"Mama masih nggak bisa percaya ini."
Dia masih duduk dengan kepala yang menyandar, memandang ke atas langit-langit ruang tamu. Air matanya masih sesekali menetes. Mengingat tentang putrinya yang baru saja di lamar, dan dia yang menerima dengan memaksa.
Bahkan sampai saat ini, Cici masih belum beranjak dari ruang sholat. Tak ingin keluar dari sana, walau ia tahu kalau semua tamu sudah pamit. Terlebih saat Caca maupun mamanya juga tak memanggil ataupun menemui dirinya.
"Jawaban yang mama berikan salah nggak sih, Ca?"
Caca yang juga masih duduk di atas tikar itu menggelengkan kepalanya serta menjawab, "enggak, Ma. Aku yakin banget kalau jawaban Mama pasti benar. Aku tahu kakak sakit hati atas perlakuan papa waktu dulu. Tapi, Kakak juga harus tahu, kalau tidak semua laki-laki sama, Ma. Dan Mama harus bantu Kakak agar yakin bahwa itu semua adalah kenyataannya. Agar tumbuh dari hati kakak apa itu jatuh ke dalam cinta pada seorang laki-laki."
Rea menegakkan duduknya dan menatap gadis kecilnya itu. "Iya, mama harus yakin. Kamu benar, dan apa yang kamu bilang itu kayak dokter--"
"Hehe, itu saran dari dokter Laras, Ma." Caca menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan senyum kikuk. Ya, dia memang langsung menghubungi sang dokter saat mamanya mengatakan segala tentang kakaknya.
Rea tersenyum, lalu wanita itu berdiri dari duduknya. "Ya sudah, kamu temenin Kak Cici, bilang kalau mama udah kasih jawaban. Mama mau beresin ini semua."
Caca pun lantas berdiri, "Mama aja yang kasih tahu. Biar ini semua aku yang beresin."
Rea mengangguk setuju dan berlalu dari ruang tamu yang sudah tak beraturan, banyak gelas dan piring kosong. Pun dengan segala sampah yang tertumpuk di dalam kardus kosong bekas air mineral.
Ya ampun, rasanya Caca tak percaya. Kakaknya kini sudah di lamar dan sebentar lagi akan menikah. Ia merasa senang, ia juga berharap kalau setelah menikah kakaknya akan sadar, bahwa tidak semua yang ia pikirkan itu nyata.
...----------------...
Rea mendekat dan lantas duduk di sebelah sang putri sulung, ia menepuk paha Cici yang memang tengah duduk dengan posisi kaki di tekuk sila. "Ci," begitu panggilnya.
"Mama udah kasih jawaban," sambung Rea.
Cici menoleh ke arah sang mama. Ia tersenyum, "enggak papa, Ma."
"Kamu harus--"
"Iya, Ma. Aku bantu Caca beresin ruangan dulu ya."
Rea menatap wajah sang putri sulung yang terlihat sendu. Bukan karena ia tak setuju akan pemuda yang melamar, tapi terlihat sekali di wajah anaknya kalau sebenarnya ia tak ingin. Tapi ... Sampai kapan?
"Ya sudah, kita bicara lagi besok. Kalau kamu memang nggak mau kita ngomong malam ini."
"Maaf, Ma," Cici menatap wajah sang mama. "Besok, aku pasti denger semua, apa yang mama katakan. Tapi untuk malam ini," gadis itu menggelengkan kepalanya.
Rea mengangguk setuju. Sudahlah, besok lagi ia bicarakan pasal lamaran dan pernikahan yang akan segera di laksanakan itu. Sekarang, ia lebih baik membantu anak bungsunya untuk membereskan ruang tamu dan ruang tengah yang sudah seperti kapal pecah.
Ketiga perempuan itu saling diam, sesekali hanya senyum yang terukir saat netra mereka tak sengaja berpapasan. Bukan karena sedang saling bermusuhan, hanya saja tengah membiarkan Cici dengan pikiran-pikiran yang tentu saja berkecamuk di dalam kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments