Setelah kalimat panjang yang aku lontarkan malam itu, aku dan Andi tidak ada komunikasi lagi. Walaupun kami satu kelas, tetapi aku tidak lagi mengobrol panjang atau mengobrol via telepon. Aku juga tidak memberikan kesempatan untuk banyak orang untuk mengetahui sebenarnya apa yang terjadi. Ando sempat memancingku kenapa tidak ada lagi keributan yang terjadi. Namun, aku tak mengatakan apa pun.
Sekarang aku fokus pada ujian masuk universitas. Aku sudah memantapkan
diri akan mengambil apa. Aku akan belajar keras untuk itu.
Pagi aku akan berolahraga selama sejam, kemudian mandi dan sarapan.
Aku akan membaca banyak buku ketika tiba di rumah. Saat di sekolah aku akan ke perpustakaan di istirahat pertama dan ke kantin saat aku lapar.
Aku menikmati itu untuk saat ini. sampai kelulusan nanti hanya itu yang akan aku lakukan. Seenggaknya aku akan jadi anak baik untuk mama.
Tiba hari kelulusan tiba, ujian yang menguras energy dan waktu telah aku dan teman-teman lewati. Hari yang menjadi ketakutan kami selama tiga tahun di SMA. Hari di mana kami akan mulai menjadi dewasa muda.
Saat itu aku sedang menunggu mama yang masih di dalam, karena acara belum selesai. Aku duduk di meja depan kantin, karena di dalam ramai, aku memilih untuk duduk di luar. Dengan sepiring batagor dan es teh
manis, aku duduk tenang sambil menonton drama di ponsel.
Drama yang mengisahkan satu keluarga besar dengan tiga anak dan masa lalunya. Anak yang semuanya perempuan. Mulai dari tidak keberdayaannya anak pertama yang laki-laki sampai anak ketiganya yang kurang
beruntung. Mereka seperti bahagia saat bersama. Namun, terlalu terluka saat sendiri.
Tiba-tiba ada yang mengalihkan pandanganku dari garpu batagor. Sebuah uluran tangan yang aku tidak asing di sana, di depanku. Aku mau tak mau mendongak.
“Andi,” ucapku samar.
“Selamat, ya. Akhirnya kita lulus bareng.” Aku menerima uluran tangannya. Hampir aku tumpahkan semua rindu yang kutahan selama enam bulan ini.
“Terima kasih. Lo juga.” Dia melepaskan tautan kami, kemudian sedikit menunduk.
“Terima kasih,” balasnya kemudian.
Ada sedikit sesal karena aku tidak lagi menjadi temannya. Ada sedikit luka yang kemudian memerih saat tersiram garam. Begitu pula dengan sikap kami yang semakin terasa melukai satu sama lain.
“Jadi kuliah apa?” tanyanya kemudian.
“Bisnis.” Tak ada lagi yang bisa kukatakan. Meskipun aku sudah terluka. Namun, aku tidak mau untuk kedua kalinya. “Lo kuliah di
mana?”
“Gue … tetep di Jakarta. Gue memilih begitu.”
Ada senang yang tak kentara di sana. Ada luka yang masih terasa. Ada pula sedikit harapan untuk kemungkinan bertemu tanpa jarak yang begitu berarti.
Saat kami terdiam, dia berpamitan duluan karena harus menemui ayahnya. Aku mengangguk mengiyakan. Dia pergi dengan ponsel di tangan. Sampai tidak berapa lama aku juga menerima panggilan.
“Ndu, mama udah di parkiran,” ucap mama di seberang telepon.
Segera aku menghabiskan batagor yang tersisa dan membuang bungkus es yang sudah habis. Aku berjalan ringan ke arah parkiran. Kalau dari tempatku berada aku harus melewati lorong kemudian belok kanan. Di antara gedung lab dan gedung multimedia ada space atau jalan pintas menuju parkiran.
Aku akan lewat sana supaya lebih cepat sampai ke parkiran belakang. Namun, saat kakiku akan berbelok, aku melihat anak dengan seragam yang sama tengah berlutut dan menerima tamparan.
Aku hampir memekik kalau saja tidak menyumpal mulutku dengan tangan.
Aku harus mencari cara untuk melepaskan Andi dari ayahnya.
Iya, laki-laki yang tengah berlutut itu Andi. Dia manusia yang baru saja memberiku selamat tengah kesakitan di sana.
“Kamu pikir Papa menyekolahkan kamu hanya untuk main-main? Sia-sia saja Papa memberimu segalanya kalau kamu tidak mau melakukan apa yang Papa minta!”
“Maafin, Andi, Pa. Andi maunya kuliah di sini.”
“Kamu sudah membatalkan semuanya tanpa sepengetahuan Papa. Sebaiknya kamu bersiap, Papa akan mengurus lagi kuliah kamu di Inggris.”
“Tapi, Pa!” Satu tamparan lagi mendarat di pipinya. Aku tidak tahu lagi. Akal sehatku telah mengalahkan gengsi yang selama ini kubangun.
“Kamu mau mela-“
“Andi! Lo ke mana aja sih? Dicari Bu Mega, lo ke sana dulu deh sebentar.” Aku sedikit gemetar.
“Halo, Om. Andinya dicari Bu Mega sebentar katanya.” Ayahnya kemudian masuk ke dalam mobil tanpa membalas ucapanku. Aku menunduk, setelah mobil pergi, kakiku lemas. Aku pura-pura tidak melakukan apa pun. Andi
menatapku, kemudian yang aku lakukan hanya diam dan melihatnya sekilas.
“Lo nggak perlu ke Bu Mega. Gue bohong tadi.” Selanjutnya aku ngeloyor pergi menuju mobil mama yang sedang menungguku di parkiran.
**
Mobil yang kami naiki sudah membelah jalanan. Sebagai rasa bangga dan bahagia, mama ingin membuat pesta kecil-kecilan untuk merayakan kelulusanku besok.
Aku hanya mengiyakan apa yang dikatakan mama, tanpa memedulikan yang lain. Mama terus bercerita karena dia bahagia kalau aku bisa lulus dan diterima di universitas. Walaupun bukan jenis kampus yang bisa
didapatkan dengan mudah oleh Kak Dami. Namun, mama bersyukur aku bisa
menaklukkannya.
Tidak mudah anak sepertiku untuk lulus ujian dan diterima dengan persaingan ketat. Aku juga bersyukur atas itu.
Mama membelokkan mobilnya ke resto cepat saji yang kita lewati kalau pulang ke rumah. Aku turun dan menanyakan mama pengin apa. Aku masuk ke dalam duluan untuk memesan.
Di sini ramai, walaupun masih ada tempat untukku dan mama duduk. Dari tadi aku tidak fokus melakukan apa pun. Apa yang kulihat sendiri membuat hatiku perih. Aku tak habis pikir seperti itulah yang terjadi selama ini.
“Ndu, ada apa?” tanya mama pada akhirnnya. Mungkin mama sadar kalau dari tadi aku hanya diam tanpa menyanggah atau menimpali apa pun.
“Hm,” ucapku tidak tahu lagi apa yang harus aku ceritakan, mulai dari mana, atau janjiku untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun.
“Kenapa? Dari tadi mama perhatiin pikiran kamu nggak di sini.”
“Maafin Rindu, Ma.”
“Kenapa minta maaf?”
“Aku kepikiran sama kucing.”
“Ha? Kucing? Kucing siapa?”
“Ada kucing di sekolah, Ma. kasihan. Dia jarang dikasih makan, kadang dipukul, terus sebentar lagi Rindu nggak di sana. Gimana kalau dia kenapa-napa?”
“Dari kapan kamu suka kucing.”
“Semester lalu.” Aku justru menangis tersedu-sedu saat mengatakan itu.
“Gimana kalau dia terluka lagi, Ma. Gimana kalau dia dipukulin lagi?”
“Kamu boleh bawa pulang, kalau kamu mau.” Mama sedikit bingung, melihat anaknya nangis sedih saat hari kelulusannya.
“Nggak bisa, Ma. Nggak boleh.”
“Kalau gitu, mama mesti ngapain?”
“Kalau Rindu pergi sebentar buat ngelihat kucing itu gimana, Ma?”
“Ha?”
Setelahnya, aku berlari keluar. Aku mencegat taksi di depan, kemudian meminta driver untuk mengantarku ke apartemen Andi.
Untuk kali ini saja, untuk kali ini saja aku akan mengalahkan egoku untuknya. Kucing kesayanganku.
____________
semoga kalian suka, ya.
love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments