Warung Mie Ayam

Sejak pagi kelas sudah ramai. Teman-temanku sangat bersemangat karena

aka nada field trip ke Bogor. Nggak menginap, tetapi mereka sangat

senang karena melewatkan pelajaran. Apa yang menyenangkan dengan

kunjungan seperti ini? Aku hanya bisa memangku tangan melihat mereka

akan ke mall untuk membeli baju baru.

Anya juga ikutan bersemangat karena dia sudah janjian dengan Bela dan

Gendis untuk ke BXC sepulang sekolah. Mereka akan membeli sepatu dan

atasan untuk dipakai besok.

Anya datang menghampiriku, dengan bersemangat dia mengajakku ikut

bergabung, tetapi aku menolak karena sudah ada banyak baju yang bisa

dipakai besok.

“Ayolah, Ndu. Kapan lagi ya kan? Kita udah kelas 3 gimana, mau, ya.”

“Gue mau belajar. Kakak gue bakal ngomel kalau dia tahu gue ke mall.”

Ada banyak alasan yang bisa aku katakan kepada Anya. Aku memang tidak

menyukai belanja fashion. Aku lebih sering belanja makanan karena aku

sangat suka makan.

“Yah sayang banget lo nggak ikut.”

“Have fun, ya.”

Sebenarnya hari ini aku tidak belajar, aku akan datang ke Pamulang

karena sudah lama aku nggak ke sana. Aku rindu resep ayah yang sangat

enak itu. Aku akan mengajak Kak Dami kalau dia ada di rumah.

Rasanya kelas terakhir ini lebih cepat yang aku kira. Bel sudah

berbunyi, aku akan bersiap pulang. Hari ini rasanya lebih santai

dibAnding biasanya. Karena besok kami ke Bogor, jadi semua terasa

lebih ringan dan menyenangkan.

Aku memang sengaja pulang agak akhir, aku malas harus berjubel karena

gerbang sekolah hanya satu.

Saat kelas sudah kosong aku keluar menuju gerbang. Tidak lama Karena

kelasku hanya berada di lantai dua. Tidak seperti kelas dua atau satu

yang berada di lantai 3 dan 4.

Sekolahku lumayan besar dibAnding sekolah lain, selain bangunan yang

besar, sekolahku punya halaman yang luas. Ada 6 lantai yang yang

isinya kelas, kantor, lab, dan gedung olahraga. Sekolah yang lumayan

elit dibanding sekolah swasta lain.

Saat aku akan keluar, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan

gerbang, kulewati saja. Namun, mobil itu terus mengikuti. Siapa

sebenarnya dia? Karena aku kesal, kau berhenti dengan meletakan

tanganku di pinggang.

“Masuk cepetan!” Dia menurunkan kaca sedikit, kemudian menutupnya lagi.

“Orang gila! Lo nggak sekolah, tetapi bisa keluyuran di sini?” Aku

mengomel begitu masuk ke dalam mobil.

“Gue bosan di apartemen sendirian, Ndu.” Aku memasang sabuk pengaman

ketika mobilnya ia jalankan pelan.

“Lo udah biasa kan sendirian? Seenggaknya lo bisa istirahat bukan

keluyuran seperti ini.”

“Udahan apa ngomelnya, gue laper nih.”

“Gue nggak mau makan di luar, gue mau ke warung.”

“Warung.”

“Iya, kenapa?”

“Warung mie ayam ayah gue, kenapa?”

“Ya, udah kita makan ke sana. Let’s go!”

“Gue nggak ngajak lo, ya.”

“Ke mana? Warungnya di mana?”

“Jauh, di Pamulang. Jangan ikutan! Gue mau ke sana sama kakak gue.

Lagian bisa salah sangka kalau lo mau ikutan juga.”

“Kenapa, bilang aja gue temen lo. Emang begitu kan?”

“Asal lo tahu, orang rumah itu nggak akan percaya kalau gue punya

teman. Kemarin aja gue kena marah kakak gue karena pulang malam. Apa

kata mama kalau gue bawa lo ke sana.”

“Anggap aja gue pembeli, ya, nggak? Gue malah nggak tahu kalau keluarga

lo punya bisnis mie ayam.”

“Nggak sehebat keluarga lo, hanya warung kecil kok.”

Kemudian aku hanya diam, melihat banyak warung yang juga yang kami

lewati, warung mie ayam memang kelihatan sederhana. Namun, dengan itu

kami semua hidup nyaman. Aku harus banyak bersyukur karena hidupku

adalah yang terbaik untukku.

Beberapa kali aku melempar pertanyaan terkait kejadian kemarin. Namun,

yang Andi lakukan hanya diam, seperti tidak ingin aku mengetahui

banyak hal tentangnya.

Perjalanan sekitar 25 menit ternyata lebih cepat karena sedang tidak

macet. Biasanya di jam jam ini di sini sangat padat bahkan tidak

bergerak.

“Warungnya ramai banget, Ndu. Pasti enak.”

“Kalau nggak enak, nggak dijual. Yuk!”

Aku masuk duluan, Andi datang belakangan. Dia memilih tempat duduk

yang kosong walaupun sulit. Harus mepet-mepet juga dengan pengunjung

lain. Mungkin dia nggak akan nyaman karena tempat ini bukan restoran

yang mungkin biasa dia kunjungi.

“Bang, ayah lagi nggak di sini, ya?” tanyaku kepada Bang Alim karyawan ayah.

“Nggak, Ndu. Tapi ada mama kok, dia lagi salat sebentar.”

“Kalau gitu, Rindu mau bakso special, mie ayam special, sama mie yamin

special. Es teh 2, es jeruk 1.”

Dia kelihatan terkejut karena nggak biasanya aku makan sebanyak ini.

Aku menunggu di kasir, menggantikan Bang Alim selama mama salat.

Beberapa kali Andi melihatku, tetapi aku abaikan saja karena memang

begini kehidupanku sehari-hari.

“Ndu, sama siapa ke sini?” Mama yang sudah selesai salat menghampiriku

dan duduk di singgasananya.

“Ma, Rindu bawa teman ke sini. Tapi jangan ditanyain macam-macam ya,

Ma.” Aku sudah berpesan biar Mama tidak bertanya kenapa muka Andi

bonyok.

“Teman?”

Mama ternyata masih nggak percaya kalau aku punya teman dan membawanya

ke warung. Karena Bang Alim sudah datang aku mengambil nampan yang

tersisa dan membawanya ke meja Andi.

“Makasih, ya, Bang.” Aku ikutan duduk dan memberikan nampanya ke Bang Alim.

“Banyak banget, Ndu. Lo abis segini?”

“Kata lo belum makan, karena gue nggak tahu lo sukanya apa ya udah gue

pesenin semua. Terserah lo mau yang mana.” Dia mengambil mie ayam dan

mengambil beberapa butir bakso dan memindahkan ke mangkuknya.

Kesukaanku adalah mie yamin. Aku bersyukur Andi nggak memilih mie Yamin yang tujuannya emang bukan buat dia.

“Gimana? Enak, nggak?” tanyaku setelah Andi memasukan suapan pertamanya.

“Enak, Ndu. Kenapa nggak dari dulu gue tahu ada warung mie seenak ini.”

“Nggak usah lebay lo. Nggak usah bayar ke kasir entar, kenalan aja

sama mama gue. Itu yang ada di kasir.”

“Gue udah lihat tadi. Nyokap lo masih cakep banget, Ndu.”

Aku melanjutkan makanku tanpa menjawab perkataan Andi. Aku tahu ibunya

sudah meninggal, tetapi tidak seharusnya aku mengatakan hal yanag

membuatnya lebih terluka lagi. Seenggaknya tidak sekarang saat

bersamaku.

Emang lebih rumit yang kalian kira, kalau Andi ibunya sudah meninggal,

yang ada di rumahnya itu ibu tiri. Iya, serumit itu. Sekarang yang

galak bukanlah ibu tiri, tetapi malah orang yang harusnya sayang

banget sama dia.

Mempunyai orang tua yang masih komplit adalah berkah dan anugerah. Aku

tidak bisa berpikir kalau mama ayah tidak ada lagi di sampingku. Aku

dan Kak Dami mungkin sengsara karena tidak ada lagi tempat kami pulang

untuk bercerita.

Selama mereka ada, meskipun sering aku mendapatkan marah, tetapi aku

yakin mereka sangat menyayangi aku lebih dari diri mereka sendiri.

Mereka tidak ingin aku terluka karena mereka sudah hidup lebih dulu

dari pada anaknya.

________

Halo apa kabarnya? Kalian sehat? Tetap jaga kesehatannya, ya. Kalau udah sakit nggak enak banget.

Gimana, selama Rindu nggak hadir, kamu tetap ada yang nemenin kan? Hatimu pasti baik, aku udah do'ain supaya Tuhan baik-baikin kalian.

Love,

Ah Reum

Terpopuler

Comments

Big Boss

Big Boss

tetanggaku juga ada yang punya warung bakso duitnya milyaran.

2023-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!