Danau sore ini begitu ramai, aku sengaja datang dengan menggunakan sepeda. Karena niatku sekedar jalan-jalan sore. Tidak lupa aku membawa beberapa camilan yang aku letakan di keranjang depan. Sepeda dengan warna orange ini sangat mencolok dibAndingkan sepeda lain yang kebanyakan berwarna hitam atau putih.
Aku tiba di dekat tempat parkir sepeda, kemudian berjalan sebentar menuju bangku kosong. Aku melihat banyak manusia lalu lalang dengan botol dan earphone di telinga. Mereka joging dengan bahagia. Ada pula yang duduk santai sambil membaca buku.
“Orang-orang pada rajin-rajin amat, ya?” Aku bergumam sebelum memasukan keripik kentang ke dalam mulutku.
Di ujung danau juga ada beberapa anak seusiaku sedang joget-joget viral. Ada pula yang hanya melamun sendirian.
“Aku yakin beberapa di antara kami sedang dalam masalah atau kebingungan mengambil langkah untuk hidup. Tapi ada nggak, ya, yang kayak aku? Bukan bingung tapi nggak tahu apa yang dibisa? Apa yang disuka? Mau kuliah di mana? Mau ambil jurusan apa? Sedangkan mama menyerahkan semua ke aku. Aku hanya makanan tanpa bisa masak sebaik yang aku makan.
“Ndu!” Aku menoleh mencari sumber suara. Aku tidak menemukan siapa pun yang kiranya kukenal, tetapi suara tadi seperti memangil namaku, atau ada Rindu yang lain di sini.
Aku membuka snack, memakannya sambil berjalan mencari rerumputan yang lengang. Aku tahu tak seharusnya aku di sini membuka bungkus snack alih-alih membuka buku untuk persiapan masuk kuliah.
Sambil memakan snack, aku mengambil ponsel, membidik beberapa pemandangan dan manusia lalu lalang untuk aku jadikan story whatsapp. Apalah dayaku yang pergi sendirian, nggak mungkin banget aku selfie.
Tiba-tiba ada yang merangkulku dari belakang, kemudian membidik beberapa gambar dengan ponselnya.
“Lo apa-apaan sih?” Mataku kesal menatap Andi yang cengengesan karena berhasil membuatku marah.
“Lagian dipanggil dari tadi pura-pura nggak lihat.” Dia menjawab dengan tetap memerhatikan ponselnya.
“Kalau gue lihat lo, gue bakal nyuruh lo ke sini dari tadi.
“Kenapa? Kesepian? Lagian ke sini sendirian.” Iya, juga. Aku memang sendirian ke sini kadang sama Kak Dami atau Bang Faris saja. Itu pun nggak mesti sebulan sekali.
Andi meletakan roti yang masih hangat di pangkuanku. Aku hanya melihatnya, kemudian menatap Andi bermaksud menanyakan untuk apa.
“Dimakan, Ndu. Masih anget. Lo kan suka makan, makanya tadi gue nyari makanan dulu biar lo betah ngelamun.”
“Tumben lo baik? Makanya lo tadi ngagetin gue, merasa bersalah kan lo, makanya ngasih gue roti.”
“Nih anak nggak percaya.”
Dia memakan beberapa roti dengan cepat, terlihat enak kalau yang makan Andi. Aku yang masih menimangnya, lalu memutuskan untuk membuka satu untuk kumasukkan mulut.
“Enak, Ndi. Lembut banget, ya.”
“Enak, kan?"
“Iya.”
Andi sudah selesai dengan rotinya, sedangkan aku masih menikmati segigit demi segigit. Roti yang lembut dengan bungkus sederhana ini membuatku merasa lebih tenang. Bahwa, setiap bungkus kadang tidak memengaruhi apa yang di dalamnya, bahkan roti sederhana tanpa merek ini pun enak juga kalau dinikmati benar-benar. Rasanya lebih dari harga yang harus dibayar.
“Lo mau kuliah ke mana, Ndi?” tanyaku tiba-tiba.
“Nggak tahu, lo mau ke mana?” Dia malah nanya balik. Aku tahu pasti orang pintar kayak dia sudah menulis planning apa saja yang harus dikerjakan atau tujuan apa yang harus dicapai.
“Gue nggak tahu mau kuliah di mana, Ndi. Gue bingung bukan karena orang tua gue nggak mampu bayar kalau kuliah di kampus bonafit, tapi lebih ke otak gue, nyampai apa enggak. Gue kayak nggak boleh berekspektasi terlalu tinggi biar gue nggak sedih sat nggak diterima nanti. Gue takut kecewa, Ndi.”
“Emang lo udah pernah nyoba? Kalau belum, ngapain takut?” Aku mendelik kesal, dia nggak tahu sejongkok apa otak gue dibanding Kak Dami, atau dibanding dia yang jarang belajar tapi tetap saja pintar.
“Diem aja deh lo, nggak tahu orang lagi bingung sedih gini, malah gitu. Lo sih, bisa tanpa belajar pun tetap aja masuk ke kampus yang lo mau.”
Dia menatapku sebentar, kemudian tangannya terulur, dia mencubit pipiku yang membuat beberapa orang melihat ke arahku.
“Jadi ini yang buat lo gelisah? Hm?” Tangannya belum terlepas, walaupun aku sudah berusaha melepasnya.
“Lo tuh, ya!”
Aku berdiri dengan kesal, beberapa detik kemudian aku menginjak kakinya yang membuat dia tertawa alih-alih kesakitan.
“Iya, iya sorry. Sini aja dulu. Ngapain sih buru-buru?”
Aku meminum air mineral yang ada di keranjang sepeda, kemudian duduk kembali dengan botol; yang masih ada di tangan.
Terkadang aku berpikir kenapa di hidupku ada jenis manusia-manusia aneh yang usilnya luar biasa. Aku berpikir Kak Dami aneh, begitu juga Bang Faris, apalagi Andi kalau lagi ada di sekolahan. Semua yang dia lakukan bikin aku nggak punya banyak teman. Dia sering melakukan sesuatu tanpa ia berpikir di mana posisiku.
Jangan salah paham! Aku sama sekali tidak menyukai Andi. Aku hanya gelisah kalau aku punya musuh di antara manusia yang sering kutemui. Itu semua membuatku nggak nyaman. Terkadang aku memilih membawa bekal daripada makan di kantin dengan beberapa teman kelasku. Bukan karena makanan kantin tidak enak, tetapi karena malas mendengar beberapa mulut berbisik-bisik tentang aku dan Andi.
Aku sudah mengatakan ke Andi kalau dia harus jaga jarak denganku, jangan sampai semua orang salah paham dan membenciku karena dari semua perempuan, dia hanya dekat denganku. Kebanyakan temanya adalah laki-laki normal seperti teman laki-lakiku yang lain.
Katanya ini hidup dia, kenapa aku harus mengaturnya mau berteman dengan siapa, mau ngapain, mau dekat dengan siapa.
Aku terdiam sat itu tanpa lagi menanyakan hal yang sama, yang pasti akan berakhir dengan jawaban yang sama seperti yang aku katakan barusan.
“Ndu, lo mau gue temenin?” Tiba-tiba Andi memecah keheningan.
“Hm, apaan?” Aku yang baru sadar dari lamunan bertanya lagi takut salah dengar.
“Lo mau gue temenin?”
“Ke mana? Pulang aja nggak papa, gue juga biasa di sini sendiri, kok.”
“Lo mau gue temenin. Lo mau kuliah di mana, gue bisa temenin lo di kampus yang sama. Kalau lo mau, lo mau pilih fakultas atau jurusan apa gue bisa nemenin lo. Gue nggak masalah di mana gue kuliah.”
Aku terdiam, seolah ada satu manusia yang benar-benar mendukungku tanpa menghakimi apa pun.
“Lo sadar, kan?”
“Menurut lo, gue bisa seserius ini kalau gue lagi mabok?”
Setelahnya mata kami hanya beradu, tanpa kata, hanya suara obrolan orang lain, langkah kaki, dan angin yang membelah di sela-sela pepohonan.
____________
Halo, semoga suka, ya. Gimana sudah berdebar? Tunggu terus update nya, ya. Terima kasih sudah support 😍
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
tefa(♡u♡)
Ceritanya menginspirasi dan memotivasi, thank you author 🙏
2023-11-13
0