Kehidupan Awal Kampus

“Ma, pitanya mana?” Aku sudah bolak balik ke depan, kemudian balik lagi ke belakang, mengobrak-abrik beberapa tas yang aku bawa. Aku memang memutuskan untuk ngekos saja. Awalnya ayah menolak, tetapi

kalua pulang pergi ini akan memakan waktu terlalu lama.

“Pelan-pelan, Rindu.” Mama mendekat, kemudian membuka kantong plastic berwarna merah dan menemukan semua peralatan ospek yang sudah aku siapkan sebelum datang semalam. “Ini, kan?” Mama mengacungkan pita berwarna pink, juga membantu mengikatkan di rambutku.

“Terima kasih, Ma.” Aku tersenyum dan berjalan ke arah meja kecil yang di atasnya sudah tersedia nasi uduk dan beberapa potongan buah, juga beberapa susu kotak yang akan aku jadikan bekal nanti.

“Ayah mana, Ma?”

“Tadi bilang mau keluar sebentar.”

Aku mengunyah nasi uduk dengan cepat, hari ini adalah hari pertama aku datang ke kampus secara officially. Hari ini kami sebagai maba harus datang pukul 06.00. Aku memang sudah mempersiapkan hal-hal begini, tetapi aku juga nggak bisa banyak tenang, karena Dewi bukan mengambil

jurusan yang sama denganku. Ada Ando sebenarnya, tetapi dia memilih tidak ngekos karena dia beranggapan itu tidak perlu.

“Kamu gugup, Ndu?” tanya Ayah yang tiba-tiba masuk.

“Sedikit.” Aku meringis menampakkan gigi depanku.

“Tenang aja, temanmu sudah di depan tuh, katanya dia juga kuliah sama dengan jurusan kamu.”

“Teman? Siapa?” Mama menyahut, kemudian mengintip di balik tirai jendela. “Oh itu, kalua itu mama tahu, dia yang ngajakin Rindu

barbeque, dia juga datang ke rumah, Yah.” Mama tersenyum, kemudian duduk di sebelah ayah.

“Oh, dia kucing yang kamu tangisi?” Ayah menyeringai, kemudian menyipitkan matanya ke arahku. 

“Ayah! Aku udah bilang, Ando manusia bukan kucing, yang mati kucing, ayah!” Aku terus menjerit sambil terus menyerukan protes, karena semenjak hari itu, siapa pun yang datang menemui, ayah selalu tanya dengan cara  yang sama dan itu sangat menyebalkan.

Aku meminum susu yang disiapkan Mama, juga memasukkan semua keperluanku ke dalam tas. Aku bersiap berpamitan dengan ayah dan mama karena aku akan berangkat bareng Ando.

“Ma, mama nanti pulang?” tanyaku sambal memakai sepatu.

“Iya, kamu nggak apa kan sendiri?” Mama terlihat khawatir.

“Aku nggak papa, lagian di sini juga aman, ada satpam. Nanti weekend aku bisa pulang. Jam enam terlalu pagi kalua datang dari rumah, kan

ma.” Aku berusaha membuat mama tidak khawatir.

“Jangan pulang malam, jangan terlalu sering keluar dengan temanmu, juga jangan jalan sendirian kalua malam, ya. Beli makanan sebelum magrib, atau hangatin makanan yang ada di kulkas, ada beberapa yang

disiapkan mama buatmu.” Kali ini aku merasa sangat disayang orang tuaku, ternyata tidak ada bedanya kegelisahan mereka kepadaku atau kepada kakakku.

Sekarang aku mengerti bagaimana mereka sangat memedulikan anak-anaknya. Mungkin awal kuliah ini akan menjadi saat yang menyenangkan disbanding harus berurusan dengan kucing. Aku mengehela

napas.

Aku memeluk orang tuaku sekali lagi. Setelahnya aku segera keluar karena Ando pasti sudah menunggu di luar.

Ando juga menggunakaan baju yang sama denganku, aku tersenyum begitu melihatnya.

“Halo, sorry lama, ya. Emak ayah ada, jadi gue harus siapin kupingbuat terima wejangannya dulu.

“Santai, Ndu. Gue juga nggak buru—buru, yuk! Masih ada setengah jam lagi. Lo udah sarapan?”

“Udah, lo belum?” Dia menggeleng karena memang jam segini masih terlalu pagi untuk sarapan bagi beberapa orang.

“Oke, mau aku anterin sarapan?”

“Nggak usah, Ndu. Tadi sempat minum susu aja sih.”

“Oh, gue bawa buah sama susu juga.” Aku merogoh kotak bekal dan susu, Ando memang akan menolak, tetapi aku langsung masukkan ke dalam tasnya. Buru-buru aku naik ke atas motornya, kemudian Ando menjalankannya.

Kampus ini terlalu bear, meskipun saat itu aku sudah melihat-lihat ke kampus, tetapi aku terlalu bingung jalan ke fakultasku. Beruntung

sekali aku bisa berangkat dengan Ando.

Kampus ini sangat asri, untuk menuju ke fakultasku, aku bisa melihat banyak pohon-pohon hijau tinggi yang rindang. Beberapa mesin minuman juga tersebar di beberapa titik. Aku berharap ini akan jadi lebih

menyenangkan.

Yang jelas di sini aku tidak akan bertemu dengan dua orang menyebalkan seperti Anya dan Andi. Aku juga tidak harus memikirkan mereka. Hah, apa pun jurusan yang aku mau? Di mana pun aku mau? Semuanya adalah kebohongan dan lelucon saja untuk membodohi. Sekarang aku akan

menikmati kehidupan awal kuliah.

“Ndu,” kata Ando tiba-tiba.

“Ya?” tanyaku balik.

“Udah sampai. Turun.” Aku melihat kalua motor Ando sudah berhenti, entah berapa lama dia sudah berhenti, tetapi sudah ada beberapa maba melihat ke arahnya. Aku segera turun dari motor Ando.

“Kenapa nggak bilang dari tadi, gue malu.”

Ando melepaskan helemnya, kemudian membuka standar motornya. “Gue udah

pangggilin lo dari tadi, lo nya aja nggak dengar.” Dia melihat ke sekeliling, kemudian tersenyum jahil. “Mau gandengan juga nggak sama gue, biar dikira gue pacar lo, Ndu.”

“Dasar gila!” Aku tidak mengerti, kenapa ketua kelas yang dulu aku piker diam, ternyata punya sisi jahil ini. Aku berjalan cepat

meninggalkan Ando, aku tidak mau hari pertamaku menjadikan aku pusat perhatian.

Ando menyusul di depan Mading, aku akan mencari informasi kelas mana yang akan dipakai.

“Ternyata di lapangan,” gumamku pelan. Tiba-tiba suara getar ponsel Ando membuyarkan perkataan apa yang akan aku ucapkan tadi.

“Bentar, ya, Ndu.” Dia berjalan ke arah samping untuk mengangkat telepon. Ando kelihatan senang, mungkin saudaranya atau kawannya yang menelepon, siapa memang yang harus telepon, dia tidak mungkin repot-repot menanyakan aku ke Ando.

Tidak sampai lima menit, Ando kembali, kemudian kami berjalan ke lapangan. Dengan semua bawaan yang harus dibawa, kami meninggalkan tas ke dalam kelas. Ada bebrapa siswa yang katanya satu sekolah

denganku, tetapi aku tidak mengenalnya. Ternyata cukup banyak yang menyapa Ando di sepanjang perjalanan kami ke lapangan. Banyak juga cewek-cewek yang meneriakinya seolah nyari perhatian. Di waktu

begini, tiba-tiba aku terpikir Andi, tidak mungkin mereka satu keluarga meskipun Namanya mirip, kan?

“Dulu gue temenan sama orang yang terkenal banget di sekolah, masak di kampus harus begitu lagi, ya?” gumamku pelan, aku pikir Ando tidak mendengar, tetapi dia justru terkekeh.

“Sebenarnya, bukan teman lo yang terlalu terkenal, tetapi memang lo itu menarik, Rindu. Jadi, secara alamiah, banyak yang mau dekat sama lo. Jadi, jangan jadiin gue beban lo, tapi balik, lo bisa jadiin gue tameng, kalua lo mau itu justru sangat membantu gue.”

“Apalagi ini maksudnya.” Aku tidak terlalu mempedulikan perkataan

Ando, tetapi mungkin saja aku akan mengalami sesuatu yang membuatku

menjadikan dia tameng.

“Contohnya, missal lo dis jgukain sama cowok, terus lo belum bisa move on dari Andi, gue bisa lo jadiin tameng, bilang aja lo udah punya cowo, dan cowok itu gue. Lo bisa gandeng gue ke mana aja, atau lo juga bisa

ngajakin gue makan biar lo nggak dideketin banyak cowok. Karena gue yakin setelah lo kenalan di depan, pasti banyak yang akan ngejar lo atau sekedar pengin dekat sama lo.”

Aku mengerti maksud Ando, tetapi kenapa dia harus repot-repot samaburusan gue, dia kan juga punya ambisi dan kesenangannya selama kuliah.

“Hai, lo anak bisnis?” tanya seseorang yang tiba-tiba memotong lamunanku. Aku melihat ke arah Ando, kemudian dia mengerling dan

pura-pura tidak memedulikanku. Apakah ini yang dia maksud?

_________

Gais, ceritain dong kalian pas jadi mana kayak apa?

Love, Ah Reum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!