Seusai shalat isya, Caca membuat geger Rea. Pasalnya tiba-tiba ia berlari dari depan setelah membuka pintu utama. Ia mengatakan pada mamanya bahwasanya di depan ada begitu banyak orang, dan yang ada di urutan paling depan adalah keluarga Fadil. Begitu ujar Caca mengatakan pada mamanya.
"Astaghfirullah, gimana ini, Ci?" Rea terlihat panik dan menoleh ke arah sang anak sulung. Cici, si gadis yang masih setia duduk diatas sajadahnya itu hanya menggelengkan kepala saja.
"Buruan Ma, jangan diam terus. Itu mereka bawa barang banyak," begitu ujar Caca mengajak mamanya untuk segera keluar menemui para tamu.
Terbengong di tempatnya. Cici hanya bisa memandang kosong kepergian Mamanya dan sang adik tercinta. Ia tak pernah menyangka jika apa yang Fadil katakan sore tadi ternyata benar-benar serius. Ia pikir, pemuda itu tak akan senekad ini.
Belum usai Cici merasa heran, Rea sudah kembali ke dalam dengan raut wajah kesal. "Kenapa kamu nggak bilang Kak, kalau akan kedatangan tamu. Tadi Fadil datang bukan, dan dia sudah mengatakan kalau akan datang kembali dengan keluarganya?"
Cici tak menjawab, ia hanya memperhatikan wajah mamanya yang kelimpungan itu. "Sekarang kamu diam di sini, tolong percayakan pada mama untuk jawaban kali ini. Maaf jika mama memaksa, Ci. Tapi ini--"
"Ma, buruan minumannya. Itu mereka sudah pada duduk semua di ruang tengah." Rea menoleh ke arah Cici yang berbisik seraya mengambil satu dus berisi air mineral kemasan gelas.
"Ah, iya. Kamu bawa keluar, mama ambil makanan yang ada."
Rea dan Caca membiarkan Cici tetap diam di tempat. Sementara itu, Caca sibuk memberikan minuman pada tetangga yang di ajak oleh keluarga Fadil. Lamaran malam ini benar-benar besar. Tak tanggung-tanggung, Fadil bahkan memberikan seserahan yang begitu banyak. Semua tetangga yang turut ke rumah Rea, membantu membawakan parsel cantik.
"Maaf ya, Mbak Rea. Sepertinya, njenengan begitu kaget. Padahal, sore tadi saya sudah nyuruh Fadil buat bilang, kalau kita mau datang," begitu ujar Umma pada calon besannya saat perempuan itu sudah duduk.
Rea tersenyum dan menggelengkan kepalanya, "Maaf juga ya Umma, kalau ternyata Cici lupa bilang," begitu wanita dua anak itu mencari alasan. Percayalah, netra Rea saat ini tak lepas dari pemandangan indah yang tertata rapi di depan lemari bufet. Ia merasa tak percaya saat Fadil memberikan seserahan sebanyak itu.
Jujur saja, ia sebenarnya tak ingin memaksa sang anak untuk menikah. Namun, jika lamaran yang bolak-balik dari Fadil itu kini semakin berlebihan, tentu saja ia tak akan tega bukan jika harus menolaknya.
Hingga akhirnya Abah Abbas - kakek Fadil mengatakan tujuannya datang dengan rombongan ke rumah janda beranak dua itu.
Air mata Rea keluar dengan derasnya, saat menjawab bahwasannya ia menerima lamaran untuk anak pertamanya itu. Antara senang dan sedih, serta ketakutan dalam hatinya. Ia hanya berdoa dan meminta kepada Tuhan, semoga jawaban yang ia ambil tidak salah dan bisa membuat anaknya bahagia.
Hanya itu yang semua orang yang ada di sana inginkan. Bahkan saking terharunya, Fadil pun turut meneteskan air mata. Ia berjanji dalam hatinya, tidak akan menyakiti hati perempuan yang satu itu.
Hingga tanggal pernikahan ditentukan dan akan di laksanakan dua minggu lagi. Begitu sepakat Rea dan keluarga Fadil.
Caca menangis bahagia, saking bahagianya ia sampai memeluk erat Firda yang duduk di atas tikar di sebelahnya. Pun dengan para tetangga yang turut datang, mereka semua bahagia dengan kabar yang baru mereka dengar ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments