Ternyata Mayat itu adalah...

Suasana subuh yang harusnya damai dan tentram, berubah seketika menjadi teriakan lengking para perempuan yang ketakutan melihat jasad yang terkapar di lantai. Para lelaki yang melihat jasad ini wajahnya berubah pucat, dan masing-masing dari kami menutup hidung untuk meminimalisir baunya.

Aku tak beralih, karena ada sedikit keanehan pada korban. Di antara ceceran darah, aku melihat genangan air yang lumayan banyak. Anehnya, ia mati dalam kondisi seperti itu, dan tidak ada tanda-tanda kematian akibat terendam air atau di bunuh dengan air. Ya logikanya, bagaimana cara melakukan itu??

Dan kalau ia bunuh diri, kemungkinan tak akan di temukan dalam kondisi seperti itu. Setidaknya bunuh diri di lakukan dengan gantung diri, mengiris nadi, minum racun atau lompat dari gedung. Berarti, dia ini di bunuh.

Tengah fokus memperhatikan jasad, tiba-tiba saja ada seseorang yang datang dan berusaha menyentuhnya. Aku yang melihatnya reflek menunduk dan menangkap tangan seseorang itu sebelum melakukannya.

"Lu mau apa? Jangan menyentuh dan ninggalin sidik jari sebelum polisi datang!" ucapku, membuatnya yang sedang menunduk menatap perlahan ke arahku.

Ia tiba-tiba saja beranjak, hingga posisi tubuhnya terlihat lebih tinggi dari aku. "Lu ngajarin gue? Lu pikir gue juga dengan bod*hnya mau megang-megang mayat? Atau, lu sok tau biar jadi pusat perhatian?!!" serangnya padaku.

Aku terdiam, karena perkataan itu di luar konteks dari pernyataan awalku. "Jangan kekanakan di situasi genting." balasku dingin.

"Terus, lu ngerasa hebat dan dewasa karena udah terkenal dalam waktu satu hari bahkan sebelum kita masuk ke kelas?!" timpalnya sambil mengangkat dagu dengan angkuh.

Aku mendengkus geli. "Jadi itu masalah lu ke gue?" terka ku. Mudah saja menebak apa yang membuatnya sedikit sinis padaku.

"Masalah? Maksud lu gue punya masalah ke elu?" ia seolah tak menerima pernyataan ku.

Aku acuh saja, mengabaikannya dan kembali melihat jasad perempuan yang tergeletak ini. "Apa udah panggil polisi? Ibu Asramanya udah tau?" tanyaku pada beberapa orang yang ikut sibuk memperhatikan jasad.

"Katanya udah di panggil sama ibu asrama. Jadi kita harus tunggu di tempat. Karena kemungkinan ini adalah pembunuhan, pihak asrama gak ngebolehin kita keluar dari sini." terang seorang lelaki berkacamata.

"Masuk akal. Gue juga mikirnya ini pembunuhan dan kemungkinan salah satu pelakunya adalah penghuni asrama ini. Makanya kita di larang untuk keluar." lanjutku.

"Wah!! Keren banget! Udah ganteng, kayaknya pinter juga nganalisis masalah."

"Iya iiih, jadi pengen macarin."

Aku terdiam mendengar ocehan mereka. Tolonglah, ini masalah genting.. Kenapa jadi membahas hal tak penting.

"Jangan ngomong kayak gitu di situasi ini. Kalian malah bahas kegantengan orang, bukannya prihatin sama mayat." Timpal beberapa orang yang berada di dekatku.

"Cih! Di situasi genting, bisa-bisanya elu tebar pesona kayak gini?!" Lagi-lagi lelaki berwajah bule ini masih memancingku. "Asal lu tau, tanpa elu koar-koar nyuruh manggilin polisi atau apa, gue udah lebih dulu ngelakuinnya tanpa banyak bacot! Dan gue bukan tipe orang yang mau narik perhatian banyak orang kayak elu."

Aku menghela napas panjang tanpa menatapnya. Tak ada sedikitpun niat dariku untuk mencari perhatian, aku hanya prihatin akan mayatnya. Dan secara tak langsung, sebenarnya lelaki ini pun sama koar-koarnya dengan yang ia tuduhkan padaku.

"Karena gimanapun, asrama ini milik bokap gue. Tuan Alexander." ujarnya lantang, seolah ingin semua orang mendengar apa yang ia katakan.

"Wah!! Jadi, dia anak tuan Alexander yang terkenal ganteng dan cerdas itu? Maxim Alexander. Pemilik banyak perusahaan, salah satunya pemilik asrama mewah ini."

Ia langsung memiringkan senyum, menatapku dengan angkuh. "Lu denger sendiri kan? Betapa terkenalnya gue?" lagaknya.

"Denger sih, tapi gue gak tertarik." sahutku santai, dan tiba-tiba saja kerah baju bagian belakangku tertarik dengan kuat, membuat beberapa orang berteriak dan terkena dorongan tubuhku hingga jatuh.

"Max.. Max.. Sabar dikit dong napa, gue tau lu kesel sama nih anak. Tapi liat sikon juga lah!" ujar seseorang yang berada di dekatnya, membuat lelaki yang bernama Maxim ini melepaskan cengkeramannya dari bajuku.

"Untung ada Ciko, kalau enggak.. Bakalan gue tonjok muka elu yang kayak cewek itu!!" sentaknya sambil mendorongku.

Akibat dorongannya, tanpa sengaja aku melihat sesuatu yang terkepal di tangan sang mayat. Aku mengernyit, kala menyadari kalau benda yang di genggamnya adalah...

Sebuah kartu?

Dan kartu itu hampir mirip dengan kepunyaan ku. Apa artinya, setiap orang yang mendapatkan kartu.. Akan mati di bunuh? Atau apa??

Saking serius melihat keadaan jasad, tiba-tiba saja tubuh dari mayat ini menggelepar bak kepanasan, membuat jantungku berdenyut saat melihatnya.

"Aaaah!! Mayat hidup!!" pekik beberapa orang perempuan, membuat kami semua tersentak panik.

Mereka semua berlarian menjauh dari jasad, kembali ke kamar masing-masing, ada yang berlari sampai ke ujung koridor dan ada yang berebutan masuk lift dan menuruni tangga darurat.

Terus terang saja, suasananya menjadi kacau balau. Teriakan dimana-mana. Beberapa orang jatuh dan terinjak-injak saking paniknya. Aku hanya mematung di tempat, menyaksikan kegaduhan yang ada.

Ku rasa orang ini seharusnya sudah mati. Ia tak bernapas lagi, apalagi kondisi kepalanya yang pecah. Tapi, kenapa ia masih bisa bergerak? Sungguh, aku sampai merinding di buatnya.

Di antara orang-orang yang berlarian, hanya aku sendiri yang berada di dekat jasad ini. Aku menunduk dan jongkok di dekatnya. Apakah ada sesuatu yang membuatnya sulit untuk menghadapNya?

Aku mendekatkan kepalaku ke arah pecahan kepalanya. Baunya benar-benar busuk dan perutku hampir keluar saking mualnya. Aku berbisik seraya mengucapkan, "Lailahaillallah Muhammadarrasulullah." dengan perlahan, meski seharusnya ini dilakukan pada orang yang sakaratul maut, bukan mayat yang sudah mati.

Tak lama berselang, suara derap kaki mantap mendekat ke arahku. Aku menoleh, melihat sekumpulan polisi berdatangan bersama dengan ibu asrama. Ketika mereka mendekat, aku segera beranjak dan sedikit menjauh untuk memperlancar pekerjaan mereka.

"Nak, kembali ke kamarmu. Biar polisi yang bekerja ya." ucap ibu asrama sambil mendorong pelan punggung ku.

Aku menurut tanpa banyak tanya. Meninggalkan mereka yang langsung membatasi TKP dengan garis polisi.

Ketika aku melewati koridor, beberapa orang perempuan masih ketakutan. Mereka berada di garis koridor kamar Lelaki, yang seharusnya kamar mereka ada di sisi kiri, di batasi pintu lift yang berada di pertengahan, tepatnya di TKP.

Beberapa orang lelaki mengintip dari balik pintu, menyembunyikan tubuh mereka dan hanya menampakkan kepala mereka saja. Mereka menatapku, tapi seolah tak berani menanyakan apapun saking ketakutannya.

Aku berjalan cepat, menuju ke pintu kamarku. Ketika hendak memasukinya, ku lihat bocah berambut putih itu masih berdiri di depan kamarnya dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.

Aku mengernyit, menatapnya dengan heran. Kenapa anak ini terus berada di depan pintu?? Waktu itu alasannya karena ingin menikmati AC koridor, tapi.. Apakah dia masuk ke kamarnya setelah itu? Atau.. Ia masih berdiri di sini sampai subuh??

Itu tidak mungkin sih, seaneh-anehnya orang, tak akan mau duduk meringkuk di depan pintu kamar sendirian. Kalau pun dia benar melakukannya, harusnya.. Anak ini melihat kejadian pembunuhan itu kan? Meski jaraknya lumayan jauh, tapi.. masih terlihat karena posisi koridornya adalah lorong yang lurus.

"Lu ngapain disini?" tanyaku blak-blakan.

"Berdiri." sahutnya singkat.

"Gue juga tau. Maksudnya, ngapain lu berdiri di sini? Terus, saat orang-orang panik ngendenger teriakan, kenapa elu satu-satunya orang yang gak ikut ngehampirin?"

Ia menatap datar ke arahku. "Karena itu bukan urusan saya." sahutnya.

Bahasa Indonesia baku?? Wajah bule? Kulit pucat dan rambut putih?? Serta mata hijau? Sepertinya, dia ini orang asing yang kebetulan sekolah disini.

Aku mengernyit mendengar jawabannya. "Emang sih, tapi.. Seenggaknya seseorang akan ngerasa penasaran dan pengen tau apa yang ngebuat suara teriakan besar itu terjadi. Kecuali, kalau elu emang udah tau apa yang terjadi." ucapku, membuat alis putihnya sedikit bergerak.

"Kalau saya tau, apa kamu mau menuduh saya yang melakukannya?" tanyanya ambigu.

"Enggak, kecuali kalau gue punya bukti." sahutku.

"Kalau begitu, apa kamu mau mendengar apa yang saya ketahui?" aku mengernyit tanpa menjawabnya.

Maksudnya apa?? Dia memang tau sesuatu??

"Apa?" singkatku, tertarik.

"Kamu kenal orang yang mati itu?" Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Kalau begitu biar saya ubah pertanyaannya. Apakah kamu pernah, melihat gadis yang mati itu?" tanyanya lagi, dan aku mengernyit dalam, sambil menggeleng pelan.

"Saya pernah lihat seseorang yang datang setelah saya, memarahi nenek-nenek dan meludahinya. Setelah gadis itu, barulah kamu yang datang. Lalu, apa kamu bisa menyimpulkannya?"

Aku terbelalak kala mendengar. Jantungku terjeda sesaat dengan napas yang sedikit sesak. "Gak mungkin kan?" ujarku, membuat lelaki putih ini tersenyum.

"Tak mungkin apa?" tanyanya tertarik.

"Apa elu mau bilang, kalau mayat itu... Adalah gadis yang meludahi nenek itu?" terkaku, membuat anak ini tersenyum.

"Ding dong.. Kamu benar tuh. Memang yang mati itu, gadis yang kau lihat di gerbang asrama."

Bersambung....

Terpopuler

Comments

Ifa Sanusi

Ifa Sanusi

KUN emng gk berubah masih tengill dan ngeselinn

2024-06-04

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

Kun gayanya sama seperti dulu

2024-05-31

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

ternyata yang mati gadis yang ngeludahinn nenek2

2024-05-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!