Ponsel Indira jatuh dari tangannya saat mendapat kabar yang memilukan. Hatinya bergetar hebat terasa begitu nyeri, kesakitan tak ada habisnya datang bertubi-tubi tanpa memberikannya sedikit waktu saja untuk bernafas sejenak.
Baru saja ia melahirkan dan di ceraikan oleh suaminya. Sekarang dia harus mengalami hal buruk karena Ayahnya juga meninggal karena kecelakaan yang menimpa pria paruh baya itu.
Musibah yang menyakitkan menimpanya bertubi-tubi. Ia berusaha menurunkan kakinya untuk berdiri tapi hasilnya nihil, ia belum sejam melahirkan. Jadi tubuhnya masih terlalu lemah untuk berlari pergi dari rumah sakit ke lokasi sang Ayah kecelakaan.
Hanya bisa menangis tak berdaya, tak ada siapapun yang dia harapkan untuk menolongnya saat ini karena ia hanya anak tunggal dan memiliki beberapa paman dan tante. Tentu saja ia tak berharap banyak karena saudara Ayahnya tidak ada yang menyukai dia dengan almarhum Ayahnya. sedangkan sang ibu sudah lama berpulang.
Mengetahui Ayah Indira meninggal, saudara-saudara Ayahnya bukannya bersedih atau mencari dirinya, tapi mereka sedang memperebutkan tanah, rumah, dan lahan yang berhektar milik Ayah indira untuk mereka jual. Padahal semua yang di dapat kan itu hasil dari kerja keras Ayah Indira sendiri.
,,,
Sehari berlalu dengan cepat. Indira yang masih sakit dengan wajah pucat-nya terpaksa keluar dari rumah sakit saat merasa dia tak akan mampu untuk membiayai rumah sakit lagi, Indira tak memiliki sepeser uang-pun dalam dirinya setelah selesai membayar tagihan rumah sakit.
Ia juga memilih kembali ke rumah Ayahnya, mengingat di suami sudah resmi menceraikan dirinya. Setibanya di sana, berharap ia bisa beristirahat dengan tenang, tapi bukannya tenang. Ia malah melihat rumah itu sudah di gembok dari luar.
Langkah kaki lemahnya berjalan mendekati pintu rumah dan melihat gembok tersebut.
Kaget, "Kenapa rumah ini di kunci?" Ucap Nadira menahan rasa sakit di sekujur tubuh sambil menggendong bayinya.
Kebetulan Indira melihat ada seorang ibu-ibu yang lewat, "Bu, apa ibu tahu kenapa rumah Ayah di gembok, bu?" Tanya Indira.
"Oh, itukan rumahnya sudah di jual kemarin, sama saudara almarhum Ayah kamu, Indira. Saat selesai Ayahmu di kebumikan, rumah dan semua lahan Ayahmu langsung di jual oleh saudara-saudara, almarhum," jawab ibu tersebut membuat Indira semakin terkejut.
"Apa! Di jual? Bagaimana bisa rumah ini di jual, buk? Surat-surat tanah sama rumah ini kan Ayah yang menyimpannya? lalu bagaimana bisa paman dan bibik ku bisa menemukan semua surat-suratnya?" Ucap Indira seperti tidak percaya.
"Kalau itu mah ibu juga tidak tahu, yang pastinya kemarin saudara Ayah kamu sudah menjual rumah itu, tanah dan juga lahan Ayahmu juga sudah di jual semuanya." jawab ibu-ibu tersebut.
Ya Allah... Berarti dari awal paman dan bibik sudah merencanakan untuk menjual rumah ini... Mereka bukannya sedih melihat Ayah yang baru saja meninggal, tapi mereka malah memperebutkan harta Ayah. Batin Indira.
Indira tak tahu ingin berkata apa lagi, ia memilih pergi dari rumah tersebut setelah tahu rumah itu bukan hak Ayahnya lagi.
Tiba-tiba terdengar suara petir bersamaan hujan turun dengan derasnya.
Ia membawa bayinya ke sebuah pondok yang terlihat kumuh tapi masih bisa untuk melindunginya dari terkena tetesan air hujan yang akan membahayakan bayinya.
"Ya Allah... Kenapa ujian ini sepertinya tidak ada habisnya, Ya Allah... Aku benar-benar sangat menderita." Tangis Indira memeluk bayinya erat menumpahkan kesedihannya.
Lama menangis akhirnya dia tertidur pulas sambil bersandar di tiang pondok rapuh itu.
Oek! Oek! Oek!
Terdengar tangisan sang bayi membuat Indira terbangun dan membuka netra berusaha mendiamkan bayinya.
Ia memegang tubuh bayi itu yang ternyata sangat pantas, "Dia demam... Apa yang akan aku lakukan... Aku tidak tahu apa-apa tentang bayi." Panik Indira berusaha berdiri untuk meminta bantuan orang-orang.
Sudah berapa rumah yang dia ketuk, tak ada satu orang pun yang ingin membukakannya pintu. Entah mereka mendengar ketukan gadis itu, atau sengaja membuat tidak dengar. Yang pastinya saat ini sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.
Indira kembali berjalan dengan putus asa membawa bayinya pergi ke salah satu puskesmas terdekat dengan berjalan sambil bertelanjang kaki.
Setibanya ia di puskesmas terdekat, ia langsung meminta doktor untuk menangani bayinya.
Ternyata sang bayi sudah meninggal akibat kesejukan terkena hawa dingin malam, apa lagi hujan dan angin yang begitu deras membuat bayi yang baru lahir itu tidak bisa bertahan hidup dengan lingkungan tak mendukung.
Indira sangat terpukul, bayi yang baru saja lahir sehari, kini sudah pergi lagi meninggalkan ia sendirian. Tak ada siapapun tempat untuk bergantung hidup. Semua telah pergi meninggalkan dirinya yang terpuruk sendirian menahan rasa sakit di hati dan juga di fisik.
Indira kembali menangisi nasibnya. Karena sekarang sudah begitu larut dan orang-orang sudah banyak yang terlelap tak ada lagi yang berkeliaran hanya tinggal dirinya.
Dengan hati luka ia menggendong bayinya berjalan masih bertelanjang kaki menangis di perjalanan seperti orang gila bersamaan hujan kembali turun dengan deras.
"Ibu... Ayah.... Aku benar-benar menderita... Tidak ada orang atau siapapun yang peduli padaku. Aku sendirian, Ayah, ibu...." Teriak Indira sambil terus berjalan tanpa arah membawa bayi dalam gendongannya yang sudah basah kuyup tak bernyawa lagi.
Malam yang gelap dengan petir dan guntur saling bersahutan tak membuat gadis itu takut maupun lelah dengan kedua kaki terus melangkah merasa hancur dan putus asa karena fitnah yang sudah di lakukan oleh sahabat baiknya sendiri.
Aku benar-benar hancur....
Kedua kaki gadis itu terhenti tepat di sebuah hutan kecil di sana sangat gelap dan sepi. Ia masuk ke dalam hutan tersebut hanya berharap kilat untuk menjadi menerang penglihatannya.
Indira membaringkan jasad bayi dalam gendongannya ke tanah, kemudian ia menggali tanah yang memang sudah lembut akibat terkena hujan deras. Ia berniat untuk menguburkan jasad bayinya sebelum bayi itu berlarut dan akan bau.
Cukup lama gadis itu berusaha menggali kuburan untuk anaknya akhirnya dia berhasil menguburkan sang bayi tanpa bantuan siapapun.
Indira memeluk tanah tempat peristirahatan sang anak yang terakhir di muka bumi.
"Aku berjanji! Aku akan membalas dendam ku pada kalian semua yang sudah membuat aku menderita! Aku berjanji pada diri ku sendiri, kalian semua akan hancur! Seperti mana kalian sudah menghancurkan aku!" tekad Indira menggenggam tanah kuburan bayinya penuh tekad.
"Aku akan menghancurkan kamu, Mas! Dan aku juga akan menghancurkan kau Gladis Bahana Calvin Cakra!" dendam yang membara dari kedua bola mata Indira.
,,,
Setahun kemudian.
Tap Tap Tap
Langkah kaki seorang gadis cantik nan seksi yang memperlihatkan belahan dada serta paha mulusnya dari balik belahan gaun indah yang dia pakai.
Tampak gadis itu berjalan dengan langkah elegan memakai topeng karena saat ini dia berada di sebuah acara dansa.
Indira membawa dua gelas minuman yang sudah ia siapkan untuk targetnya malam ini.
Bola mata indah itu tertuju pada seorang laki-laki tampan yang duduk di kursi VVIP sedang menonton acara dansa.
Calvin Cakra. Malam ini kau milikku! Putri mu sudah merebut semua kebahagiaanku dan merampas segalanya dari ku. Aku akan menghancurkan keluarga mu juga, bagaimana putri mu menghancurkan keluarga ku!. Batin Indira tersenyum jahat menatap laki-laki berusia 40 tahun tapi masih terlihat begitu muda dan kekar beserta tubuh tampak kokoh dan tegak tapi terlihat begitu dingin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Lily Miu
kok ngenes banget 😭
2024-05-28
0
keysha Azzahra
kalo aku d posisiny indiria kyany g bkln snggup buat melangkah sxlipun,,krna yg namya lhirn normal tuh g lngsung ambuh slm sehri apalgi untuk pertm lhirn psti snggu tuh d bw jln aja msih sakit,emosi emak2 berkobar dah akan nasib indira
2024-04-25
2
guntur 1609
busuk s3mua keluarga ayahmu indira. jadikan pelajaran tk kedepanya
2024-02-16
1