Salah Paham

Pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi. Aku berganti pakaian, aku menggunakan celana training warna hitam, kaos abu-abu, tidak lupa

memakai sepatu sport buat lari hari ini. aku merasa harus mulai hidup sehat. Atau ini sebuah pelampiasan.

“Ma, aku lari sebentar, ya,” pamitku ke mama yang sudah bangun dan sedang menyiapkan sarapan.

“Okay, hati-hati,” jawab mama tanpa menoleh ke arahku.

Aku keluar, dengan topi warna coklat dan memasang headset di telinga. Kualunkan lagu Bruno Mars berharap lebih semangat. Jujur aku jarang olah raga. Aku hanya sering keluar menggunkan sepeda miniku untuk makan di taman atau sekedar melihat orang.

Pagi-pagi begini rasanya udah jarang sekali. Dulu saat Bang Faris belum kuliah aku sering diajaknya keluar walaupun malas. Itu juga yang membuatku tertarik padanya sebelum tahu kakakku yang dia incar selama ini.

Napasku sudah ngos-ngosan padahal baru beberapa meter aku berlari. Aku berhenti, kemudian melanjutkan dengan jalan cepat. Sudah seperti kaum ibu-ibu yang sering berolahraga dengan jalan cepat, aku mengikuti mereka supaya tidak terlalu kentara.

Para mamah itu dengan semangat saling memanggil jeng, dan membahas arisan. Ibu-ibu yang memakai baju pink itu mengatakan kalau anaknya mau kuliah di Melbourne Australia, ibu yang memakai baju biru bilang anaknya minta kuliah di Singapura saja biar dekat.

Aku membuka mulutku terkejut. Bagaimanapun Singapura tetap jauh dibanding UI atau Malang.

Kenapa di antara mereka tidak ada yang mengatakan kalau anaknya kurang bisa mengikuti pelajaran atau bahasa inggrisnya buruk. Yang mereka bicarakan adalah universitas bagus di luar negeri. Keren sekali.

Aku jadi ingat apa yang dikatakan mama, aku harus punya tujuan mulai sekarang. Aku harus tahu mau jadi apa, aku harus paham sama diriku sendiri. Aku harus mengatakan pada diri, kalau aku bisa dan mampu.

Mereka akan mendukungku apa pun keputusanku.

Di saat aku jalan cepat, di kursi taman ada dua anak muda yang sering aku lihat saat aku ke taman ini, mungkin ada di komplek ini juga atau komplek sebelah yang memang datang ke sini untuk berolahraga.

Mereka senyum malu-malu bahkan beberapa kali mencium tangan si gadis. Mereka juga berbagi minum atau buah yang mereka bawa dari rumah, karena menggunakan tempat baperware.

**

Kemarin saat aku sudah tiba di parkiran, tiba-tiba ponselku ketinggalan. Anya yang sudah dijemput sopirnya sudah duluan pulang, sedangkan rumah Ando arahnya berbeda dengan rumahku. Saat aku ingin

memesan ojek, aku baru sadar kalau ponselku ketinggalan.

“Sial!” Aku mengutuk diri sendiri, kenapa harus tertinggal di saat seperti ini?

Mau tidak mau aku harus ke atas untuk mengambil ponsel kalau aku tidak

mau jalan kaki ke rumah.

Aku naik lagi, menekan tombol 24 untuk ke unit Andi. Dadaku sedikit berdebar. Mungkin aku akan menekan tombol untuk masuk ke dalam, juga setelahnya aku akan langsung pulang setelah menerima ponsel.

Tiba di lantai 24, aku langsung ke unit andi, kemudian menekan tombol agar Andi tahu kalau aku datang.

Beberapa kali aku menekan, Andi tidak membukanya, aku mulai gelisah,

ragu kalau-kalau aku membuka sendiri dia akan menganggap tidak

sopan.

Namun, aku tetap menunggu di depan pintu. Saat sekitar 5 menit, aku menekan tombol lagi. Aku pikir dia sedang mandi atau sedang merapikan dapur karena kekacauan kami.

Benar saja, Andi keluar dengan menggunakan pakaian berbeda dengan terakhir kali aku lihat.

“Kenapa, Ndu?”

“Itu … po—" belum aku meneruskan kalimatku, tanganku ditarik ke dalam. Andi menatapku lama, dadaku berdebar hanya karena tatapannya.

“Kenapa nggak masuk aja? Lo tahu kan pinnya.”

Aku hanya mengangguk, aku tidak mau Andi tahu kalau sekarang suaraku gemetar. Mata Andi belum beralih, aku ingin segera menyudahi sebelum terjadi yang iya iya.

“Ndi, ponsel gue.” Dia tidak menjawab apa pun. Dia juga tidak mengalihkan pandangannya sekalipun.

“Ndi, plis gue mesti pulang.”

Aku masih merengek, berharap dia segera menyudahinya. Aku benar-benar bingung. Apa yang harus kulakukan, aku sedikit merunduk, kemudian keluar dari celah tangannya untuk mengambil ponsel yang ada di meja.

“Ini dia.”

Sebelum aku berbalik, Andi melingkarkan tangannya di pinggangku, dia hanya diam, hanya hangat napasnya yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Ndi, lepasin,” ucapku lirih.

“Gue rindu.” Hanya dua kata yang terlontar, tetapi tetap saja ini tidak benar.

Aku berbalik, melepaskan pelukannya, kemudian mataku bergantian menatapnya. Aku harus mempertegas apakah ini semua.

“Sebenarnya lo lagi ngapain sih?”

“Gue kangen lo, Ndu.”

“Kenapa lo kangen gue?”

Dia diam. Kali ini dia menunduk, dia tidak lagi menatapku. Dia menghela napasnya lirih.

“Kita teman, kan? Nggak ada yang lebih dari itu kan? Gue bisa kapan aja lo cerita ke gue. Lo bisa hubungin gue kapan aja. Fine! Tapi Cuma teman kan? Bukan hal lain. Kayaknya akhir-akhir ini lo udah bikin gue bingung. Lo nggak sadar, tapi gue manusia. Gue punya perasaan kayak banyak teman wanita lo yang sukses bikin mereka baper. Sayangnya gue

bukan mereka. Kalau lo mau bikin gue baper, nggak gini caranya. Lo nempel ke semua cewek, lo anggep semua cewek itu sama, tapi gue nggak. Kita teman. Titik. Kalau lo belum berani merubah sikap lo, gue nggak

akan datang lagi kalaupun lo minta.”

Aku memasukkan ponselku ke dalam saku, kemudian memakai sepatuku dan keluar dari unit Andi.

Aku mendengar Andi berusaha mencegahku. Namun, aku tak mau lagi dianggap sama dengan cewek yang lain.

Aku sudah muak dengan apa yang dia lakukan. Walaupun aku mulai terbawa

perasaan, tetapi aku cukup kuat untuk tidak menghubungi dia terlebih dahulu. Aku cukup kuat untuk tidak datang kalau dia minta.

Kami berteman belum lama, aku pun tidak mau terlalu akrab dengan siapa pun. Hal seperti ini yang membuatku salah paham adalah hal yang menyebalkan.

**

Aku terengah-engah ternyata satu jam jalan cepat lumayan menyita energy. Aku memutuskan untuk berhenti dan meminum air yang aku bawa dari rumah.

Aku duduk di rerumputan tepat di pinggir danau. Entah apa sekarang. Saat aku nanti ketemu Andi, pasti akan sangat canggung. Tersirat penyesalan di sudut hatiku. Namun, aku berpikir lagi, kalau seorang teman harusnya tidak boleh melakukan itu.

Seharusnya seorang teman hanya harus ada saat dibutuhkan bukan berpelukan, bilang rindu, atau berdebar hanya karena hal-hal kecil.

Hubungan pertemananku dengan Andi, membuatku sadar kalau ini sudah tidak sehat. aku menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak memikirkan hal seperti ini lagi.

__________

Halo, apa kabar? di sini hujan, tempatmu hujan juga nggak? semoga banyak berkah yang berlimpah ya.

love,

Ah Reum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!