Bab 8

Nisa tertawa sambil berkata:

"Aku tidak sedang berusaha mengubah diri, Mi. Tapi, aku baru sadar kalau mencintai diri sendiri itu ternyata pengaruhnya besar. Mulai sekarang, aku akan berusaha mencintai diriku, melakukan rutinitas yang memberikan aku kebahagiaan.

Mami hanya mengangguk mengiyakan ucapan Nisa, lalu menaruh beberapa lembar uang di tangannya.

"Mumpung sudah rapi, sekalian beli sarapan di depan."

Suruh mami.

"Aku di antar saja sama Reza, ya, Mi! Biar cepat!

Tanpa menatap ke arah Risal, Nisa menarik tanganku. Segera ku sambar kunci mobil di atas meja.

Sesampai kami di warung tetangga.

"Nisa, ini, kamu? Tumbenan penampilannya gaul begini."

"Tidak juga, kok. Aku mau pergi menemui sahabat lamaku."

Tante penjual hanya mengangguk sambil menyiapkan pesanan kami.

Tak tunggu waktu lama, kami balik ke rumah.

Risal duduk di meja makan sambil menggendong Bobi. Tampaknya kakakku ini belum benar-benar terbiasa melihat Nisa berduaan sama aku.

Mami dibantu Nisa menyediakan makanan ke dalam piring, setelah itu kami semua makan dengan lahap, tanpa bicara. Hanya bunyi sendok yg beradu dengan piring.

Mi, Nisa katanya mau menemui teman lamanya. Teman SMA kamu, ya?"

Aku balik bertanya sama Nisa.

"Iya, benar, Mi. Aku titip Bobi, ya. Sebelum sore aku pasti sudah pulang."

 Janjinya sama mami.

Kuperhatikan Risal, dia terus saja menunduk sambil serius memasukkan makanan ke mulutnya.

"Kak!"

Panggilku agak keras, karena sedari tadi ia terus menunduk.

Astaga, Risal tidak mengangkat wajahnya, tapi air matanya menetes jatuh ke dalam makanan yang ia santap.

Aku memberi kode ke mami dan Nisa untuk segera ke dapur.

Setelah sendiri, aku mendekati kakak dan memberikan dia tissue.

"Lap air mata kamu, kak! Bukankan semua ini adalah keinginan kakak? Kenapa harus menyesal." Aku menginterogasi dia.

"Kamu benar, Dek. Aku akui, penyesalan itu memang datangnya selalu belakangan. Tadinya aku pikir tak akan sakit hati memberikan Nisa ke kamu, tapi, ternyata aku salah. Sepertinya cintaku sudah terbagi antara Hana dan Nisa. Selama dua tahun lebih aku tidak pernah merasakan cinta itu sama Nisa, tapi, hari ini aku merasakan hal berbeda setelah melihat Nisa pergi sama kamu."

Dekapanku semakin aku eratkan sambil menepuk dadanya, mencoba memberikan kakak kekuatan.

"Kak, Nisa juga sudah bilang bahwa dia tak akan pernah bisa menyatu lagi sama kakak setelah ini. Dia tak rela menanggung sakit hati seumur hidup sama kakak."

"Iya, dek. Kamu benar, dan kakak tahu itu. Makanya kakak merasa sedih sekali. Tapi, apa daya. Nasi sudah menjadi bubur.

Hari ini kakak belum mau ke kampus, pikiran kakak belum stabil. Kakak juga secepatnya akan mengurus perpisahan kami."

Aku menatap kakak dengan iba, ada rasa sedih yang mendalam melihat saudaraku satu-satunya mengalami hal ini.

Tapi, biar, lah. Mungkin aku cinta sejatinya Nisa. Aku merasa pantas saja selama ini hatiku benar-benar menyayangi wanita itu.

Risal masuk ke kamar untuk istirahat sama Bobi. Sedang mami sudah pergi ke rumah tetangga, apalagi kalau bukan untuk mengoleksi tanaman bunganya.

******

Mobil terus melaju, membawaku dan Nisa ke rumah teman lamanya.

"Nisa, akhirnya kamu datang juga. Cantik sekali, malah lebih cantik saat masih SMA dulu. Pasti si Coki bakal menggilai kamu lebih dari yang dulu, andai ketemu."

Tak peduli aku yang sedang menatap mereka dari dalam mobil, temannya yang bernama Mina ini malah ceplas-ceplos tak jelas.

"Min, nanti anak orang cemburu. Jangan bicara begitu."

Ucap Nisa sambil melirik ke arahku. Mentang-mentang kaca mobil tidak aku turunkan, mereka pikir aku tidak mengawasi mereka.

"Mereka masuk ke dalam rumah, tanpa mengajak aku. Sadis sekali tingkah si Nisa, nih. Aku merasa dia bukan Nisa yang dulu.

Aku ada ide. Sepertinya mereka sendirian, dan aku harus menguping pembicaraan mereka.

Begitu keluar dari mobil, aku mengendap lewat samping rumah, benar saja. Mereka ngobrol di ruang tamu yang tepat berada di bagian depan.

Segera ku keluarkan jurus memasang kuping di bawah jendela.

"Nisa, tahu, tak. Ciko sekarang menjadi direktur sebuah hotel mewah, dan hotel itu milik papanya. Itu kenapa aku memanggil kamu karena ingin kita sama-sama pergi melamar kerja di sana."

*Wah, kamu serius? Aku baru tahu kalau papanya itu pemilik hotel."

"Iya, aku serius, Nisa. Makanya jadi cewek jangan cupu. Kamu, sih. Tak gaul. Terlalu banyak diam saat dulu, sampai nama-nama teman pun kamu tak hapal.Tapi, sekarang kamu berubah sekali. Kecantikan kamu berkali kali lipat."

Kupingku agaknya mulai panas mendengar obrolan mereka yang menurutku tidak asik sama sekali.

"Eh, aduh...!"

Lidahku keceplosan keluarkan suara saat tak sengaja kepalaku menyenggol jendelanya yang dalam keadaan terbuka.

"Reza!? Kenapa tidak tunggu di mobil saja."

Ucapan Nisa membuatku sedikit malu, karena temannya tak bisa menahan tawa atas kekonyolan aku.

Dengan langkah seribu, aku berlari ke mobil.

"Awas saja, Nisa. Sebentar aku bakalan diamkan kamu. Lihat saja, nanti!

Batinku sambil menutup pintu mobil.Sial benar.

Maksud hati mau menguping, eh, bukan hanya mendengar omongan membosankan, tapi, kepala juga ikut kena.

"Reza, maaf, ya. Tadi aku dan Mina membahas soal kerjaan. Sepertinya aku besok melamar kerja. Nanti Mina jemput aku ke rumah, karena alamat rumah sudah aku kasih ke dia."

Nisa masuk dan duduk di sampingku.

Tak mau menanggapi, aku hanya diam sambil menghidupkan mobil. Sepanjang perjalanan, aku sama sekali tak bicara. Sengaja ku setel suara musik dangdut agak kencang, agar tak salah tingkah di dekat Nisa. Jujur, aku cemburu saat mereka bahas soal Coki, apalagi mau melamar kerja di hotelnya.

Selama aku diam, Nisa mengamati ku dengan seksama. Aku menatap lurus ke depan, tapi memantau dia lewat spion mobil.

"Boleh menepi dulu, boleh?"

Si cantik ini akhirnya mencolek lenganku.

"Ya, ada apa calon pacar si Coki?"

Ucapku ketus pura-pura tidak mendengar ucapannya.

"Astaga, Reza. Hentikan dulu mobilnya. Aku mau beli buah tangan untuk mami dan Bobi."

Mobil aku berhentikan. Masih dalam posisi diam, aku menunggu di dalam mobil sambil masih terus memutar lagu dangdut. Nisa tampak sedikit kesal dengan sikapku. Dia masuk ke sebuah ruko, tak lama kemudian keluar lagi sambil menenteng belanjaan yang lumayan banyak.

"Ada apa, sih, Dek? Dari tadi kayaknya tidak senang sama aku. Apa lagi tadi kamu sebut nama Coki, ya? Tadi kamu menguping obrolan kami?"

Ucap Nisa sambil bergeser duduk ke dekat aku dan menutup pintu mobil dengan keras

"Oh, jadi sekarang kamu masih panggil aku dengan sebutan adek, gara-gara si Coki calon pacarmu itu? suamimu saja belum sah cerai tapi sudah mengijinkan aku mendekati kamu."

"Reza, kamu cemburu? Coki itu memang teman lama kami di SMA, tapi, tidak pernah aku dekat dengan dia, apalagi tahu kalau dia suka sama aku. Lagian, besok aku dan Mina memang mau melamar kerja di hotelnya, tapi bukan berarti aku akan suka sama dia."

Si manis di sebelahku mulai menenangkan hati ku dengan ucapan manisnya.

"Ya sudah, maaf. Tapi, besok jaga sikap, ya. Jangan genit-genit, apalagi membalas senyumannya. Aku besok di toko sampai malam, karena mau menambah stok buku yg yang sudah berkurang."

Nisa hanya mengangguk lalu menarik tanganku dan menempelkan ke dagunya.

Belum sampai sore sekali, kami sudah tiba di rumah. Di sana ada Hana yang membantu mama menanam bunga.

Nisa yang melihat itu hanya diam, dan memandang lurus ke depan. Dia tak mau menoleh, bahkan, menyapa mami pun tak mau. Aku sampai bingung dibuatnya. Ke mana Nisa yang kemarin? Hanya dalam semalam dia berubah total, bahkan, ponselnya tak pernah dia lepaskan dari tangan. Risal yang melihat itu hanya diam sambil memantau Bobi yang sibuk mengejar bola.

Tawa lepas mami dan Hana terdengar sampai ke dalam rumah, membuat Nisa yang baru saja keluar dari kamar bergumam

'Ih."

Aku tahu pasti dia agak kesal.

Nisa sepertinya sudah mandi lagi, sehingga sudah begitu segar dan wangi. Mungkin dia gerah karena seharian di luar.

Calon istriku ini pergi ke luar, kulihat dari dalam, dia berjalan ke arah mami. Jiwa kepo ku muncul lagi, sehingga memutuskan untuk melihat dari dekat drama apa lagi yang bakal dimainkan wanita yang masih berstatus iparku ini.

"Mi, bunga apa lagi, ini yang mami koleksi?" Ucap Nisa sambil tersenyum ke arah Hana yang tampak memandangnya dengan was was.

Wah wah wah.

Ini pemandangan yang luar biasa. Aku dan Risal dibuat semakin bingung dengan sikap Nisa yang tidak biasa.

Hana kemudian mendekati Nisa, lalu mengajak salaman. Tanpa di duga, Nisa memegang tangan Hana dengan penuh percaya diri sambil menyebut nama

"Nisa"

"Hana" si sok ke-bule-an ikut menyebutkan nama.

Setelah itu Nisa mengambil alih bibit bibit bunga yang dipegang mama dan menanamnya pada pot kosong yang sudah terisi penuh dengan tanah.

*******

Besoknya.

Pukul delapan pagi, aku sudah rapi dan siap berangkat ke kantor. Mobil ku lajukan dengan kecepatan tinggi.

Di tempat lain.

Dua orang wanita muda masuk ke sebuah hotel mewah dengan memegang tas berisi persyaratan lamaran pekerjaan, sementara di dalam ruangan direktur, seorang pria tinggi berkulit putih, dengan dada bidan yang luarnya dilapisi dengan kemeja dan dasi, sedang sibuk membuka laptop.

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu direktur diketuk dari luar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!