Aku mengeluarkan sepeda kuningku. Hari ini hari Minggu aku terus
digangguin Kak Dami perkara jurusan dan kampus yang akan aku tuju.
"Lo belum mikir mau kuliah di mana? Tinggal berapa bulan lagi, Ndu. Ih parah banget lo?" Kak Dami sudah mencak-mencak karena aku yang ditanya masih belum bisa ngasih jawaban.
"Iya, ini dipikirin kok. Kata mama gue harus cari tahu dulu, Kak. Lo nggak usah marah-marah gitu dong!" Aku tahu aku salah, tetapi harusnya dia nggak begitu marah dibanding ayah sama mama ke aku.
Karena kesal aku ke taman sendirian. Karena kesal pula aku lupa
membawa camilan dan air minum. Entah kenapa aku sangat kesal dengan
diriku sendiri.
Saat aku duduk, tiba-tiba ponselku bergetar. Awalnya aku
mengabaikannya, tetapi lama-lama getaran itu menggangguku.
“Ndu, lo lagi ngapain sih? Lama banget ngangkatnya?” tanya manusia
pengganggu di ujung sana.
“Gue lagi tidur. Kenapa?” Aku benar-benar sangat malas kali ini.
“Lo tidur di pinggir danau bisa-bisa jebur.” Aku terkejut karena dia melihatku.
“Di mana lo?”
Dia mematikan panggilannya, kemudian muncul dari belakang dengan
plastik makanan dan beberapa minuman dingin. Entah dia dari mana dia
tahu aku di sini, tetapi aku bersyukur dia membawakan makanan untukku.
“Lo masih Rindu, kan?” tanyanya sambil mengambil duduk di sebelahku.
“Ya iyalah lo pikir gue dedemit?” Bagaimana bisa dia selalu membawa
kekesalanku bertambah berlipat-lipat padahal baru beberapa detik di
sini.
“Bercanda, Ndu. Sensi amat sih.”
“Lo tahu dari mana gue di sini?”
“Gue nggak sengaja tahu sih, tadinya mau ke sini aja.”
“Emang tempat lo nggak ada ginian? Di sini nggak sebagus tempat lo kayaknya.”
“Di tempat gue nggak ada kemungkin ada lo-nya.”
Aku terdiam setelah mendengar gombalan kusut dari Andi. Aku nggak
peduli bagaimana rasanya entah berdebar apa enggak, sekarang aku mulai
terbiasa dengan apa yang dikatakan Andi. Aku rasa kalau aku baper aku
nggak akan punya teman lagi. Mulai sekarang aku anggap dia sebagai
teman, ya mungkin biasa bagi seorang teman berlaku seperti dia.
Semilir di sini membuatku ingin merebahkan diri dan menutup mata. Aku
mulai melihat ke depan, kemudian mencari tempat yang nyaman untuk
merebahkan punggung.
Aku memejamkan mata, begitu aku rasakan angin yang datang dari
sela-sela ranting, juga cahaya matahari yang menelisik hangat sore
ini.
Aku tidak peduli apa yang dilakukan Andi, entah dia juga menikmati
sore ini tanpa kata dan merasakan sedikit saja rasa damai tanpa
kegelisahan yang akhir-akhir ini mengusikku. Aku juga yakin siapa
pun yang datang ke sini pasti punya alasan sendiri.
“Kemarin ayahku datang ke apartemen.” Aku langsung membuka mataku,
kemudian aku terkejut karena Andi memiringkan tubuhnya menghadapku.
“Lo nggak luka lagi, kan?” tanyaku sedikit khawatir. Mau bagaimana
juga namanya dipukul pasti sakit.
“Dia hanya datang ngasih gue uang, terus pergi lagi.”
Aku mengernyitkan dahi, dia abis mukulin anaknya, tapi dia kasih duit?
Ini benar-benar di luar dugaanku.
“Lo nggak perlu kaget gitu. Dia emang begitu, setelah mukulin gue
biasanya dia bakal datang dan ngasih gue uang. Gue tahu dia masih
sayang sama gue. Walaupun gue nggak tahu apa sebenar-benarnya alasan
dia ngelakuin itu. Makanya dari itu, gue nggak pernah bolehin orang
lain tahu tentang ini. Gue masih yakin dia selalu merasa bersalah atas
apa yang dia lakuin ke gue.”
“Tapi mukulin orang yang nggak ngapa-ngapain itu salah. Kayaknya bokap
lo harus ke konseling deh.”
“Gue nggak mungkin bilang sendiri kalau gue mau dipukulin bisa aja sih.”
Dia ganti membaringkan tubuhnya, kemudian menutup matanya. Dia mungkin
merasakan sedikit lega karena ada aku yang sedikit bisa membuatnya
berbagi cerita. Aku terdiam menunggunya sampai mau bercerita lagi.
“Ndu, lo udah makan emang?” tanyanya tiba-tiba keluar dari topik pembicaraan.
“Kenapa emang?”
“Makanan dari gue tumben banget lo anggurin.”
“Gue tadi sebenarnya lagi nggak enak hati. Gue ke sini buat nenangin pikiran.”
“Kenapa emang?”
“Lo tahu apa kesukaan lo?”
“Gue belum tahu kesukaan gue apa, kayaknya gue ngikut aja apa yang lo pilih.”
“Lo nggak disuruh bokap lo ambil jurusan apa gitu?”
Andi terdiam, mungkin dia juga merasa belum menemukan kesukaannya atau
apa yang dipilihin orang tuanya tidak sesuai dengan apa yang ia suka.
Dia sedikit berpikir, kemudian tertawa sendiri. Kadang aku berpikir
kenapa orang-orang pintar sedikit aneh. Aku hidup dengan satu orang
pintar yang penuh dengan ambisi. Hidupnya seperti sudah terancang dari
awal. Dia tidak akan keluar dari apa yang sudah ia rencanakan.
Misalkan ia gagal, dia masih bisa berada di kemungkinan terbaik.
Bahkan dia bisa menghitung peluang di kehidupannya. Sungguh hidup yang
terencana dan tertata.
“Kalau dipikir selama ini gue hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi
ayah. Gue nggak benar-benar melakukan apa yang benar-benar gue suka.
Gue belajar, membaca dari gue belum sekolah sampai sekarang. Gue hanya
takut kalau gue nggak menuruti apa yang ayah bilang, gue takut dia
marah dan akan mukulin gue kalau dia merasa kecewa. Gue sudah merasa
anak yang dibutuhkan. Seperti, rasanya ayah akan baik-baik saja kalau
gue nggak ada. Gue pengin dilihat, gue pengin dibanggain sebagai
anaknya. Gue pengin hidup normal sebagai anak yang bergantung kepada
orang tuanya. Gue pengin dipeluk pas gue gagal tes, gue pengin makan
satu meja saat sarapan dan makan malam, gue juga pengin sesekali
dimarahi kalau gue salah, atau gue juga pengin diledekin pas gue bawa
cewek pulang. Gue nggak pernah merasakan kenormalan yang bagi
kebanyakan anak menyebalkan. Gue biasa hidup suka-suka gue, gue bisa
hidup seperti apa yang anak-anak lain penginin. Jujur gue capek karena
ayah nggak pernah bisa melihat gue. Ayah hanya melihat gue untuk mukul
dan mukul. Dia akan memberi uang seolah dia merasa bersalah dan
menyesal. Gue masih percaya ada sedikit ruang di dalam sana yang masih
ada buat gue.”
“Pasti berat, ya, Ndi.”
“Gue paling benci ditatap seperti itu. Berhenti bersikap begitu kalau
gue cerita, Ndu. Itu bikin gue lebih menyedihkan.”
Aku mengambil plastik, ada beberapa keripik kentang dan cake. Cake? Aku
membukanya, ada cake coklat beserta lilin kecil. Aku nggak tahu ini
untuk apa, tapi aku merasa ini adalah alasan kenapa dia datang ke
sini. Dia berharap ketemu manusia kayak aku. Atau inilah alasan
ayahnya datang kemarin. Aku berharap bisa menjadi tempatnya untuk
bercerita, agar sedikit berkurang rasa bosan dan lelah yang dia
rasakan.
“Sekarang lo sudah lolos jadi teman gue.” Aku tersenyum dan mengangkat
kue yang dia bawa. “Jadi, happy birthday, teman. Semoga lo sehat dan
terus bahagia.”
“Sama lo, ya.” Dia meniup lilinnya setelah mengatakan itu.
____________
Aiiihhhhh.... gemas kali sama berdua ini. Gimana?
Aku lagi batuk-batuk kemarin seharian berbaring nggak ngapa-ngapain. Tadi disempatin buat buka komputer untuk update Rindu ke kalian semua.
Semoga tetap suka, ya.
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments