya. Dokter tadi mengatakan kalau dia jangan terlalu banyak bergerak karena kandungannya masih terlalu lemah.
Ingatan Katalina kembali pada kisah manisnya bersama Okan. Pacaran semenjak Katalina duduk di kelas 1 SMA.
"Okan, kenapa sih kamu menyukai aku. Di kota ini pasti banyak gadis cantik."
"Di kota ini memang banyak gadis cantik. Saat aku berada di luar negeri pun, banyak sekali gadis cantik. Namun entah mengapa, saat pertama melihatmu, aku langsung jatuh hati." Okan membelai wajah Katalina. "Kamu memang masih kecil, sayang. Aku janji, akan menunggumu dewasa sampai akhirnya kita bisa memiliki kisah cinta yang indah." Okan yang saat itu sudah berusia 22 tahun, seakan tak mempersoalkan perbedaan usia mereka. Ia bahkan melarang Katalina memanggilnya dengan sebutan kakak.
Waktu itu, Katalina begitu senang saat mendengar pengakuan Okan. Dan pria itu memang tidak macam-macam. Saat mereka ketemu, mereka hanya selalu bergandengan tangan. Okan begitu sabar dengan semua sifat kekanakan Katalina. Sampai akhirnya saat Katalina berusia 17 tahun, Okan meminta ciuman pertamanya.
"Happy birthday, sayang!" kata Okan saat keduanya ketemu di rumah pondok yang baru saja dibeli oleh Okan.
"Terima kasih."
Okan menghadiahkan sebuah kalung emas dengan liontin buah hati.
"Okan, ini sangat indah."
Okan mengusap kepala Katalina saat ia sudah selesai memakaikan kalung itu. Matanya menatap Katalina dengan begitu lembut. Tangannya kini membelai pipi mulus Katalina. "Sayang, aku boleh cium kamu?" tanya Okan. "Aku sudah lama menantikan hal ini."
Katalina tersipu malu. Namun dia akhirnya mengangguk juga. Okan dengan lembut mencium dahinya, turun ke hidungnya, lalu ke pipi kanan dan kirinya, sampai akhirnya ciuman Okan berhenti di bibir Katalina.
Waktu itu Katalina merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia bahkan tak bisa tidur sepanjang malam karena memikirkan ciuman pertamanya yang begitu romantis. Katalina tak merasakan kalau Okan bersikap tak sopan atau bermaksud mesum padanya. Pria itu hanya memeluknya ketika ciuman itu berakhir.
**********
Tangan Katalina bergetar saat memegang kalung yang masih melingkar di lehernya itu. Ia menarik nya dengan sangat keras sampai kalung itu putus. Katalina merasakan kalau lehernya agak sedikit perih. Pasti ada sedikit goresan di lehernya. Rantai kalung ini adalah jenis rantai yang tak mudah putus. Kelihatannya saja halus namun sangat kuat.
Katalina menyimpan kalung itu di dalam sebuah kotak. Ia akan mengembalikan kalung itu pada Okan jika mereka ketemu.
Dengan cepat, gadis cantik itu menghapus air matanya. "Aku tak akan lagi menangis untuk kalian." kata Katalina sambil memukul dadanya beberapa kali. "Ibu, ayah, aku merindukan kalian."
Pagi harinya, Katalina bangun terlambat. Ia melihat kalau kedua sepupunya sudah pergi ke sekolah. Pamannya pasti sudah mengurus peternakan.
"Nak, kamu sakit?" tanya bibinya saat melihat Katalina yang baru bangun saat jam sudah menunjukan pukul 8 pagi.
"Hanya kelelahan saja, bi."ujar Katalina lalu menuangkan air putih ke dalam gelas untuk ia minum. "Bibi nggak kerja?"
"Ada. Namun sedikit lagi baru pergi. Semua keluarga Bagaskara sedang ke puncak. 3 hari lagi mereka baru kembali."
"Oh..., pengantin barunya sedang bulan madu di mana?" Entah mengapa Katalina tergelitik untuk menanyakan hal itu.
"Hanya ke puncak saja. Karena non Viona katanya mau ujian semester dan karena hamil muda jadi belum diijinkan naik pesawat."
"Oh......!"
"Semalam kamu ke mana? Kata salah satu satpam kamu datang ke pesta. Tapi saat makan malam bibi nggak melihat kamu."
"Aku pulang, bi. Perutku nggak enak."
"Pasti kamu mau datang bulan kan? Selalu seperti itu jika mau datang bulan. Masih punya stok pembalut?"
Wajah Katalina menjadi pucat. Namun ia berusaha bersikap biasa. "Ada bi."
Feni menatap ponakannya. "Nak, sekolah yang baik ya? Usahakan kuliahnya sampai selesai. Jangan salah bergaul apalagi kayak nona Viona. Kalau mereka orang kaya. Jadi nggak masalah mau nikah kayak gitu. Namun kita orang miskin. Sekalipun miskin, bibi ingin pernikahannya lewat jalan yang benar. Ada proses lamaran, ada pesta walaupun kecil-kecilan. Kalau kamu sudah hamil duluan, selain membuat malu keluarga, bagaimana jika lelakinya nggak mau bertanggung jawab?"
Susah payah Katalina berusaha menahan air matanya. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Seperti biasa jika mendengar nasehat bibinya.
"Ponsel kamu di mana? Semalam bibi telepon tapi kok nggak aktif?"
"Ponsel aku hilang, bi." kata Katalina berbohong. Sebenarnya ponselnya hilang saat ia terjun dari atas jembatan.
"Ya sudah. Nanti kalau bibi punya uang lebih, bibi belikan lagi. Sekarang bibi mau menemui paman mu dulu di kandang, baru setelah itu ke mansion. Kamu sarapan saja Setelah itu istirahat lagi."
Setelah sang bibi pergi, tangis Katalina langsung pecah. Ia memegang perutnya, membayangkan semua yang bibinya katakan tadi. Tentu mereka akan sangat malu saat menemukan Katalina yang bunuh diri dalam keadaan hamil.
Gadis itu bersyukur karena Matt menyelamatkannya.
Tok.....tok....tok.....
Katalina buru-buru menghapus air matanya sebelum akhirnya membuka pintu rumah. Ia terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.
"Tuan?"
"Boleh aku masuk?"
"Tapi paman dan bibiku?"
"Tenang saja. Mereka nggak mungkin kembali. Lagian aku sudah agak lama berdiri di depan sini."
"Ha?"
Matt langsung masuk tanpa memperdulikan keterkejutan Katalina. Ia duduk dan memandang seisi rumah ini.
Rumah kecil yang terlihat bersih dan sangat rapi.
"Aku berubah pikiran. Menurut ku sebaiknya jangan 2 minggu lagi kita menikah. Itu akan sangat beresiko saat mereka tahu kehamilanmu."
"Tapi...."
"Nggak ada tapi. Aku mendengar semua yang bibi mu katakan tadi karena aku berdiri tak jauh dari jendela. Aku juga sebenarnya sudah ada rencana untuk tahun depan sehingga melaksanakan pernikahan lebih cepat akan sangat baik dan tak menganggu rencanaku. Bagaimana? Setuju atau tidak? Kamu tak punya waktu untuk memilih."
Katalina memandang pria di hadapannya. Sungguh lelaki ini seorang ditaktor. Apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah. Namun mau bagaimana lagi. Katalina juga harus menyelamatkan nama baik paman dan bibinya.
"Baiklah. Tapi, apa yang harus aku katakan. Kuliah ku belum selesai, mungkin mereka tak akan mengijinkannya."
"Soal itu kamu tenang saja. Nanti malam aku akan kembali." Matt langsung pergi dan meninggalkan rumah itu.
Saat malam tiba, Katalina menjadi sangat gelisah. Apalagi saat mereka sudah selesai makan dan Matt belum juga datang.
Bibinya sudah membereskan meja makan saat terdengar ketukan di pintu luar.
Dewa yang berdiri di dekat pintu segera membuka pintu itu. Ia mendongakkan kepalanya menatap pria jangkung yang berdiri di hadapannya.
"Selamat malam, apakah orang tuamu ada?"
Dewa mengangguk. Ia melebarkan daun pintu dan mempersilahkan Matt masuk.
Wajah Katalina langsung menjadi tegang saat melihat Matt.
Feni dan Baron suaminya menatap pria yang kini duduk di ruang tamu. Di lihat dari penampilan pria itu, nampaknya ia bukan pria sembarangan.
"Selamat malam, paman, bibi, perkenalkan nama saya Matthias Erlangga. Saya adalah pacarnya Katalina." Kata Matt dengan begitu manis. Tak ada kesan sombong dan arogan seperti biasa.
"Pacar Lina?" Feni menatap ponakannya yang berdiri diantara batas ruang tamu dan dapur.
Katalina mendekat dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Ia kemudian duduk di sebelah Matt dengan mengatur jarak yang agak jauh.
"Paman, bibi, ini memang pacar Lina." kata Katalina setelah mengumpulkan kekuatannya untuk bicara.
"Tapi selama ini kamu nggak pernah cerita ke bibi kalau sudah punya pacar." Feni tahu kalau ponakannya ini tergolong gadis yang cantik. Di peternakan ini, banyak lelaki yang menaruh hati pada Katalina namun selalu gadis itu menolaknya dengan halus karena ia masih ingin sekolah.
"Sebenarnya, kami ketemu dua tahun yang lalu saat Katalina magang di perusahaan sahabatku. Namun waktu itu, kami tak sempat ngobrol banyak sehingga komunikasi yang terjalin pun hanya lewat telepon. Aku harus kembali ke Amerika untuk urusan pekerjaan. Selama 2 tahun ini, kami baru 2 kali ketemu. Dan di pertemuan yang ketiga ini, aku ingin meminta restu dari paman dan bibi untuk melamar Katalina."
"Melamar?" Feni menatap suaminya, lalu kemudian menatap Katalina. "Nak, bukankah kamu selalu mengatakan ingin menyelesaikan kuliahmu dulu? Lagi pula tuan ini siapa? Paman dan bibi belum juga mengenalnya."
"Aku memang selalu mengatakan ingin menyelesaikan kuliah dulu karena ingin menolak semua pria yang mendekati ku. Namun, semua itu ku katakan karena sesungguhnya aku sudah memiliki pacar. Aku mencintai Matt." Katalina akhirnya mengatakan sebuah kebohongan.
"Dan aku juga mencintai Alin." ujar Matt.
"Alin?" Feni mengerutkan dahinya.
"Itu panggilan sayang aku untuk Katalina." Matt pura-pura malu. "Usiaku sudah cukup matang. Aku sudah punya penghasilan yang cukup untuk berumah tangga. Aku tak akan melarang Alin kuliah. Dia bisa menyelesaikan studinya dan bekerja seperti yang dia inginkan. Aku hanya ingin segera menghalalkan hubungan kami agar kami tak jatuh dalam pergaulan yang buruk. Tolong, restui aku." Matt mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya. Pandangan matanya penuh permohonan kepada Feni dan Baron.
Baron menatap Katalina. "Nak, pasti sebelum tuan Matt ke sini, kalian sudah bicara. Paman dan bibi tak akan melarang jika memang ini yang kau inginkan juga. Walaupun sebenarnya kami belum siap melepaskan kamu yang baru berusia 20 tahun. Tapi, dari pada kalian jatuh di pergaulan yang salah, maka paman dan bibi akan merestuinya."
Katalina terkejut mendengar perkataan pamannya. Paman Baron memang tak banyak bicara. Orangnya cenderung pendiam.
"Lusa, aku dan orang tuaku akan datang ke sini melamar Alin secara resmi." Matt mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam saku celananya. "Maaf, bukannya saya lancang. Ini ada uang sedikit untuk persiapan acara lamaran nanti. Buatlah semuanya bagus. Agar orang-orang di peternakan ini tak akan merendahkan Alin. Aku permisi dulu."
Katalina mengantarkan Matt sampai di depan pintu. Matt memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepadanya. "Nanti aku hubungi." katanya dengan tatapan dingin lalu segera pergi dengan mobil mewahnya.
**********
Apa yang akan terjadi saat Katalina tahu kalau Matt adalah pamannya Viona?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Sandisalbiah
setidaknya Matt masih menghargai Katalina dgn mengikuti ke inginan bibinya.. jd org tdk akan salah faham dan merendahkan Katalina.. btw.. suka dgn panggilan Matt ke Katalina.. Alin
2024-08-08
0
Bundanya Jamal
waoooo
2024-03-08
0
Bu Neng
kaget dooong...
2024-02-23
1