Bab 7

"Keluar, aku bilang!"

Kali ini Risal sendirian, tanpa Hana.

Begitu pintu mobil terbuka, Risal menghajarku hingga mulutku berdarah.

Melihat itu, Nisa berusaha menghentikan suaminya, tapi apa daya, dia malah jadi sasaran berikutnya. Kepalanya terbentur batu saat di dorong dengan sangat kuat oleh Risal, sehingga ia pingsan.

"apa yang telah kakak lakukan? Melukai psikis dan fisik istri kakak? Egois, jahat!"

Aku mengangkat tubuh Nisa dan memasukkannya ke dalam mobil. Emosi Risal langsung hilang, saat melihat istrinya tidak baik-baik saja.

Kami pun melarikan dia ke rumah sakit terdekat.

Aku lebih memilih untuk menunggu di luar, sementara kakak mendampingi istrinya.

Setengah jam kemudian, mereka keluar dari ruang dokter sambil memegang resep obat.

"Kamu sana,ambilkan obatnya!"

Ucap Risal seraya menyodorkan kertas ke aku.

Setelah obatnya aku dapatkan, dengan sedikit berlari, aku balik ke mobil. Di sana sudah ada Risal yang duduk di kursi tengah sambil memangku Nisa.

Melihat pemandangan itu, darahku mendidih. Bukannya tak tahu diri, tapi cemburuku kumat lagi, apalagi setelah dia menyakiti hati wanita yang sangat aku cintai.

"Kapan kakak pulang?"

Aku mencoba berbasa-basi.

"Kamu tak perlu tahu, tapi, yang jelas, aku sampai saat melihat kamu membawa istriku keluar jalan-jalan."

"Kak, jangan mencoba menyalahkan aku dalam keadaan ini, ya. Aku hanya ingin membantu Nisa melepaskan emosinya, makanya kuajak keluar. Lagian pasti kakak ke sini di antar sama wanita sok kebulean Itu, kan?"

"Sudah, cukup! Aku pulang sendirian untuk mau menyelesaikan masalahku dengan Nisa.

Lagian besok aku harus ke kampus.

Kamu lebih baik percepat laju kendaraannya agar cepat sampai. Aku muak sama kamu, sok caper sama istriku."

"Kak, Nisa tidak mungkin mau balikan sama kakak setelah apa yang terjadi."

"Hentikan, diam, semua!"

Nisa akhirnya berteriak, tak tahan lagi dengan pertengkaran aku dan kakak.

"Yang jelas, tidak akan semudah itu aku menceraikan kamu, Nisa. Camkan baik-baik!"

Risal menatap tajam ke arahku, lalu bergantian menatap Nisa.

Jam sepuluh malam, kami sampai di depan rumah. Suasana mulai sepi, sepertinya Bobi sudah tidur. Hanya mami yang masih serius dengan ponsel di tangannya.

"Belum tidur, mi?"

Aku menarik kursi dan duduk di samping mami.

Wanita cinta pertamaku ini tidak menyahut. Kutengok sejenak, ternyata ada air mata yang menetes dari pipi tuanya yang mulai kendor.

"Mi, semua akan baik-baik saja. Jangan banyak berpikir! Mami sudah tak muda lagi, biar masalah ini menjadi urusan aku, kak Risal dan istrinya. Kami pasti menyelesaikan semua. Kami Sudah besar, mi. Tidak ada yang perlu mami khawatirkan.

Mami memelukku sambil sesenggukan.

"Bukan itu yang aku khawatirkan, nak. Mami hanya menyesal, kenapa bukan kamu saja yang dulu menikahi Nisa. Mami lihat kamu lebih perhatian sama dia dan anaknya. Sebenarnya Mami sudah tahu hubungan Hana dan Risal, dan Hana itu cinta pertamanya kakakmu. Makanya mami kaget saat kakakmu dulu memperkenalkan Nisa dan meminta restu mami. Cuman, mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi, api, mami tahu persis hati Risal benar-benar tidak untuk Nisa. Ia hanyalah pelarian kakakmu.

Omongan kami berhenti saat Risal dan Nisa keluar dari kamar. Rupanya Mereka sudah bicara dari hati ke hati, sehingga mereka tampak lebih tenang.

"Ada hal besar yang perlu kita bicarakan, Mi. Hanya saja sudah larut malam, lebih baik tidur saja. Besok setelah sarapan baru kita bahas." Ucap Risal sambil menyusul Nisa ke dapur.

Aku dan mami hanya saling pandang, lalu mengangguk. Aku pamitan tidur dan mami juga langsung pergi dan menutup pintu kamarnya.

Sepanjang malam, hatiku gelisah. Banyak hal yang melintas di otakku, dan itu membuat waktu tidurku sangat berkurang. Aku begadang sampai jam tiga dini hari, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya antara aku, Nisa dan Risal. Sepertinya kakak sudah menangkap basah kemesraan aku dan Nisa saat makan bakso di depan toko, belum lagi saat kedapatan bermesraan di dalam mobil. Soal mami, aku rasa pasti aku yang di bela, apalagi tadi mami sempat kasih lampu hijau soal hubungan aku dan Nisa.

************

Pukul tujuh pagi, aku didatangi Risal.

Pintu kamar yang terus saja dia ketuk membuat mood aku sedikit berantakan, apalagi semalam begadang.

"Reza, kita perlu bicara."

Terpaksa pintu aku buka dengan memasang wajah ketus.

"Kamu suka sama Nisa?"

Itu kalimat tanya pertama yang Kakak lontarkan begitu duduk di tepi ranjangku.

"Tidak, kak. Aku melakukan semua itu atas dasar kasihan. Dia tetap kakak iparku. Aku siapin dia bakso juga karena badannya lemas, gara-gara memikirkan kakak dan wanita itu.

Begitu lemahnya, aku. Belum berani berkata jujur. Aku takut keadaan makin kacau, sehingga, aku tidak bisa berpikir sehat untuk saat ini.

"Kalau kamu suka Nisa, kakak tak masalah. Kakak hanya ingin dengar secara langsung hal itu dari mulut kamu. Masalahnya kakak ini tidak pernah benar-benar tulus cinta sama Nisa. Itu sebabnya kakak lebih memilih Hana, walaupun, di depan mata Nisa. Kakak malahan senang, karena dengan menggantikan posisi kakak, itu bisa sedikit mengobati hati Bobi, karena, ia sangat dekat dengan kamu sebagai omnya."

Jujur, aku sangat kaget mendengar kejujuran Risal. Bukankah hal ini yang selalu aku impikan?

"Aku menatap Risal dengan hati berbunga, lalu menggandeng tangannya dan kami keluar menuju meja makan. Sepertinya Nisa sudah menyiapkan sarapan. Di meja sudah tersedia empat gelas berisi susu, ditemani roti isi coklat.

Mami menyuapi Bobi dengan potongan roti yang dicelupkan dahulu ke dalam susu.

"Nisa, makan yang banyak."

Ucapku dengan hati deg deg ser, berusaha memberanikan diri setelah mendapatkan lampu hijau dari mami dan kakak.

Nisa melihat ke arahku, lalu tersenyum. Aku melirik ke arah Risal, ternyata dari raut mukanya ada rasa cemburu. Mungkin dia berkata tak benar-benar cinta, tapi beberapa tahun yang dilewati bersama tak bisa segampang itu menghapus rasa saling memiliki. Lagian, mereka adalah dan masih suami istri sah. Aku bukan siapa-siapa.

Sehabis sarapan, Aku memberikan mobil-mobil yang semalam sengaja kubeli di mall untuk Bobi. Anak itu sangat senang menerima mainannya.

"Main dulu di sini, nak. Papi kamu sama om mau bicara serius, jangan di ganggu, ya!"

Dia hanya mengangguk tanpa menoleh karena sudah sibuk mengeksekusi mainannya.

"Sal, kalau kamu tidak mencintai Nisa, tolong lepaskan dia. Ia punya hak untuk dicintai. Biarkan adikmu menikahinya. Soal Hana, mami serahkan sama kamu. Apapun keputusan yang kamu ambil, mami pasti terima."

Setelah bicara dari hati ke hati, ternyata Nisa yang aku pikir tidak akan mampu melepaskan Risal, malah sebaliknya. Sepertinya mereka sudah bicara tadi malam, dan, mungkin ini akhir dan jawaban yang indah dari doaku selama ini.

Setelah ini, Risal dan Nisa pisah kamar. Sesuatu yang sangat langka, di mana seseorang biasanya memutuskan hal sesulit ini, butuh waktu lama, tapi, Nisa benar-benar mencintai dirinya. Ia tak mau membuang waktunya untuk bersama lelaki yang hanya menganggapnya istri di atas kertas.

Sedangkan Risal, tak ada sedikitpun raut penyesalan di wajahnya. Sedalam itukah kekuatan cintanya sama Hana, hingga, wanita yang sudah beberapa tahun tinggal satu kamar dengannya tak ia sesali sama sekali perpisahan mereka.

Jam makan siang hampir tiba, perut sudah mulai lapar, apalagi tadi pagi cuma makan roti dan susu. Mami memanggil Nisa untuk membeli makan siang di warung milik tetangga. Beberapa kali dipanggil, tak ada jawaban dari kamar Nisa.

Hingga beberapa menit kemudian, pintu terbuka dan kami semua terpana.

Muncul dari balik pintu kamar, seorang wanita cantik yang memakai rok pendek ketat di atas lutut, dipadukan dengan high heels berwarna senada dengan atasannya. Rambut wanita ini dibiarkan tergerai, dengan ujung rambut berwarna merah maron. Di bagian wajah, make up-nya tidak menor, juga tak terlalu tipis, namun, benar-benar membuat si pemakai tampak elegan.

Sepertinya aku kenal. Bukankah ini pakaian yang semalam dibelikan Nisa di mall?

"Nisa?"

Tanyaku dengan ragu, karena ini berbeda 180o dengan Nisa kami.

"Kenapa, ada masalah?"

Nisa balik bertanya sambil menatap tajam ke arah Risal.

"Nisa, ini kamu, nak?"

Mami menghampiri Nisa dan memeluknya.

"Sayang, apapun keadaan dan penampilan kamu, mami tetap sayang sama kamu. Tak perlu kamu mengubah penampilan untuk mendapatkan cinta. Sejatinya mereka yang menyayangimu tak akan peduli dengan adanya kebiasaan dirimu."

Bukannya sedih mendengar ucapan mami, Nisa malah tertawa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!