Sore setelah hujan reda, aku ingin keluar sebentar mencari camilan. Cukup dengan sepeda mini warna kuning yang aku bawa karena sudah enak saja pakai ini. Aku nggak bisa naik motor juga nggak boleh belajar nyetir sendiri dengan dalih masih sma.
Angin di luar nggak begitu kencang, matahari juga tidak terlalu panas karena habis hujan. Aku tersenyum menikmati setiap ayuhan dan merasakan semilirnya. Aku menikmati sore ini. Aku kadang bingung melihat Kak Dami kalua lagi sedih dia nggak mau makan, sampai nggak tidur atau berat badannya sangat berkurang. Padahal makan justru menambah hormone bahagia, kan?
Di minimarket aku mengambil keranjang, kemudian berjalan menuju lorong snack. Di sini sepertinya aku menemukan sesuatu, seperti coklat, keju, kentang, rumput laut, susu, biscuit, ah tidak lupa mengambil beberapa indomie, karena di rumah indomie tidak pernah ada.
Saat mau ke kasir, ternyata ada Bang Faris yang sudah selesai membayar. Entah apa yang dia bayar, tetapi dia masih menenteng tas belanjanya.
“Bang Faris?” Aku menyapanya senang.
“Rindu? Beli apa?” Dia setengah terkejut karena ada aku di sini.
“Rindu beli camilan biasa, di rumah nggak ada.” Dia tersenyum, yakin kalau memang sudah dihabisin sama aku.
“Abang mau ke mana?” Aku menanyakan lagi setelah kami keluar dari mini market.
“Abang mau pulang, sebenarnya mau mampir ke rumah kamu sebentar.”
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa dia mau datang ke rumah. Kemudian aku melihat kantong plastik yang Bang Faris bawa.
“Mau ngapain, Bang?”
“Ini, bawa ke rumah, ya.”
Aku tersenyum girang, kalau tahu Bang Faris akan membelikan, aku tak akan repot keluar membeli camilan. Aku membawa dua bungkus camilan dan meletakan ke keranjang, sedang Bang Faris pergi menggunakan mobilnya. Aku tak bertanya lagi dia mau ke mana, aku tak peduli, hatiku sudah menghangat karena Bang Faris mau membelikan ini.
Sampai di rumah, aku bersiul senang. Kak Dami yang bersidekap di depan pintu memelototi dan merampas barang belanjaanku.
“Kak! Apaan sih?” Aku setengah marah karena kedua plastik dia bawa masuk ke dalam kamar. Setelah beberapa menit, ia mengembalikan satu kantong yang belanjaanku, sedangkan dari Bang Faris dia sembunyikan.
“Yang tadi dari Faris kan?” Sebelum dia benar-benar menutup pintu kamarnya.
“Kak Dami!” Aku menggedor pintu kamarnya berulang kali, tetapi nggak heran kalau pintu itu nggak akan dia buka.
“Kak Dami, awas aja lo, ya. Gue bilangin Bang Faris kalau lo nyolong jajanan gue.”
“Bilang aja gue nggak takut.” Aku tahu perang ini percuma. Namun, aku kesal karena kesenangan ini luruh begitu saja. Ada aja alasan untuk mengambil kebahagiaan kecil karena kegelisahanku kian membukit. Apa kabar Andi, sampai lupa aku mengecek ponsel yang aku pikir dia bakal mengatakan sesuatu.
Kosong, tak ada pesan dari siapa pun sore ini. Tidak hanya itu, aku melihat keluar jendela, dari sini sisa hujan yang membasahi beberapa daun pun sesekali menetes, suara bising anak-anak yang ada di sebelah rumah terdengar, sepertinya mereka sedang bertengkar karena rebutan mainan, atau suara jedor-jedor dari tetangga yang sedang memperbaiki sesuatu.
Di perumahan kecil ini, ada ruang di mana aku bisa merasakan hiruk yang menyenangkan dari sebuah rumah. Namun, apakah aku bisa memberikan sedikit ruang kecil di dalam hatiku untuk mencoba menerima setiap pembicaraan yang akan Andi katakan setiap kami bertemu.
Aku sadar, tidak semua manusia terpilih hidup menjadi seorang Andi, mungkin ada Andi lain di belahan dunia sana yang merasakan perih, atau mungkin lebih parah dari apa yang Andi rasakan.
Aku baru sadar, Andi selalu terlihat bahagia dan senang karena berhasil mengusili, atau membuat keributan kepada guru. Aku benar-benar sesak membayangkan bagaimana dia hidup.
Tidak mudah menyembunyikan berbagai masalah yang menumpuk secara perlahan. Dia sudah bertahan selama itu, apakah aku akan membuatnya menyerah, misalkan iya, bagaimana selanjutnya perasaanku.
Tak berapa lama, ponselku berbunyi, sebuah pesan yang aku terkejut karena pesan yang aku terima adalah sebuah gambar dengan mata bengkak dan sebelah pipinya biru.
Aku langsung meneleponnya dan beberapa kali tidak diangkat. Di percobaan kelima barulah suara tawa serak di ujung sana membuatku tambah panik.
“Lo di mana?” Aku menanyakan langsung. Kakiku gemetar sat dia mendenguskan tawa serak.
“Kenapa, Ndu?” Dia menjawab dengan suara tertahan, sepertinya dia sedang menahan sakit.
“Lo di mana, gue bakal ke sana?”
“Sekarang gue nyesel lo harus melihat gue dengan keadaan begini.”
“Lo di mana?” Bukan jawaban yang selanjutnya kudengar, tetapi justru dia menutup panggilan.
Tidak berselang lama, aku bangkit menyambar jaket dan beberapa obat yang ada di luar kamar. Dengan sepeda kuningku, aku menuju ke sebuah apartemen yang ada di daerahku, tidak jauh hanya sekitar 15 menit dari rumah menggunakan sepeda. Aku menuju ke sana dengan mata yang berkaca. Seburuk itukah perlakuan ayahnya? Apa salah Andi sampai menerima pukulan yang begitu menyakitkan?
Apakah seorang anak lahir di dunia ini begitu semembebankan itu? Apakah sebegitu tersiksanya sehingga ingin melenyapkan sebuah nyawa? Apa begitu berat menyayangi dengan tidak menyakiti mereka. Mereka juga manusia yang butuh kasih sayang dari orang-orang terdekatnya, keluarga, orang tua.
Bagaimana bisa seseorang yang nyaris sempurna seperti Andi menerima hal yang semengerikan ini? Bagaimana denganku yang ada mama dan papa yang sangat menyayangiku, walaupun aku bukan jenis Andi atau Kak Dami yang tidak pernah mengecewakan dari segi akademik. Aku yakin mereka sama-sama bukan tipe yang memperlakukan orang tua atau keluarga.
Air mataku terus mengalir, membawa beberapa rasa bersalah dan memohon agar Tuhan mau berbaik hati agar Andi tidak kenapa-kenapa.
Entah kenapa perasaanku kali ini sangat kacau, di jalan aku menangis aku tak bisa menghentikan air mataku. Perjalanan yang aku pikir dekat ini tiba-tiba lebih jauh dari biasanya, perjalanan ke sana memakan banyak waktu yang membuat kakiku seperti sangat berat.
Beberapa orang melihat ke arahku, aku mengerti aneh melihat perempuan kecil menangis di jalan, tetapi ini benar-benar di luar kendaliku. Perasaan itu datang sendiri. Aku bahkan tak mengerti bisa merasakan hal ini.
Saat aku sudah sampai unitnya, aku memastikan kalau ini nomor yang benar dan menekan tombol yang Andi berikan padaku. Tanganku gemetar, beberapa kali aku menekan angka yang salah. Namun, setelah percobaan ketiga aku berhasil membukanya.
Aku berhasil masuk dan menutup mulutku karena terkejut. “Ndi, Andi! Andi … Andi …”
Seketika aku luruh bersama tangis yang tersedu. Untuk pertama kalinya, aku berjanji kepada diriku sendiri kalau aku akan berusaha selalu ada saat manusia ini benar-benar membutuhkanku.
_____
Updatenya dua, iya, biar kamu bisa lebih bahagia pas udah kenalan sama Rindu. Semoga suka, ya.
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Diana Tantri
semangat nulisnya author ❤️❤️
2024-01-18
0