Siapa Nenek Itu

Aku diam, memikirkan apa yang baru saja ku ucapkan. Kalau memang benar Kun tak bisa melihat kartu itu, berarti alasan pihak kepolisian tak mengungkapkan mengenai kartu di kedua korban, adalah karena mereka pun tak melihatnya.

Masuk akal sih. Berarti.. yang bisa melihat kartu tersebut hanyalah orang-orang tertentu. Dan apakah mungkin, yang bisa melihat kartu tersebut, adalah orang yang juga memilikinya? Pertanyaan ku hanya satu, kenapa nenek memberikan itu pada kami? Untuk apa? Apakah kartu itu di berikan untuk orang yang terpilih, dan apakah mungkin.. orang terpilih yang di maksud, adalah orang-orang yang akan mati?

Sudah ada dua korban, salah satunya adalah yang di bunuh dan yang membunuh, meskipun pada akhirnya mereka berdua mati. Makanya aku menyebut mereka sebagai korban. Dan keduanya memiliki kartu yang sama. Dan sungguh, aku sedikit was-was mengenai hal itu. Karena aku, menjadi salah satu di antara mereka.

"Gam!! Airnya sudah blub blub itu. Kapan kamu akan mencelup bungkusnya?"

Suara Kun membuatku terkesiap. Buru-buru aku mengerjapkan mata dan mengganti fokus, melihat panci berisi air yang sudah mendidih.

Ku masukkan mie instan Kun serta ku tambah dengan mie instan yang ku bawa dari rumah, serta telur, sosis dan juga sayuran. Kun melirik sambil bertekan dagu menggunakan meja.

"Kenapa kamu tambahkan mienya?" tanyanya sambil menengadah menatapku.

"Gak apa-apa." sahutku.

"Oh, apa dua bungkus mie instan itu kurang untukmu? Jadi kamu tambahkan lagi?" terkanya.

"Anggap aja begitu." sahutku.

Setelah mie instan matang, aku membuang airnya dan memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Kun mengumpulkan bungkusan mie, karena ia memang ingin sekali makan di dalam bungkus kemasannya.

"Udah mateng, yuk ke bawah." ujarku, membuat Kun terkesiap.

"Loh, kok ke bawah? Memangnya kamu mau makan di kantin?" tanyanya polos.

Aku melirik ke atas sesaat lalu kembali menatapnya. "Mm, gak makan di kantin juga sih, tapi di...."

.........

Setelah sampai di lantai dasar, aku dan Kun keluar dari dalam lift. Di samping lift ada tangga yang berada di antara lobby. Aku keluar sambil membawa panci tersebut, dengan Kun yang berada di belakang.

Kakak kelas perempuan yang bertugas di pelayanan menoleh ke arahku, ia segera berdiri dan mencondongkan tubuhnya beberapa kali.

Aku tersenyum sambil menganggukkan kepala sekali untuk menyapanya. Tiba-tiba saja ia langsung menjerit histeris dan melompat-lompat seperti kesurupan, membuatku terkejut dan merasa heran.

"Aaaaaah!! Dia senyumin gue!! Dia senyumin gue!! Adek kelas yang gantengnya kayak pangeran itu senyumin gue!" jeritnya sambil melompat ke arah temannya yang berada di dalam ruangan, membuat Kun menoleh dan mengernyit dengan wajah yang ia jelekkan. Kun menoleh ke arahku lalu menatap kakak kelas kami.

"Waduh, kamu apakan dia? Kenapa jadi getar-getar begitu seperti pengering mesin cuci?" tanya Kun sambil menggenggam baju bagian belakangku. Aku hanya tertawa mendengar perkataan Kun. "Sebenarnya kita mau kemana? Makannya kok jauh sekali?" tanyanya lagi.

"Nanti juga lu bakalan tau." sahutku.

Aku berjalan gontai menuju ke camp bapak-bapak yang sedang berisitirahat makan siang. Dari kejauhan, aku bisa melihat mereka memakan sebungkus nasi, sebotol air dan juga sebungkus garam yang mereka makan bergiliran.

Lengan dan kaki mereka kotor terkena tanah, baju mereka lembab karena keringat, mereka mengenakan pakaian seadanya, tipis dan kumuh, kulit mereka gelap, wajah mereka terlihat lelah dan tak ada senyuman yang terukir di wajahnya.

Mereka duduk di tanah, tanpa adanya alas. Menikmati makanan yang ku rasa tak nikmat, yang penting kenyang, yang penting bisa makan, dan yang penting bisa kembali bertenaga dan bekerja setelahnya.

Hatiku terasa perih melihatnya. Kalau seandainya mereka adalah ayahku, tentu aku akan sangat sedih melihatnya.

Ku dekati mereka sambil membawa panci yang panas menggunakan sarung tangan. Melihat kedatangan ku, gelagat mereka menjadi salah tingkah.

Aku tersenyum sembari menyapa, "Assalamualaikum.." ucapku sambil berjongkok di antara mereka. Ku letakkan panci ke atas tanah, lalu menyodorkan tangan ke arah mereka yang masih mematung dan bingung.

Buru-buru mereka mengelap tangan ke baju, lalu menjabati tanganku. "Waalaikumussalam, ini adek-adek kenapa kesini? Belum mulai sekolah?" tanya mereka dengan raut bingung, sambil memperhatikan aku dan juga Kun.

"Belum sekolah, pak. Hari Senin nanti insyaallah kami mulai belajar." sahutku. "Tadi, saya dan temen saya masak banyak, kalau gak keberatan, bapak-bapak mau makan bareng kami?" tawarku, membuat mereka terkejut dan saling berpandangan. "Cuma mie sih, pak. Bukan apa-apa." lanjutku lagi.

"Hah? Boleh, boleh banget. Alhamdulillah ya Allah.. Tadi bapak cuma makan garem sama temen-temen. Alhamdulillah kalian dateng, duduk.. Silakan duduk." ucap mereka sambil membuka baju dan menggelarnya di atas tanah.

Aku langsung duduk di tanah seperti mereka, membuat mereka tersentak dan segera menahanku. "Jangan dek, jangan duduk di bawah. Kotor ini, ayo duduk di baju bapak." pintanya dengan wajah panik.

"Oh, duduk di sini toh?" ucap Kun polos sambil hendak duduk, membuatku menendang bok*ngnya sebelum menduduki baju si bapak. Kun jatuh terjungkal, dan aku langsung mengambil baju bapak kembali. "Hei!! Kamu tak lihat saya terjungkal?!" protes Kun sambil memekik.

Aku hanya mengabaikan sambil mengembalikan baju bapak. "Gak usah, pak. Terimakasih. Saya duduk di bawah juga gak apa-apa kok. Ayo pak, makan sama-sama. Masakan saya kurang enak sih, gak apa-apa ya." ucapku sambil mengambil bungkus mie dan memasukkan mie ke dalam sana.

Kun mengomel sambil memicingkan matanya menatapku. "Aduuuh, pant*tku!!" keluhnya sambil mengambil mie bagiannya.

Bapak-bapak ini tersenyum, menelan ludah ketika menyendok mie dan mencampurkan ke nasinya. Ketika suapan mie pertama masuk ke mulutnya, tiba-tiba salah seorang dari mereka diam dan menatapku. Bapak ini tak mengatakan apapun, hanya saja ia menatapku dengan sorot penuh arti, membuat matanya berkaca-kaca meski ia masih tersenyum.

Aku mengerjap ketika melihat bulir air mata terjatuh di pipinya, namun dengan sigap ia menyeka dengan lengannya yang kotor, membuat noda tanah menempel di pipinya.

"Bapak.. Jadi kangen anak bapak." ucapnya sambil menunduk, menatap mie instan yang berada di dalam kemasan. "Dulu dia anak yang baik, penurut, tapi semenjak masuk ke SMA, dia banyak menuntut. Dia minta hp, atas segala usaha bapak di luar makanan pokok dan biaya sekolah, bapak cuma bisa kasih yang murah, tapi sama dia malah di buang di depan bapak. Katanya itu hp jadul, malu-maluin kalau di bawa ke sekolah." kata bapak ini sambil menahan air matanya yang hendak jatuh.

"Dia maksa bapak buat beli hp mahal, sementara kerjaan bapak cuma begini. Jadi bapak paksain, di tempat kerja cuma makan nasi dan garam. Uang makannya bapak simpan. Pas liat kamu bawa mie, bapak rasanya pengen nangis. Amalan bapak yang mana, yang bikin malaikat membawa kamu kesini? Apa jangan-jangan, kamu ini malaikat yang menyerupai anak SMA. Kamu benar-benar indah, nak. Bapak.. Terharu, baru kali ini makan nasi pakai lauk. Mie instan, pakai telur, sosis, dan sayur. Udah sebulan bapak cuma makan nasi dan garem, minta lauk sama temen, bapak malu. Terimakasih, nak. Terimakasih.." ucapnya sambil menangis haru, membuat teman-temannya terdiam, sementara aku hanya bisa tersenyum.

"Mungkin, amalan yang bapak lakuin itu... Adalah berjuang mencari nafkah untuk keluarga. Itu nilai pahalanya besar di sisi Allah. Saya jadi malu, karena cuma bisa bawain ini buat bapak."

Bapak ini kembali menyeka air matanya. "Kalau punya anak kayak kamu, mungkin bapak akan jadi manusia yang paling bersyukur. Ganteng, gagah dan baik hati."

Aku menunduk mendengar ucapannya, karena bagiku.. Aku tidak terlalu pantas untuk mendapat pujian seperti itu.

"Aduh! Cabenya nyangkut di gigi." gerutu Kun, mengacaukan kesedihan ku. Kami makan bersama, dan Kun berusaha membuat bapak-bapak ini tertawa. Anak ini baik juga, meski terlihat konyol tapi sepertinya tulus.

Aku diam sesaat, sambil melihat ke arah gerbang. "Pak, nenek-nenek yang menyapu di sana, hari ini gak ada?" tanyaku basa-basi, membuat mereka tiba-tiba saja terenyak.

Ekspresi mereka langsung berubah, dan saling tatap satu sama lain. "Nenek yang mana?" tanya salah satu dari mereka.

"Nenek yang biasa menyapu, badannya bungkuk." ujarku lagi, karena sebenarnya aku penasaran dengan kehadirannya waktu itu, dan kemana perginya setelah memberikan aku kartu.

"Sssst!!" bapak-bapak ini langsung mendesis. "Kamu jangan sembarang bicara, pamali! Segera makan dan kembali ke asrama. Dan jangan pernah katakan ini pada siapapun. Kalau terlanjur, ludah sekarang ke sisi manapun." ucap mereka, membuatku mengernyit bingung.

"Emangnya kenapa, pak?" tanyaku.

"Nanti, kamu dapat celaka, kalau bicara atau sampai bertemu dengan makhluk itu."

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

emang tuh nenek siapa

2024-06-01

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

dasar kun

2024-06-01

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

😭😭😭😭sedih

2024-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!