Kue basah sudah selesai. Tapi Cici belum juga mulai membuat brownies. Wanita itu masih setia duduk dengan sang adik yang baru saja pulang. Wanita cantik yang duduk di depannya itu tengah sibuk bercerita bagaimana keadaan kantor dan para karyawan di sana. Dari resepsionis sampai HRD yang ia temui.
"Serius Kak, jutek-jutek banget orangnya. Ish, amit-amit," kesal Caca.
Cici tertawa, "udah. Kamu memang pantasnya jualan online. Nanti Kakak tambahin menu baru," ujarnya.
"Menu apa?" tanya balik Caca.
"Biskuit brownies," jawab Cici pelan. Ia sedikit mengingat tentang brownies. "Astaghfirullah, aku lupa Ca," sambung Cici.
"Lupa apa?" Caca penasaran.
"Lupa, kalau mau bikin brownies buat Umma." jawaban itu dari Rea yang baru bergabung dengan dua anaknya.
"Oh, Umma pesen?" tanya Caca lagi.
"Enggak, jadi gini ... Tadi Cici sholat terus di bantuin oleh Fadil pas Fadil mau beli, karena kebetulan rame banget dan untuk rasa terimakasih mungkin dari Cici, kakak kamu itu mau membuatkan brownies secara gratis. Bener gitu 'kan Ci?"
Cici menganggukkan kepalanya, "iya," katanya.
"Cieee ... Cieeee, kayaknya udah ada nih," ledek Caca.
"Ada apa?" tanya Cici dengan raut wajah yang biasa-biasa aja. Tidak ada malu-malu apalagi marah. Benar-benar biasa saja.
"Nggak ada apapun Kak, cuma ada brownies," kata Caca.
"Bantuin ya, Ca," kata Cici.
"Ish, kok kakak nggak merah sih wajahnya. Kakak nggak gimana-gimana, memangnya?" Cici menggelengkan kepalanya, sang adik yang bertanya demikian justru ia lah hang merasa kesal.
"Ya Allaah, Ma. Ini tentang brownies loh yang aku bahas, kok Kakak biasa aja sih," ujar Caca lagi pada mamanya.
"Udah, ah. Aku bikin brownies dulu ya, Ma." Cici beranjak dari duduknya dan pergi ke dapur. Ia tersenyum, bukan karena mengingat Fadil, tapi karena mengingat betapa lucunya wajah Caca yang menggemaskan.
"Merah, pipi?" tanya Cici pada dirinya sendiri. "Di sini bahkan sudah tertutup rapat akan semua rasa, Ca. Tidak akan terpengaruh hatiku pada sebuah gombalan atau kata-kata manis, pun dengan perhatian. Karena, perhatian manis papa masih teringat jelas, pun dengan perkataan kamu yang saat itu dilarang oleh papa sendiri agar tak lagi merasakan rasa rindu." sambungnya dengan menepuk hati.
"Maaf jika sampai saat ini, aku belum merindukan Papa, Ya Allah. Aku tak memelihara kebencian, tapi ... Ini adalah perintahnya," gumam Cici.
Sudah. Semua sudah usai, seperti itu memang rasa yang Cici miliki. Pada papanya, maupun pada pria lain. Jika di katakan trauma, ya ... Dia memiliki rasa takut yang berlebihan. Terlebih saat melihat sebuah keluarga yang harmonis dan romantis, ia tak pernah mempercayai itu.
"Kamu mau bikin brownis kukus apa panggang, Ci?" suara Rea yang mendekat mengagetkan Cici yang terbengong ditempatnya.
"Hah," Cici menoleh. Ia lalu menunduk, mendapati tempat yang masih kosong, bahkan adonan saja belum ia buat. "Kukus aja kayaknya, Ma," jawabnya pelan.
"Ck ... Ck ... Ck, Cici memikirkan tentang brownis sampai bengong," canda sang mama.
"Bikinkan dua saja, Ca. Di rumah Fadil 'kan selalu banyak tamu," begitu sambung Rea pada sang anak.
"Iya, Ma." Cici menurut. Ia lantas beristigfar dan membaca basmalah, lanjut dengan membuat brownis.
Mamanya tak henti-henti nya meledek sang anak saat anak gadisnya itu tiba-tiba lupa akan resep yang seperti biasanya. Tapi Cici, ia hanya tengah memikirkan tentang dosa. Dosanya pada sang papa, karena ia menjauhi papa kandungnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments