Malam kian larut, janda cantik itu kini masih setia berkutat di dapur. Kehidupannya tak pernah lepas dari membuat kue. Terlebih besok pagi ia mendapat orderan kue ulang tahun dengan karakter lucu, yang mana biasanya gambar-gambar lucunya dua anaknya yang akan membantu membuatkan. Tapi kali ini, dua anaknya belum ada yang datang menemui dirinya karena sang anak pertama masih saja setia di ruang shalat.
Tak lama setelahnya, Cici datang. Rea dapat melihat gadis itu dari ujung netranya. "Ma," sapa sang anak. "Ya, Ci." Rea yang sibuk itu hanya menjawab tanpa menoleh.
"Sudah selesai?" tanya Cici yang saat ini sudah ada di sebelah sang mama.
"Nanti kamu tolong hias ya, Ci. Biasa, anak kecil sukanya motif kartun sekarang, coba gambar nya mudah kaya doraemon, pasti mama bisa," ujar Rea pada anaknya.
Tangan Cici langsung membungkus roti manis yang sudah siap, memasukan ke dalam plastik bening kecil dan tak lupa ia beri sticker dengan tulisan, 'RCC Bakery, thanks for order.' Dalam sibuknya, gadis itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban pada sang mama.
"Ci." Rea membalik badannya dan melihat ke arah sang anak. "Mama boleh bicara hal lain nggak?" sambungnya bertanya.
"Hal apa, Ma?" Cici juga turut melihat ke arah sang mama.
"Kenapa?" tanya Rea.
"Apanya, aku nggak ngerti?" tanya balik Cici.
"Ci, apa yang dikatakan Caca ada benarnya loh," ujar Rea.
"Aku tahu," jawab Cici cepat. "Tapi aku takut Ma," sambung Cici dengan wajah sendu. Saat itu Rea pun lantas menatap netra bening anaknya yang berair.
"Tapi, Nak ... Tidak semua laki-laki seperti papamu, Fadil--" kalimat Rea terputus saat Cici menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Ma. Aku nggak perduli," ucap Cici. "Rasa sakit yang Mama rasakan dulu, masih begitu aku ingat, bayang-bayang kejadian saat papa sama wanita lain juga masih ada di sini, Ma." gadis itu menunjuk dada dan kepalanya. "Aku masih ingat segalanya, Ma. Setiap melihat laki-laki, otakku langsung berpikir, bahwa setiap laki-laki tidak akan puas hanya dengan satu wanita," kata Cici lagi.
Percayalah, air mata tiga bidadari itu mengalir begitu saja. Luka itu kembali terasa. Bahkan, Caca yang tadinya tidak mengerti masalah orangtuanya, kini pun jadi mengerti saat tak sengaja mendengar apa yang kakaknya katakan.
"Ci." Rea tak sanggup rasanya jika membiarkan anak gadisnya itu menangis sendirian. Ia lantas memeluk erat anak sulungnya itu.
"Jadi seperti itu?" Caca mendekat dan bertanya. Rea dan Cici yang menangis bersama itu lantas mengurai pelukan dan menoleh ke arah gadis utu.
"Caca," ucap Rea dan Cici bersamaan.
"Jadi, sebenarnya seperti itu, Ma?" tanya Caca lagi. "Alasan kenapa mama dan papa pisah rumah, dan pisah segalanya?" sambung gadis 23 tahun itu.
"Kenapa mama sama Kakak nggak pernah cerita?" tanya Caca lagi. "Kenapa papa sejahat itu, Ma?" gadis itu terus saja bertanya.
"Terus kenapa mama nggak larang aku buat deket sama laki-laki kayak papa, harusnya aku juga kayak Kak Cici yang jauh dari papa, nggak usah bales pesan darinya, apalagi sering kasih kabar walaupun papa nggak nanya, kenapa mama sama Kakak nggak pernah cerita?" tangis Caca pecah, bersamaan dengan Rea dan Cici yang memeluknya.
"Sssst .... Sudah jangan menangis, itu sudah lalu, kita sudah bahagia anak-anakku," ucap Rea dengan menciumi kedua anaknya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Daulat Pasaribu
lanjut Thor...please jgn berhenti buat karya yg bagus
2023-11-20
0