Aku terkejut, bahkan mataku sudah tidak lagi bisa dikondisikan. Aku melotot melihat Andi seperti itu. Karena reflek aku menarik tanganku dan berdiri.
“Lo apa-apaan sih?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Gue Cuma mau nenangin lo. Gue nggak tahu kenapa lo marah?” Dia ikutan berdiri, kemudian mengusap kepalanya frustasi.
Sekarang aku berdiri tidak nyaman, karena canggung dan bingung dengan apa yang kulakukan, apa yang akan kukatakan, aku berjalan menuju kulkas. Beruntung di sana masih ada mie instan. Aku mengambil dua
bungkus. Sampai sini aku belum mengatakan apa pun. Aku tahu Andi sedang melihatku, tetapi aku terlalu bingung dengan sikapku sekarang.
Memang benar, kami hanya teman. Tak seharusnya aku terbawa suasana. Rasa cemburu yang tiba-tiba hadir ini aku juga bingung mengendalikannya.
Aku juga salah paham tentang Anya, aku pikir aku sudah tahu banyak, dan dia juga selalu ada saat aku butuh dia, tetapi aku belum cukup penting untuk mengetahui hal-hal rahasia yang ia punya.
Panci yang kugunakan, airnya sudah mendidih. Kumasukkan mie instan ke
dalamnya, kemudian kutambahkan beberapa sayur dan telur di panci yang lain. Sambil merangkai, apa yang harus kukatakan ke Andi setelah ini.
Aku berharap akan berdiri di sini untuk beberapa menit. Namun, memasak mie instan ini tidak terlalu lama. Hanya butuh waktu 3 menit untuk menyelesaikan semuanya.
Aku meletakkan dua mie instan ke dalam dua mangkuk. Kubawa mereka ke meja dekat jendela. Aku nggak tahu meja apa yang ada di sana, tetapi masih lebih bagus daripada makan di sofa.
“Sini, makan!” ajakku pelan. Aku menarik kursi dan mulai menambahkan saos di atasnya. Andi menyusul. Deritan kursi berarti dia sudah ada di depan mataku.
“Kita bisa makan di luar atau pesan,” ucapnya. Mungkin dia tidak enak kalau aku hanya memakan ini, yang dia tidak tahu adalah aku
melakukannya karena untuk menghilangkan kecanggungan.
“Nggak papa, gue yang pengin.” Aku nggak berani menatapnya, aku benar-benar bingung dengan sikapku sendiri.
Suara mangkuk yang beradu dengan garpu ini yang menjadi musik latar atas keheningan kami. Sesekali aku melihat keluar, apartemen ini dilingkari jalanan. Ada gedung rumah sakit juga mall di dekatnya.
Aku segera menyelesaikannya, mencuci bekas mangkuk yang kupakai dan merapikan kompor. Aku berniat akan kabur saat Andi masih menikmati makanannya. Aku mengambil tas, kemudian memakai sepatuku cepat-cepat.
Aku berpikir akan berpamitan sambil berlari menuju pintu. Dia masih makan dan aku nggak ngerti kenapa aku melakukan ini.
Namun, saat aku bangkit setelah menyelesaikan ini, tiba-tiba tanganku dicekal. Aku diam karena terkejut. Tatapan matanya selalu seperti ini. Aku sedikit gemetar, karena aku tahu banyak yang belum aku tahu tentang Andi.
Setelah sekian menit mata kami beradu, dia menarikku pelan ke arah jendela besar yang tadi kami makan.
Dia hanya membawaku ke sana. Berdiri menghadap keluar, tidak ada yang ia katakan. Mungkin dia memberi waktu aku untuk tenang dan berhenti kabur atau menghindarinya.
Tangannya tiba-tiba melingkar, tubuhku menegang. Aku belum pernah dipeluk seperti ini. Aku belum pernah merasakan debaran jantungku yang semakin lama semakin menggila. Bahkan bodohnya ternyata aku menyukai ini. Namun, sesaat kemudian otakku memberiku kenyataan kalau ini tidak benar.
“Ndi,” ucapku lirih sambil mencoba melepaskan tangannya.
“Sebentar aja, biarin gue begini sebentar aja, Ndu.” Dia mengeratkan pelukannya. Kepalanya ia letakkan di bahuku. Suara napasnya, embusan per embusan aku bisa merasakan mereka. Aku semakin takut kalau aku kewalahan.
“Gue nggak akan ngapa-ngapain lo, Ndu. Gue nggak akan jadi monster yang buat lo takut. Cuma lo yang bisa bikin gue senyaman ini.”
Setelah mengatakan itu, aku membiarkan dia melakukannya. Aku hanya diam berdiri seperti patung, aku bukan apa-apa buatnya, aku hanya teman yang membuat dia nyaman. Walaupun ada sedikit nyeri di sana. Namun, aku selalu tahu diri dan mengatakan semua itu karena teman.
Dia membalik tubuhku, mendudukkan aku di kursi yang tadi kami pakai untuk makan. Lagi-lagi dia berjongkok, meraih tanganku, kemudian membawanya ke bibirnya.
“Lo tahu, gue hampir gila karena perasaan gue sendiri. Gue hampir nyamperin lo tiap malam karena pesan gue nggak lo baca. Gue hampir tiap hari narik lo ke sini karena gue tahu ada kehidupan kalau lo ke sini. Gue bukan jenis manusia yang bisa dengan cepat peka sama perasaan gue sendiri, Ndu. Tiap kali gue membuat lo marah, gue senang karena lo masih Rindu yang seperti biasa, masih Rindu yang gampang marah. Tanpa gue sadari gue selalu cari perhatian ke lo. Gue selalu pengin lo lihat, gue selalu nyari lo saat gue sampai sekolah. Sampai gue paham, ternyata perasaan seperti ini nggak muncul ke banyak orang, Ndu.”
Dia mengusap punggung tanganku dengan jarinya. Kepalanya mendongak, melihat aku bingung dengan apa yang dia katakan membuat ia malah tersenyum.
“Tapi tadi gue sadar, kalau lo marah beneran itu kayak tadi. Gue nggak tahu gue salah apa, tapi lo benar-benar … bikin gue ketakutan.”
Sekarang dia berdiri, kemudian membungkuk, tangannya mengusap pipiku pelan.
“Sekarang cerita, apa yang bikin lo marah sama gue?” Dia menatapku dalam, aku harus segera menghentikannya sebelum jantungku meledak. “Hm?”
Sepertinya dia tidak akan membiarkan aku kabur dari sini, tetapi aku juga bingung apa yang harus aku ceritakan kepadanya. Aku tidak mungkin berkata kalau aku cemburu atau sebagainya. aku harus sadar kalau aku
ini apa.
“Ndi, sebenarnya nggak ada apa-apa. Gue Cuma kesal karena diri gue sendiri. Terus karena yang ada Cuma lo tadi, gue jadi marah-marah sama lo. Sorry, ya.” Semoga aktingku ini tidak terbaca, aku benar-benar
harus pergi dari sini.
“Ndu, gue ….”
Dia belum melanjutkan ucapannya, tiba-tiba suara ponsel membuat interupsi kalau ini harus dihentikan sampai sini.
“Halo, Pa.” Suara Andi mengatakan kalau itu ayahnya.
“Aku di apart, kenapa?”
“Nggak perlu, Pa. aku bisa ke sana kok.”
“Sebentar lagi aku nyusul.”
Mendengar kalau Andi akan pergi, aku sedikit lega. Aku nggak akan bisa bertahan lama kalau aku tetap ada di sini. Andi nggak akan berhenti sampai aku mau cerita yang sebenarnya. Banyak hal di dunia ini yang
kadang sangat membantu kita. Seperti bunyi telepon atau justru sebuah bel yang berbunyi di pintu masuk.
Saat mendengar ada yang akan datang, aku hanya melihat Andi, dia pun bingung siapa yang datang tanpa berkabar. Aku mulai ketakutan, jangan-jangan tadi ayahnya sudah ada di depan unit, atau justru orang lain yang sering datang ke sini tanpa aku tahu.
“Itu siapa? Apa tamumu? Atau ….” Aku tidak lagi bisa melanjutkannya.
___________
Hayo, siapa yang datang? Makanya mainnya jangan lama-lama, Nak. Hihiii
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments