Ujung lorong sekolah ini sudah sepi, tetapi entah mengapa pintu perpustakaan masih terbuka. Aku berdiri di persimpangan lorong, antara lurus menuju gerbang atau belok kiri melihat perpustakaan. Aku berpikir kalau di sana sedikit dingin karena di sekolahku ada
pendingin ruangan.
Hari ini lumayan panas, aku belum memesan jasa ojek online untuk pulang. Namun, rasanya berbeda siang ini, aku malas pulang dan malah melangkahkan kakiku menuju perpustakaan.
Sejenak aku melihat tempat biasa pustakawan sekolah duduk, kosong,
kemudian aku berjalan menuju rak komik. Saat ke rak itu, aku harus berjalan melewati buku-buku paket sekolah, kemudian, novel, antologi, saat aku akan melangkah sampai rak kedua aku terkejut karena mendengar
suara yang nggak asing di telinga.
Suara itu seperti sering kudengar akhir-akhir ini. Suara yang tiba-tiba video call nggak tahu waktu, suara yang kemarin pengin bahagia bersamaku sebelum meniup lilin.
“Tapi, ini memang adanya aku, Ndi.” Suara perempuan itu seperti tidak asing. Aku berusaha tidak membuat suara. Kulangkahkan kakiku pelan, kemudian menutup mulutku saat aku mengetahui siapa yang ada di sana bersama Andi.
Aku melangkah pelan, bersembunyi di ujung rak supaya tidak ketahuan mereka, “Maaf, ya, Nya. Gue nggak bisa.” Aku sangat penasaran
sebenarnya apa yang mereka bicarakan.
“Aku serius, Ndi. Aku rasanya pengin bunuh diri.” Aku menahan napasku, berusaha untuk tidak terkejut, tetapi ini sesuatu yang aku dengar.
“Jangan seperti itu, Nya. Ya, udah, aku antar pulang, ya.” Aku mendengar Anya masih terisak, dia akhirnya bangkit dan berjalan ke
arah pintu. Andi terlihat menuntun Anya yang masih terisak-isak.
Setelah mereka benar-benar keluar dari perpustakaan, aku baru bernapas normal. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Kenapa bisa Andi berurusan dengan Anya. Sebenarnya aku nggak terkejut kalau Andi akan dikerubutin banyak perempuan, tetapi aku terkejut karena Andi berurusan dengan orang yang akan bunuh diri. Dan itu temanku yang aku sendiri bahkan tidak tahu sama sekali tentang ini. Tidak pernah sekalipun Anya menceritakan suatu hal besar seperti ini kepadaku. Sungguh.
Tubuhku melorot, aku akan berpura-pura tidak tahu kalau aku mendengar mereka berbicara, dan aku tidak akan bertanya hal ini kepada Andi. Rasa penasaranku ini akan aku simpan sendiri sampai ada yang mau menceritakannya padaku.
Aku bangkit, berjalan menuju ke pintu keluar. Kepalaku tertunduk, aku merasa orang-orang mendekatiku hanya karena mereka butuh, bukan karena mereka ingin berteman denganku.
Aku tertunduk, hanya lantai lorong yang ada dalam pandanganku. Setiap kotak yang kulewati seolah sedang menertawakanku.
Untuk menjadi prioritas manusia harus jadi apa? Apakah harus memenuhi semua ekspektasi mereka? Sekarang, aku merasa tidak ada di dalam mereka. Anya yang kemarin membantuku ternyata tidak menceritakan masalahnya ke aku, dia malah menceritakan semua ke Andi.
“Aduh!” Aku terpekik karena tiba-tiba ada seseorang di depanku. “Maaf, maaf, ya. Aku nggak lihat.” Aku menunduk mengucapkan maaf sambil mengelus dahiku yang sakit, saat aku ingin berlalu, sebuah tangan
menahanku untuk tetap di sana. “Aku kan sudah—" Saat wajahku mendongak aku baru sadar kalau dia Andi.
“Lo? Ngapain di sini?” Aku bertanya seperti orang bodoh.
“Bukannya harusnya gue yang nanya, lo ngapain di sini? Gue udah nyari lo ke mana-mana, bahkan gue balik lagi ke kelas tadi.”
“Ngapain nyari gue?” Aku melepas pegangan tangannya dan mulai berjalan menuju gerbang.
“Lo nggak pengin tahu gue dari mana?”
“Dari kelas, kan?” Aku menanggapi tanpa melihat ke arahnya.
“Ndu, lo kenapa sih?” Aku melihatnya sebentar, kemudian melanjutkan lagi jalanku. Lagian buat apa aku cerita, sepertinya tidak ada gunanya. Dia lebih tahu banyak.
“Kenapa sih, gue mau pulang.” Aku berdiri di samping gerbang, kemudian mengambil ponselku untuk memesan ojek online. Mungkin akan lebih cepat kalau aku naik ojek motor. Saat sudah menemukan driver, aku melihat plat nomornya dan memasukkan ponselku kembali ke dalam tas.
“Ikut gue!” Andi menyeretku menuju parkiran. Dia memang membawa kendaraannya sendiri.
“Gue udah pesen ojek, Ndi. Kasihan abangnya!” Aku berteriak kesal karena dia berlaku sesuka hatinya.
“Lo lebih kasihan sama tukang ojek dibanding sama gue?” Apa yang harus aku kasihani kalau dia lebih banyak diperhatiin orang dibanding aku. Dia nggak akan kesulitan mendapatkan pengganti teman kayak aku.
“Iya. Seenggaknya secara nggak langsung gue ngasih makan dia dan keluarganya. Seenggaknya gue bisa bantu dia walaupun kelihatan nggak berharga. Seenggaknya dia nggak ngemis-ngemis ke gue buat pesan jasa
dia!” Aku terengah-engah mataku nanar melihat betapa menyedihkannya aku sekarang.
Aku masih terpaku di samping mobilnya, begitu aku lengah dia membuka pintu dan mendorong aku masuk. Nggak hanya itu, dia mengambil hp ku dan mengunci mobilnya, kemudian dia berlalu menuju ke arah gerbang.
Dia ngomong sebentar ke tukang ojek, kemudian tukang ojek itu berlalu sambil menganggukkan kepala.
Aku sadar, ada yang salah. Namun, kenapa aku tak bisa menyembunyikannya. Aku nggak tahu lagi harus berkata apa jika Andi bertanya.
Dia membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi, tanpa ada kata ia melajukan mobilnya membelah jalanan.
Tidak ada yang mengeluarkan kalimat. Di dalam mobil hanya diduduki dua manusia yang kepalanya sedang rumit. Suara radio atau musik yang terakhir kali aku duduk di sini pun tidak menyala. Wangi dari pengharum mobil saja yang memenuhi isinya.
Aku tahu ini bukan jalan menuju rumahku, tetapi aku tetap diam. Andi nggak mungkin menyakitiku. Walaupun kemungkinan besar, arah ini menuju apartemennya.
Benar saja, setelah 20 menit, kami tiba di basemen apartemen. Dia membuka pintuku tanpa berkata apa pun tangannya meraih tanganku, kemudian masuk lift tanpa melepaskan gandengan.
Tubuhku benar-benar kedinginan, aku juga merasakan perutku yang melilit, entah karena takut atau gugup, rasanya aku ingin lari saja
dari sini. Namun, berkali-kali aku ingin lari, hatiku berkata kalau Andi nggak akan menyakitiku.
Dia memasukkan pin ketika kami berada di unitnya. Dadaku berdegup cepat dia melepaskan gandengannya, sedangkan aku berdiri seperti patung di ruang tamunya.
“Duduk, Ndu,” ucapnya sebelum masuk kamar. Nada suaranya datar, dia sepertinya benar-benar marah.
Seperti anak anjing, aku duduk mendengar perintahnya. Aku menggigit bibirku, rasanya kalau aku lari sekarang, Andi nggak akan tahu kalau aku kabur duluan.
Dia keluar, dengan kaos putih dan celana training panjang. Kapan dia mandi? Kenapa cepat banget?
Dia menggeser meja, kemudian duduk di bawah. Aku bingung apa yang dia lakukan, tetapi aku tetap diam.
“Jadi, sekarang cerita sama gue?” Dia meraih tanganku dan membawanya ke bibirnya yang basah.
_____________
Kalau kamu ketemu manusia kayak Andi ini, apa yang ingin kamu katakan?
Hai, semoga kamu tetap menyukai karyaku, ya. Doakan tetap konsisten untuk memberikan sedikit hiburan yang mendebarkan ini. Karena aku pun yang nulis juga berdebar saat membuat mereka.
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments