Jika anak lain akan bergulat dengan soal dan kunci jawaban, yang kulakukan hanya bengong mengamati mereka. Aku bukannya malas membahas mereka, tetapi aku hanya mengurangi tingkat stressku dengan tidak
membahas mereka. Kapasitas otakku ternyata tidak cukup kuat untuk mencerna beban hitung-hitungan yang terlalu rumit ini.
Aku melihat teman-temanku ada yang frustasi karena cara yang mereka gunakan salah, atau jawaban yang harusnya mereka tulis salah. Aku hanya mendengar mereka melenguh dan beberapa kali mengulang cara untuk menyelesaikannya.
Aku pikir aku salah kelas, dari sekian banyak teman yang ada di sini memang sangat rajin mengerjakan apa pun. Aku hanya berusaha
mengimbangi dan berharap bisa lulus bareng mereka, walaupun nilaiku mepet.
“Ndu, lo bisa bantu gue nggak?” tanya Ando, ketua kelas kami.
“Apaan?” jawabku malas-malasan.
“Bantu gue ke ruang guru ambil buku yang kemarin dikumpulin di meja Bu Mega, ya. Gue mau nyelesaiin ini nih, mumpung Diana mau ngajarin.” Diana adalah siswi peringkat 1 di kelas kami.
“Segabut itu gue, emang. Ya, udah.” Aku beranjak sebelum mengatakan nggak masalah saat Ando mengucapkan terima kasih.
Aku berjalan di lorong yang terbilang sepi karena ini pergantian kelas, tetapi karena yang lain gurunya sudah datang, aku santai saja jalan ke ruang guru.
Ada beberapa kelas yang benar-benar hening, ada yang ribut karena sedang diskusi. Mereka semua mungkin sudah punya tujuan, sedangkan aku masih belum mengerti apa yang aku mau.
Akhir-akhir ini bukannya aku fokus belajar, justru pikiranku terbelah-belah tentang Kak Dami juga tentang Andi.
Harusnya aku sekarang latihan soal seperti teman-temanku, harusnya sekarang aku di perpustakaan dengan buku yang menumpuk, atau membeli buku latihan di toko buku. Bukannya memikirkan Andi sedang apa,
kenapa, atau hal lain yang nggak kuketahui karena dia nggak masuk sekolah.
Aku menghela napas kasar. Berharap hari ini akan segera berakhir, karena mie ayam ayah sangat aku rindukan sekarang.
Aku mengetuk pintu guru, Bu Mega menyuruhku masuk. Dia memintaku menunggu karena ada telepon. Aku duduk di bangku depan sambil melihat ruang guru sekarang sedang sepi.
“Iya, Pak.”
“Oh gitu.”
“Iya, Pak, nanti saya sampaikan ke wali kelasnya, kebetulan beliau sedang ngajar tidak di tempat.”
Telingaku seolah mengerti kalau yang dibicarakan adalah Andi. Tiba-tiba kakiku bergerak tidak nyaman, otakku menanyakan banyak hal. Aku ingin bertanya, tetapi kuurungkan niatku dan bangkit saat Bu Mega
memberikan setumpuk buku dan mengucapkan terima kasih tanpa memberi
tahu aku siapa yang barusan menelepon.
Aku menuju kelas, ketika Ando berlari dari arah berlawanan. Dia mengambil sebagian buku yang aku bawa. Syukurlah dia tahu diri,
sebenarnya berat juga membawa banyak buku.
“Ndu, gue boleh nanya?” tanya Ando tiba-tiba.
“Kenapa? Tumben?” aku menjawab dengan santai.
“Lo tahu Andi ke mana?”
“Kenapa Tanya gue?”
“Ya, lo kan deket sama dia,”
“Gue nggak dekat sama Andi atau siapa pun. Dia Cuma post poto itu kebetulan gue di sana, dan dia lagi olahraga di taman komplek gue.
Jangan Tanya kenapa dia di sana, gue juga nggak tahu.”
“Lo nggak pacaran sama dia?”
“Ya, nggak lah. Boro-boro pacaran, mikirin ujian aja gue pusing. Lo nggak lihat di kelas?”
“Iya, juga sih.” Sialan!
Setelahnya kami berbelok ke kelas, Ando sudah diam tanpa membahas apa pun lagi. Aku berharap aku tidak menjadi pusat perhatian lagi. Walaupun sebenarnya yang mereka ingin tahu Andi, tetap saja saat ini
aku yang sering menjadi target mereka.
Aku melihat Anya sekilas dari depan kelas, dia terlihat biasa saja. Walaupun sedang mainan hp, aku tahu dia baik-baik saja. Tak ada yang membuat dia resah atau sedih. Dia masih bisa tertawa dengan Dea teman
sebangkunya.
Aku berniat menanyakan sesuatu, tetapi aku urungkan. Aku berjalan ke arah mejanya, sebenarnya aku akan memancing dia untuk bercerita.
“Nya, lagi ngapain?” tanyaku duduk di bangku depannya.
“Lagi scroll sosmed, kenapa, Ndu?” Dia mengatakan itu tanpa beralih melihatku.
“Mau makan di luar bareng gue?”
Dia mendongakkan kepalanya, kemudian tersenyum seperti biasa.
“Ayo, ke mana?” dia terlihat antusias. Aku bersyukur dia tidak menunjukkan perubahan apa pun. Masih seperti biasanya saat aku
mengajaknya makan bareng.
“Ikut aja entar. Gue traktir.” Dia bersorak senang. “Gue tunggu di gerbang, ya, pulang sekolah.”
“Okay.” Dia kembali sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku kembali ke mejaku. Mengambil buku untuk pelajaran selanjutnya.
Aku kadang bersyukur terlahir tidak cukup hebat di sekolah. Aku juga bersyukur kadang aku terlalu polos sampai orang mengira aku nggak ngerti apa pun. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah aku hanya mengiyakan mereka tanpa repot memberi tahu mereka kalau aku tahu.
Orang bisa menyembunyikan apa pun yang dia rasa atau sebaliknya. Tidak ada benar atau salah untuk hal ini, karena untuk hal ini yang membenarkan adalah hati.
**
Pukul 15.20 kami tiba di Exchange. Belum terlalu ramai karena banyak orang masih kerja. Mereka belum pulang kantor atau masih ada di perjalanan.
Anya menggandengku ke resto udon. Anya memang suka makanan jepang. Jika mengajaknya makan, dia memang seringnya makan itu-itu saja.
Di sini pelanggannya baru kami. Yang lain mungkin sudah keluar atau memang belum ada pelanggan lain. Setelah selesai memesan, aku melihat banyak ibu muda yang menggandeng anaknya. Karena di dekat resto ini, tempatnya toko roti bread yang disukai anak-anak dan orang dewasa.
Di sini Anya ngobrol ngalor ngidul. Mulai dari belanja online, matematika, bahkan tempat wisata yang akan dikunjunginya saat libur sekolah.
Sampai saat obrolan kami menyinggung tentang keberadaan Andi. Dia ada di mana, bahkan sering sekali Andi tidak hadir, tetapi guru semua bersikap biasa aja. Ada yang aneh kata Anya, tetapi aku hanya terus mendengarkan, sebenarnya apa yang dia ingin bicarakan.
“Lo tahu nggak kalau sekolah kita itu penerima dana terbesar dari yayasan ayahnya Andi.” Aku mengernyitkan dahi, bingung.
“Apa masalahnya? Sah-sah aja, kan?”
“Iya, tapi sikap sekolah ke Andi yang santai begini membuat gue jadi penasaran. Jangan-jangan mereka kena suap ayah Andi. Dengan kata lain, mungkin harusnya Andi dikeluarin kan?”
Aku terkejut karena penjelasan Anya yang teoritis itu. Jujur aku nggak ngerti, kenapa dia berpikiran seperti itu. Atau tujuan dia mengatakan kepadaku. Namun, aku terus mendengarkan ceritanya yang mungkin akan menjadi jawaban obrolan dia di perpustakaan tempo hari.
“Menurut lo gimana?” tanya Anya tiba-tiba.
“Lo tahu, otak gue nggak bisa nyerna sama yang hal begitu-begituan. Mikirin matematika aja gue udah mumet, Nya,” Anya hanya menghela napas sia-sia. Setelahnya pesanan kami datang, kemudian kami memakannya
dengan pikiran kami masing-masing.
Belum aku memikirkan siapa yang datang beberapa hari lalu sebelum aku pulang, sekarang ada hal yang lebih njlimet dibanding itu karena Andi tiba-tiba nggak masuk sekolah. Karena sebelum aku keluar, orang itu udah nggak ada dan nggak masuk ke apartnya. Andi pun tidak mengatakan apa pun.
______________
Selamat pagi, apa kabarnya? Semoga selalu sehat, ya. Aku datang lagi buat cerita untuk nemenin kamu, semoga kamu suka dan tidak membuatmu kesepian, ya.
Meskipun mendung, semoga harimu lebih cerah sekarang.
Love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments