Telah Mati

Aku tersentak usai mendengar perkataan ini keluar dari mulut ibu asrama. Betapa tidak, di saat anak muridnya terluka parah, bisa-bisanya ia memikirkan agar kami tutup mulut mengenai kejadian ini. Padahal, sudah ada dua nyawa yang melayang, dan hampir saja itu terjadi lagi kepada Maxim.

Aku sebenarnya marah karena ia tak bersimpati, tapi aku harus mendengarkan dulu apa alasannya. Ia tak mungkin berkata seperti itu, tanpa ada alasannya.

Aku menarik napas panjang, lalu melepaskan perlahan. "Memangnya, kenapa kami harus melakukan itu?" tanyaku dalam.

Ibu asrama menghela napas panjang. "Maaf kalau perkataan ibu membuat kalian tersinggung. Hanya aja, asrama ini baru terbentuk. Untuk mendapatkan akreditasi, tentu aja ibu membutuhkan banyak siswa dan nilai kalian berpengaruh terhadap nilai akreditasi sekolah. Dengan adanya kasus ini secara berulang, membuat nama sekolah kita jatuh di mata masyarakat. Ibu takutnya, tidak akan ada yang mau masuk ke sekolah ini karena kejadian pembunuhan."

Aku terdiam, mencerna kalimatnya dan memilah kalimat mana yang akan ku ucapkan. "Tapi, bukannya itu egois? Apa ibu gak mikirin keselamatan kami? Karena yang jadi pertaruhannya sekarang, adalah nyawa kami." tukasku, membuat ibu asrama terbelalak.

Ia terdiam, cukup lama sambil mematung di tempat dan memeluk tangannya sendiri. Buru-buru ia menatapku dengan tatapan sendu. "Ibu sebisa mungkin bakalan memperketat penjagaan di sekolah ini. Dan ibu pastiin, kalau gak akan jatuh korban lagi dari kalangan para siswa." ujarnya. Dan aku melihat ketidakyakinan atas ucapannya sendiri. Itu hanya sekedar kata-kata penenang agar kami tidak khawatir.

"Caranya, Bu?" singkatku.

Ibu asrama ini diam lagi. Seolah memikirkan apa yang hendak ia katakan. "Ibu, akan memikirkan itu nanti. Ibu mohon agar kalian berdua tutup mulut atas perkara ini. Urusan pengobatan, ibu akan menanggungnya sampai Maxim sembuh. Asal kalian jangan ngehubungin orang tua kalian atas kasus ini." ujarnya, dan dari perkataan tersebut, terlihat sekali kalau dia memang tak terlalu memikirkan kami.

"Papi gak mungkin gak saya kasih tau masalah ini. Saya hampir mati, Bu!" protes Maxim sambil terus meringis dan memegang perutnya.

"Max, papi kamu adalah salah satu donatur terbesar di asrama ini. Kalau sampai hal ini di ketahui tuan Alex, kemungkinan kamu dan uang donasi akan di tarik. Dan kamu tau apa yang akan terjadi?" Baik aku dan Maxim sama-sama diam. "Berbagai fasilitas akan di hentikan, dan ini berdampak pada seluruh murid yang ada di asrama. Tolong kalian pikirkan masa depan teman-teman kalian juga." ujarnya.

Aku menilik. Dari setiap kalimat yang ia ucapkan, ibu asrama hanya takut dengan kehancuran sekolah, bukan keselamatan murid. "Gak akan ada masa depan kalau kami mati, terus masa depan mana yang lagi ibu omongin?" tanyaku parau, membuatnya menahan napas di antara kerongkongan.

"Ibu minta maaf. Ibu hanya berusaha semampu ibu untuk melindungi nama baik sekolah yang sudah ibu bangun dari nol. Menutupi kasus ini dari wali murid dan pihak luar, bukan berarti membuat ibu lepas tangan. Kalian yang tinggal di dalam sini, semuanya adalah tanggung jawab ibu. Kalian semua adalah anak didik dan akan ibu anggap anak sendiri. Jadi, gak ada alasan bagi ibu untuk gak memikirkan kalian semua. Ibu sangat memikirkan kalian semua."

"Hanya ibu butuh waktu, untuk membersihkan kasus ini, membersihkan nama sekolah dan melindungi kalian seluruhnya. Semuanya ibu pikirkan sendiri sampai ibu sulit untuk terlelap. Mungkin semua kalimat ibu terlalu menjurus untuk melindungi sekolah, tapi di luar itu.. Ibu juga mencari cara untuk melindungi kalian, tanpa membuat pihak luar terlibat. Tolong, bantu ibu untuk memberikan keringanan. Setelah kasus Maxim, ibu akan berusaha agar tak akan terjadi penyerangan lagi " tuturnya dengan cepat dan dengan mata yang berkaca-kaca.

Aku melirik Maxim, karena bagiku ia yang pantas memberikan pendapat karena dirinya yang menjadi korban.

"It's okay. Kalau gitu, sekarang apa yang harus kami lakukan? Gimana kalau sampai temen-temen ada yang tau kalau saya terluka??" ucap Maxim, dan kedengarannya itu adalah sebuah persetujuan kalau ia akan tutup mulut atas kasus yang menimpanya sendiri.

"Pertama, ibu bakalan ngobatin luka kamu dulu. Setelah itu proses penyembuhan kamu. Lalu, kita cari pelakunya. Dan apa tujuan serta motif yang membuatnya melakukan hal ini." ujarnya, membuat kami mengangguk. "Apa mungkin pelakunya orang luar atau orang yang ada di dalam asrama ini?"

"Pelakunya pelajar disini. Mungkin seangkatan sama Maxim, tapi Max gak kenal. Max cuma hafal wajahnya." sahut Max.

"Kamu gak kenal? Terus gimana caranya buat nyari tau pelaku, kalau kamu pun gak tau namanya? Pencarian bisa di lakukan dengan cepat kalau ada nama si pelaku, kalau gak ada.. Gimana caranya dia ketemu?" ujar ibu asrama, tampak kebingungan.

Max melirik sembari berkata, "Kalau dia adalah pelajar disini, pasti pelaku masih ada di asrama ini. Untuk keluar dari sini, pasti dia bakal ngelewatin staff yang berjaga di lobby dan juga satpam gerbang. Pasti dia gak bakalan di kasih keluar malam-malam buta, jadi.. Dia pasti masih tertahan di asrama ini." ujarnya.

Itu memang benar dan aku pun memikirkan hal yang sama. Sebagai siswa baru, aku pun tau kalau kami tak saling mengenal. Maka dari itu, saat pelaku kabur usai menusuk Maxim, aku sempat mengejarnya, bukan untuk menangkap pelaku, tapi untuk melihat.. kemana ia lari. Dan ternyata, dengan polosnya pelaku malah lari ke dalam kamarnya sendiri.

"Kita cari dia, ibu bakalan periksa CCTV."

"Kamar nomor 402." ujarku, membuat ibu asrama dan Max melongo dengan wajah bingung menatapku.

"Apa lu bilang?" tanya Max sambil mengernyit.

"Kalau memeriksa rekaman CCTV sekarang, kayaknya butuh waktu. Bisa jadi itu peluangnya untuk kabur. Jadi, saya sempat melihat pelaku lari dan masuk ke dalam kamar 402." terangku, membuat Maxim menatap sengit ke arahku.

"Kapan lu ngeliatnya?" sergahnya.

"Itu gak penting, yang penting sekarang kita udah tau di mana posisinya." ucapku.

Ibu asrama mengangguk. "Oke, kita bakalan ke sana sekarang. Tunggu ibu panggil petugas keamanan untuk membantu, takut kalau nanti bakalan ada serangan atau perlawanan." ujar ibu asrama sambil merogoh ponsel di saku bajunya.

Tak berapa lama, seorang dokter dan beberapa perawat datang dengan membawa alat medis. Kami diminta untuk keluar saat mereka sedang bekerja, dan tentu kesempatan ini kami gunakan untuk menemui pelaku di kamarnya.

"Hah?! Percobaan pembunuhan, Bu?" tanya dua orang petugas keamanan asrama, saat menghampiri kami.

"Ya, sekarang dia ada di kamar nomor 402, kita temuin dia sekarang!!" tukas ibu asrama mantap.

"Bu, maaf menyela. Ada dua petugas bersama kita. Apa boleh salah satunya ke ruang CCTV dan memeriksa, takutnya dia kabur sebelum kita sampai ke kamarnya."

"Bener juga sih, dek. Tapi ada yang bertugas jaga CCTV kok. Nanti bakal Abang hubungin." ucap salah satu dari petugas keamanan.

Kami bergegas menuju ke kamar nomor 402, berjalan dari ujung koridor dimana kamarku dan Maxim berada, dan menyusuri koridor paling ujung pula.

Satu persatu kamar kami lewati, entah kenapa koridor ini terasa begitu panjang dan tak ada habisnya. Kami membaca nomor kamar berurut, dan setengah berlari saking paniknya.

Dan pada akhirnya, napas kami tertahan sekejap, ketika kami telah berdiri di depan pintu kamar bernomor 402.

Tok tok tok!!

"Hei!! Buka pintunya!!" pekik ibu asrama dari luar. Tak ada sahutan sama sekali dari dalam. "Buka atau kami dobrak pintunya!!" ancam ibu asrama lagi, dan sama sekali tak mendapat jawaban.

Akhirnya petugas keamanan ini membuka kunci kamar menggunakan kunci duplikat yang ia pegang. Pintu terbuka perlahan dengan suara berderit, menampakkan isi di dalam kamar.

Aku mengernyit, saat melihat ceceran darah yang berhamburan di lantai. Ketika aku melirikkan mataku ke atas, kedua mataku terbelalak kala melihat pelaku pembunuh Maxim, telah mati di dalam kamarnya sendiri.

Ibu asrama terkejut, menutup mata dan mengalihkan pandanganya dengan wajah mual. "Apa?! Dia sudah bunuh diri?!" tanya ibu asrama panik.

Aku masih menatap keadaan pelaku, dan sungguh... Aku yakin kalau dia tak bunuh diri, tapi..

Dia mati di bunuh!

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

makin ngeri

2024-06-01

0

Ali B.U

Ali B.U

next

2024-03-05

1

Nacita

Nacita

semakin seruuuu hwaaaaaa 😍

2024-02-28

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!