Alisnya masih berkerut, kalimat Caca masih berputar-putar dalam benak. Ia benar-benar dibuat penasaran sampai duduk menyendiri di depan rumah dan tidak menjawab apa yang ummanya tanyakan.
Sampai sebuah tepukan lembut di pundak, barulah ia menyadari dan menoleh. "Kenapa, Umm?" tanya Fadil.
Umma, wanita cantik itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Mikirin apa sih, sampai nggak denger panggilan Umma?"
Fadil tersenyum kikuk, "mikirin sesuatu, Umma. Mmm ... Memangnya Umma tanya apa?"
Umma duduk di sebelah sang putra. Menepuk paha anak sulungnya itu dan kembali bertanya. "Adikmu mampir ke mana? Kok belum pulang."
"Oh," Fadil mengangguk dan menunjuk ke sebelah kanannya. "Ke rumah Sarah kalau nggak salah, ada perlu katanya," jelas pemuda itu.
"Umma," panggil Fadil saat wanita cantik di sebelahnya itu sudah mengangguk dengan jawaban darinya. "Apa yang di maksud dengan kalimat ini, 'Badannya nggak papa, Mas. Hatinya terluka. Luka yang di miliki Mama, merembet ke hati Kakakku. Bahkan, dialah yang lebih terluka,' apa maksudnya, Ma?"
Kini giliran wanita cantik berjilbab panjang itu yang mengerutkan dahi, bingung dengan kalimat yang ditirukan oleh Fadil-putranya. "Luka, mama merembet?" Tanyanya kembali memastikan. Fadil mengangguk. "Siapa memangnya? Itu kata Caca?" Lagi-lagi Fadil mengangguk.
"Nggak tahu juga sih Dil. Mmm ... mungkin mamanya pernah disakiti pria," ujar Umma pelan. "Astaghfirullah, jangan-jangan mbak Rea cerai dengan suaminya dan dampaknya ke Cici," sambung wanita itu lagi.
"Bisa saja Dil, itu bisa jadi alasan untuk tidak menikah loh, Dil," kata Umma. "Ya Allah, kamu harus benar-benar menikahinya Dil, kamu harus membuktikan bahwa kamu lelaki baik, tidak akan menyakitinya."
"Caranya gimana Umma?" Tanya Fadil lesu. "Umma tahu sendiri 'kan, dia susah sekali di ajak serius," sambung pria itu tak mengerti.
"Nanti Umma tanya Abba ya, kita minta bantuan beliau. Siapa tahu nanti lamaran kita di terima. Tapi ... kamu benar-benar memilih Cici 'kan, tidak akan membuat hatinya terluka?" ujar Umma lagi yang berujung bertanya kepastian pada putranya. "Umma nggak akan terima guru cantik itu disakiti seorang pria, apalagi pria itu anak umma sendiri," sambung Umma lagi.
"In Syaa Allaah nggak akan Umma."
...----------------...
Suasana sore memang paling indah dan paling nyaman untuk duduk menyendiri di teras. Sayangnya, Cici yang tengah merasa nyaman itu tiba-tiba terganggu, saat netranya mendapati sosok tampan mulai mendekat ke arah rumahnya. Ia berusaha menghindar dan akan membiarkan tamu itu ditemui oleh yang lain saja. Namun sepertinya dewi fortuna tengah tak berpihak padanya.
"Ci, boleh maksa nggak?" pertanyaan Fadil begitu cepat, maklum saja ia langsung berlari saat mendapati Cici beranjak dari duduknya dan akan berlalu dari dirinya. Tak perduli nafas yang tersengal, pun dengan sarung yang seakan menghentikan langkahnya.
Dahi cici berkerut begitu dalam, ia benar-benar merasa heran pada pemuda tampan yang saat ini tengah berdiri di belakangnya. Selain terkejut karena tiba-tiba ada tamu tak diundang, ia juga sudah terlanjur terpergok berada di teras, jadi tak lagi bisa dia menghindar dari keberadaan Fadil.
"Tolong, Ci. Terima lamaran aku," sambung Fadil yang semakin membuat Cici semakin mendalam kan kerutan di dahi.
"Sebentar lagi aku akan mengurus pondok di Semarang, kamu tahu bukan, jarak dari sini ke sana empat jam, tidak mungkin setiap hari aku bolak-balik__"
Cici menoleh, ia berdiri tepat di depan pintu depan yang terbuka lebar. "Apa urusannya sama aku, Dil?" Tanyanya segera memangkas kalimat panjang Fadil. Tentu saja masih dengan nada pelan.
"Aku pengin jagain kamu dari segala hal. Aku pengin kamu jadi tempat pulangku, Ci." wajah Fadil sendu menatap Cici yang terlihat tak suka dengan apa yang ia katakan.
"Tapi aku nggak mau Dil, aku nggak bisa."
"Kalau hati kamu pernah sakit bahkan sampai saat ini, biarkan aku yang menyembuhkan sakit itu Ci," kata Fadil lagi.
Cici menggelengkan kepalanya. "Nggak akan bis--"
"Bisa kalau kamu memberi kesempatan," sergah Fadil.
"Hati aku nggak pernah sakit, kamu jangan sok tahu."
"Aku bisa menikahi kamu dari ayah kandungmu, Ci. Aku tinggal datangi beliau dan meminta beliau menikahkan kamu untukku," ujar Fadil dengan keras kepalanya.
Cici tersenyum, "kamu jangan asal," katanya.
"Aku nggak ngasal, aku serius."
"Kamu sudah dewasa Dil, menikah bukan perkara mudah. Bukan untuk memaksa orang agar mau hidup bersama. Ibadah paling lama yang jelas akan sulit untuk di lewati. Jadi tolong, jangan lagi--"
"Kita bisa berteman setelah menikah, Ci." Fadil kembali memangkas kalimat panjang Cici.
"Kita udah temenan," Cici menggelengkan kepalanya heran pada pria yang terus saja memaksa dirinya. Padahal sudah jelas-jelas dia tidak ingin.
"Sore ini aku datang sendiri, tapi nanti malam, aku akan datang dengan Umma, Abba, Firda dan Mbah Kakung ku. Aku yakin kamu nggak akan membuat malu Mbah Kakung ku," ucap Fadil dengan wajah yang serius. Bahkan ia tak menunggu jawaban Cici, langsung saja memutar badan dan pergi. Salam bahkan ia ucap dalam hati.
Cici mematung ditempatnya. Memperhatikan punggung Fadil yang berjalan menjauh, meninggalkan pelataran rumahnya.
Hingga satu tetes air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. "Kenapa harus maksa, Dil?" Tanyanya pelan. "Aku bahkan tak memiliki rasa apapun, hanya ada ketakutan untuk jatuh ke dalam cinta pada manusia. Cukup dua orang saja yang aku cintai saat ini, Mama dan Caca," begitu sambung gadis itu.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments