Setelah beres dan bersih kembali, Caca lantas mengajak kakak cantiknya itu untuk duduk di pintu belakang, pintu keluar dari arah dapur. Sedangkan Rea, ia lantas istirahat di kamar.
"Gimana perasaan Kakak?" tanya gadis itu pelan. Saat ini, Caca duduk di sebelah sang kakak yang tengah memperhatikan halaman belakang rumah. Pintu yang terbuka lebar itu pas untuk duduk dua kakak beradik itu.
"Bingung," jawab Cici jujur.
"Kamu harus yakin lok, Kak," ujar Caca lagi.
"Sama hati aku aja nggak yakin, Ca. Apa lagi hati orang lain. Setiap kali memikirkan apa itu pernikahan, apa itu ibadah terpanjang, aku langsung tertuju pada kegagalan dan berujung kesakitan."
"Kakak harus minta sama Allaah agar hubungan Kakak dan Kak Fadil nanti dijauhkan dari godaan dan yang lainnya."
Cici menoleh ke arah sang adik. "Bicara itu mudah, Dek. Tapi untuk menjalankannya susah."
"Sini, peluk adikmu. Aku salurkan kekuatan penuh cinta agar Kakak semangat dan yakin, bahwa ini adalah langkah menuju surga."
Cici tersenyum sembari meneteskan air mata. Lantas, ia benar-benar memeluk adik tercintanya.
...----------------...
Pagi hari, saat sudah usai ketiga manusia itu sarapan. Rea kembali membicarakan pasal pernikahan dadakan yang akan di jalani anak sulungnya.
"Ci," panggil Rea. "Ini." wanita itu menyodorkan sekotak beludru berwarna biru tua ke hadapan anak pertamanya. "Pakai lah, jangan di tolak," sambung wanita itu.
Cici hanya memandang kotak yang memang terlihat sangat bagus itu, namun tak kunjung ia terima. Ia masih diam seribu bahasa.
"Kamu masih punya papa, Ci. Kamu tahu 'kan, menikah butuh wali," ujar wanita cantik itu lagi.
Sekarang Caca dan Cici saling pandang, wajah kakak perempuan cantik itu terlihat begitu sendu. Namun, segeralah sang adik memberi kekuatan cinta yang begitu tulus lewat anggukan kepala dan genggaman tangan di bawah meja.
"Sebenarnya--" suara Cici menggantung. Ia ingin mengatakan kalau ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak diinginkan olehnya. Tapi, ia takut salah bicara. Karena kembali lagi, mau seperti apapun pria itu, dia tetaplah ayah kandungnya.
"Enggak baik mengatakan hal buruk, Ci. Besok pagi, kita bertiga pergi ke sana," Rea mengatakan itu dengan tegas. "Dua minggu bukan waktu yang lama, mama harus mempersiapkan segalanya. Dan tugas Caca juga semakin banyak, bahkan dua minggu ini Mama nggak tahu masih bisa jualan apa nggak. Sedangkan hari ini aja, toko tutup," sambung wanita itu panjang lebar.
"Harusnya Mama nggak--" cici mengatakan dengan pelan.
"Ini adalah keharusan yang harus di segerakan. Nggak ada bantahan, kamu harus kasih lis siapa aja yang akan kamu undang dan kasih ke Caca. Biar dia urus segala undangan dan tenda. Mama urus catering dan yang lain. Dan kamu urus surat-surat untuk mendaftar ke KUA, kayaknya sebentar lagi Fadil dan adiknya datang. Semalam Ummanya mengatakan kayak gitu, dan mama bilang kalau kamu nggak akan mau jika pergi ke sana hanya dengan fadil saja. Dan jangan lupa, pakai cincin nya. Terus nanti jangan kaget, kalau barang-barang seserahan semalam mama taruh di kamar kamu semua."
Cici memperhatikan bibir mamanya yang berbicara panjang lebar tanpa jeda, seperti bos yang tengah memberi petunjuk pada karyawan barunya. Ada pusing dan ada lucu. Cici yang awalnya ingin tak menerima, seketika tersenyum melihat antusias dan pusingnya sang mama.
"Apa mama bahagia, kalau di buat se-pusing ini?" tanya Cici.
"Bahagia banget, dan mama yakin. Kalau nanti giliran Caca, kamu pun akan bahagia karena kepusingan yang seperti ini."
"Ekhem." Caca lantas berdehem. "Gimana kalau sekalian, biar pusing sekali aja," sambungnya bercanda.
"Apa?" Rea menoleh ke anak bungsunya. "Ini bukan pusing aja, Ca. Bisa-bisa mama pingsan," sambungnya membuat dua anak gadisnya tertawa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Siti Dede
Kayaknya mereka trio yg seru ya
2023-12-29
2