'Sedang Shalat' begitu lah tulisan yang tertera di toko roti milik Rea. Karena saat ini, Cici memang tengah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslimah. Ia tengah bersujud di ujung toko, tempat khusus sholat. Bisa di bilang, itu adalah mushala mini.
Jangan tanya itu ide siapa, tentu saja yang membuat mushala kecil adalah Cici. Dia tidak akan mau shalat di masjid yang jaraknya sedikit jauh dari toko. Bukan takut meninggalkan dagangan, tapi ia memang lebih suka shalat sendirian dalam keheningan, lebih khusyuk, begitu pikir Cici.
Walaupun pada kenyataannya toko itu tengah ramai, namun itu semua tak akan pernah membuat gadis itu terganggu saat menjalankan shalat. Ia fak akan takut pada orang yang mungkin akan mengambil tanpa membayar, semua itu sudah ia serahkan pada Sang Maha Kuasa.
Hingga akhirnya ia telah usai dan kembali ke tempat di mana tokonya begitu riuh dan pembelinya kebanyakan adalah anak kuliahan, yang mana semakin membuat dirinya heran adalah; ada seseorang yang tengah melayani para pembeli. Cici pikir, dia adalah Caca yang mungkin sudah pulang dan langsung ke toko. Tapi, sekilas ia lihat seseorang itu memakai penutup kepala yang bukan jilbab. "Astaghfirullah, siapa itu?" gumamnya.
Dengan berjalan pelan, mengikuti antrean para pembeli, ia menggeser tubuhnya. Betapa terkejutnya ia saat mendapati Fadil tengah berada di sana. Duduk dengan manis melayani setiap pelanggan yang akan membayar belanjaannya.
Cici menggelengkan kepalanya, lalu mendekat. "Makasih udah bantuin. Sini nggak papa, aku aja," katanya begitu ia berdiri di samping meja kasir.
"Nggak papa, kamu masukin aja ke kantong. Aku yabg ngitung, tenang ini amanah." kata Fadil tanpa menoleh ke arah gadis pujaannya. Ia sibuk menghitung dan memberikan paperbag pada cici agar bisa memasukkan roti ke dalamnya.
Agar tak terjadi kerusuhan, Cici pun menurut. Ia memasukkan dan memberikan paperbag yang sudah terisi ke orang-orang yang antre. Entah bagaimana Allah mengatur rezeki, yang jelas siang hari ini, roti yang ada di toko hanya tersisa beberapa butir saja. Itupun hanya roti manis isi coklat berukuran kecil.
Seusai melayani pembeli, Cici lantas duduk di lantai. Meluruskan kakinya yang terasa kesemutan. Pun dengan pinggangnya yang lumayan sakit. Fadil tersenyum melihat itu, lantas ia pun beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah pintu, lelaki tapan itu lalu duduk di sana.
"Eh, jangan di situ. Kotor," cegah Cici segera.
"Enggak apa-apa lah, nemenin kamu. Masak kamu berani kotor, aku nggak," kata Fadil dengan senyum yang di kulum.
"Kamu pikir ini iklan," ujar Cici lagi.
"Hehe," Fadil hanya tertawa, wajahnya mengarah ke arah luar. Tak berani melihat ke arah gadis yang membuatnya terus saja kepikiran.
"Mmm ... Makasih ya, udah bantuin," ucap Cici tulus.
"Sama-sama, Ci. Kamu kayak sama siapa aja," Fadil melirik sekilas. Dapat ia lihat kalau wanita cantik itu tengah menunduk memijit lutut yang tertutup. 'Coba aja udah halal, Ci. Tak pijitin kamu,' kata pria itu dalam hatinya. Sampai-sampai, "astaghfirullah." ujarnya seraya menepuk jidat.
"Ada, apa?" tanya Cici.
"Aku tuh ke sini buat beli brownies, tapi malah udah abis," jelas Fadil. Sebenarnya bukan suruhan Umma, itu hanya alasan untuknya agar bisa datang ke sana. Dan siapa sangka, toko tengah ramai dan saat ia cari-cari penjaga tokonya, ternyata tengah shalat.
"Ya Allaah, buat Umma, ya?" Cici langsung merasa tak enak hati.
Fadil mengangguk, 'maaf Ya Allaah, ini bohong untuk kebaikan,' katanya dalam batin.
"Mmm ... Kalau gitu, ini untuk rasa terimakasih ku karena kamu udah bantuin, nanti aku buatkan aja ya, gratis. In Syaa Allaah kalau nggak ada halangan, begitu pulang aku langsung bikin." Cici lantas beridiri. Ia langsung mengambil paperbag dan memasukkan sisa roti manis dan membawanya ke arah Fadil. "Untuk ganti sementara, ini dulu nggak papa ya," katanya seraya menyodorkan pada Fadil yang masih setia duduk di bawah. Cici pun memberikannya dengan duduk berlutut. Seketika, Fadil semakin terkesima pada gadis incarannya itu. Walau tak memandangi wajah ayu nan manis di depannya, namun ia tetap saja bisa merasakan debar indah yang selalu ia rasakan.
"Ekhem," Fadil mengeluarkan suara agar tak terdengar gugup. Karena percayalah, debar itu membuatnya lemas dan tak bisa apa-apa. "Mmm ... Terimakasih banyak sebenarnya, Ci. Tapi ... Kalau roti ini, aku makan aja di sini, gimana?" tanyanya sebelum menerima paperbag itu. "Aku laper," sambung Fadil dengan tertawa kecil.
"Oh, boleh dong. Silakan. Aku ambilkan minum." Cici kembali ke belakang dan mengambilkan air mineral dalam kemasan gelas.
Ternyata tak sampai di sana, Fadil juga memaksa agar Cici turut memakan roti yang ada. Dan dengan duduk di tempat semula, gadis itu menuruti apa perkataan pria tampan itu.
Keduanya lantas makan roti tanpa saling melihat. Tapi percayalah, perasaan Cici pada Fadil biasa saja, tak ada debar yang bisa di bilang cinta di dalam dadanya. Hambar, datar, dan tak mengerti apa itu cinta. Hanya ada rasa malu, karena takut saat makan belepotan dan di lihat orang. Begitu perasaan Cici.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments