Sesuatu yang Berbeda

Sekarang jam sudah menunjukan pukul 20.13, aku masih di sini menunggu Andi bangun, entah dia pingsan atau memang kelelahan, lalu tertidur. Aku sudah berjanji kalau aku tidak akan pergi saat dia belum bangun.

Saat tertidur seperi ini, aku baru menyadari kalau anak ini memang sedikit tampan dari biasanya, walaupun mukanya sudah babak belur, tetapi aura tampannya masih menyeruak keluar. Aku menggelengkan kepala, kenapa pikiranku malah melanglang buana ke mana-mana.

Karena sudah malam, alarm perutku mulai minta jatahnya, tadi aku memesan makanan karena di sini tidak ada yang bisa dimakan, atau dimasak. Di kulkas bahkan air putih hanya tersisa sebotol saja. Aku juga memesan beberapa makanan ringan, mi instan, dan minuman kaleng.

Aku membuka bungkus nasi padang yang menggugah selera. Ada satu potong daging rendang juga beberapa sayur pendamping yang lain. Mungkin karena bau nasi padang, Andi mengerang. Aku yang tadinya di meja sebelahnya segera mendatangi tempat tidur.

“Lo udah bangun?” Dia mencari suaraku, kemudian tersenyum seolah tidak terjadi apa pun.

“Lo masih di sini?” Aku memutar bola mata kesal.

“Lo pikir gue memedi?” Semakin aku kesal, dia semakin lebar ketawanya, syukurlah, seenggaknya aku bisa segera pulang. “Makan, ya, gue beli nasi padang.”

Dia mengangguk dan berusaha untuk bangun. Walaupun sesekali meringis dia juga bisa bangun dan mengambil kursi untuk duduk.

“Kayaknya ini pertama kali gue makan ada temanya di sini.” Dia membuka bungkus nasi dan tersenyum karena ada ayam bakar di sana. “Lo tahu aja kalau gue suka ayam bakar padang.” Dia tersenyum dan menyendokkan satu suapan ke mulutnya. “Enak banget, Ndu. Makasih, ya.” Dia makan kayak nggak pernah makan berhari-hari.

“Lo tinggal sendiri?” Aku bertanya di sela-sela makannya.

“Kayak yang lo lihat aja gimana?”

“Lo nggak ada duit buat belanja?” Aku tahu dia anak orang kaya, tetapi aku juga sangsi dia dikasih uang karena dia sering dipukuli.

Dia membuka dompetnya memberikan aku sebuah atm berwarna gold, kemudian memberikan aku hp-nya.

“Pinya 207513 masuknya 23894TRK. Kalau lo nggak inget entar gue wa.” Dia dengan mudah memberikan itu semua ke aku, bahkan aku tak peduli.

“Lo gila? Kalau gue jahat gimana. Lo pikir gue mau minta duit lo, gue Cuma ngerasa aneh aja. Apart lo bagus, tetapi kulkas aja nggak ada isinya, plastik laundry aja masih utuh, gue sangsi lo mAndi tiap hari.”

Dia masih asik tertawa sambil memakan nasi padangnya. Entah apa yang dia pikir, tetapi aku rasa apa yang aku katakan benar adanya.

“Gue tinggal sendiri di sini, Ndu. Nggak ada mbak di sini. Nyokap gue nggak ada, ada bapak aja di rumah. Sekarang kakak gue belajar di Amerika. Nah, gue yang jadi sasaran bokap selama ini. Malas isi kulkas nggak ada yang mau datang juga. Dan gue juga nggak ngijinin siapa pun ke sini. Jangan Tanya lo boleh, lo itu pengecualian. Di atm itu cukup kalau Cuma makan sebulan. Lo bisa pakai duit gue buat apa pun yang lo mau.”

“Udahlah, gue balik, ya.” Gue nggak mau lagi mendengar omong kosong yang Andi ucapkan. Selain itu, aku juga nggak mau kena marah karena hari sudah semakin larut.

“Ndu, jangan bilang ini ke siapa-siapa, ya.”

Aku tak menjawabnya, hanya melihat betapa khawatirnya ia jika banyak orang tahu. Aku berbalik, kemudian melambaikan tangan tanpa melihatnya.

Sampai di luar, kakiku gemetar, aku merosot ketakutan. Bagaimana kalau dia akan terluka lebih parah lagi. Beberapa kali aku memikirkanya aku tak akan sanggup melihat wajahnya yang luka lebih dari ini.

“Apa aku lapor polisi aja, ya.” Saat aku mencoba membuka ponsel ternyata ada banyak panggilan tak terjawab, ada Bang Faris, Kak Dami, juga Mama. Mungkin mereka mengkhawatirkanku. Aku akan bergegas pulang, kemudian mengobrolkan ini ke Kak Dami supaya kasus ini selesai. Namun, pesan terakhir yang aku terima membuatku menghela napas semakin keras.

“Gue percaya sama lo, Ndu. Lo nggak akan bicarain ini ke siapa pun termasuk polisi.” Seketika aku misuh-misuh dalam hati.

“Lo mau mati dulu apa gimana, sih?”

**

Kak Dami sudah bersedekap di depan pintu saat aku memasuki gerbang depan. Aku sudah siap kalau dia akan ngomel-ngomel sampai larut. Jujur aku nggak pernah pulang selarut ini sendirian, tetapi kali ini aku nggak akan menyesalinya.

“Dari mana lo?” tanya Kak Dami sambil maju ke depan beberapa langkah.

“Ke rumah temen, Kak.” Aku menjawab tanpa melihat ke arahnya.

“Temen siapa? Kayak punya teman aja. Jujur dari mana lo?”

“Dari rumah teman gue, Kak. Emang gue pernah bohong sama lo?”

Mama yang mendengar nada suaraku yang mulai meninggi segera keluar, ia hanya memelukku, kemudian membawaku masuk ke dalam. Mama memang paling tahu hal semacam ini. Dia nggak akan Tanya sebelum aku benar-benar mau bercerita.

“Rindu mAndi dulu, ya. Sudah makan belum?”

“Udah, Ma. Rindu tadi makan sama teman.”

“Ya, sudah. Kamu masuk ke dalam, ya. Bau.”

Aku berjalan ke kamar, Mama benar, aku harus segera mAndi karena sebelum ke rumah Andi aku memang belum mAndi. Tumben sekali hari ini lebih panjang dari biasanya. Ada cerita yang berbeda yang membuatku sedikit berdebar. Aneh rasanya benar-benar menyembunyikan sebuah rahasia besar sendirian. Biasanya aku akan menceritakan hal-hal yang membuatku gelisah ke orang lain. Namun, kali ini aku nggak bisa begitu. Andi mempercayaiku, aku tidak akan menceritakan ini ke siapa pun.

Aku nggak akan tahu seberapa luka batin yang dia terima. Namun, aku tahu dia pasti sangat menderita sekarang. Ayah yang sangat ia sayangi tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya. Entah karena apa yang ia pun tidak mengetahuinya.

Kehidupan yang kita kesalkan, sesungguhnya kehidupan yang diidam-idamkan banyak orang di luar sana. Begitupun kehidupan yang aku pikir sangat menyenangkan ternyata mengandung luka sedalam itu untuk orang lain.

Rasanya sangat bersyukur karena aku dilahirkan di keluarga yang sangat menyayangiku, mengkhawatirkan aku, dan sesekali memarahiku. Betapa aku bersyukur karena kehidupan yang sering kukeluhkan ini, menjadi impian bagi orang-orang seperti Andi.

Ponselku bergetar lagi, ada satu pesan masuk, kemudian disusul dengan panggilan video dengan menampilkan wajah dengan beberapa tempelan kapas di sana.

“Ndu, lo udah sampai?” ucapnya di seberang sana.

“Udah. Kenapa?” Aku harus menyembunyikan suara serakku karena menangis.

“Gue Cuma memastikan kalau lo nggak lagi nangisin gue.” Sialan dia tahu kalau aku lagi nangis.

_________

Halo, semoga kalian semua sehat dan bahagia, ya.

Part ini aku nulisnya sambil mesam mesem, semoga jantung kalian aman, ya.

Love,

Ah Reum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!