Belajar Kelompok

Bel pulang sudah berbunyi. Anak-anak lain sudah keluar, tinggal aku

duduk sambil melihat lalu lalang anak kelas lain.

Aku juga tidak melihat Anya dan Andi keluar. Entah kapan mereka keluar

aku baru sadar kalau hanya aku yang tertinggal di sini.

Aku mengambil ponselku menekan nama Anya di sana. Beberapa kali,

tetapi tidak diangkat. Setelah beberapa lama aku keluar, lalu ponselku

berbunyi. Ada nama Ando di sana.

“Apaan, Ndo?”

“Lo di mana?” tanya Nando.

“Lorong arah parkiran. Kenapa?”

“Lo ke sini, deh. Lo naik motor bareng gue, ya. Andi udah duluan sama

Anya. Katanya dia kelaparan mau makan dulu.”

“Oke.”

Aku mendengus sebal, anak itu benar-benar nempel kayak perangko. Emang

yang lain enggak lapar. Emang yang punya perut dia doang? Aneh emang.

Rasanya kesal kalau mau kumpul bareng tapi tidak bareng-bareng. Apa

esensinya? Bukannya kelompok itu untuk membangun kerja sama. Kerja

sama sebelah mana kalau kayak gini.

“Ndo, lo lapar, nggak?” tanyaku saat kakiku menginjak parkiran.

“Lapar, lah.”

“Lo mau gue traktir nggak?”

“Caw! Nggak usah lama-lama!” Ando langsung naik motornya dan

memberikan helemnya padaku.

“Lo mau makan apa, Ndo?” tanyaku sebelum dia memuntir gasnya.

“Nasi bakar udah cocok belum jam segini?”

“GO!” teriakku saat motor yang kami kendarai membelah jalanan.

Aku dan Ando sepakat membeli nasi bakar pinggir jalan. Di sini ramai

pengunjung, apalagi kalau jam sore seperti ini. Mahasiswa stan yang

harus hemat pun ke sini karena selain murah juga lumayan besar

dibanding penjual lain.

Ando memakirkan motornya pinggir jalan. Aku masuk duluan dan duduk

lesehan setelah meletakkan tasku, aku berdiri dan mengambil beberapa

lauk sate-satean dan nasi bakar. Tak lupa aku mengambil 2 botol air

mineral untuk minumnya.

Ando kembali, kusuruh dia mengambil apa yang ia pengin, dengan

sebelumnya kukasih uang lembar merah.

Dia duduk di sampingku, membuka nasi bakar yang baunya sudah menggoda

perut. Berbeda denganku, aku memakan sate-satean ku dulu baru main

menu.

“Gue heran sama Andi,” ucapnya tiba-tiba.

“Bentar-bentar godain lo, bentar-bentar nempelin Anya.”

Aku tersedak air liurku sendiri.

“Kenapa gue jadi dibawa-bawa?”

“Aneh aja, padahal kemarin-kemarin gue udah yakin kalau dia suka lo, Ndu.”

“Ngaco! jangan ngomong sembarangan lo, fans fanatic Andi banyak.”

Aku bergidik ngeri saat aku didatangin anak kelas lain gara-gara Andi

post fotoku di sosmed dia.

“Tapi, ya. Lo satu-satunya muka cewek yang ada di IG nya dia loh.”

“Tapi, gue nggak seakrab itu. Lo tahu sendiri kan, nyatanya dia pergi

sama Anya bukan sama gue.”

“Iya, juga sih.”

“Lo jangan ngobrol kayak gini sama orang loh Ndo, gue takut mereka

pada salah paham. Gue nggak ada deket sama Andi. Apalagi sekarang dia

deket sama Anya kan? Lo tahu sendiri Anya teman gue.”

Ando hanya manggut-manggut. Ketua kelas sableng itu menganggak sebodoh

itu, walaupun dia agak sableng tapi dia pintar dan bertanggung jawab.

Apalagi kalau menyangkut tentang nilai. Fyi, semua temanku sangat

kompetitif kalau masalah nilai.

“Ndo, btw emang kita mau belajar di mana?”

“Eh, katanya di apartemen Andi?”

“Ha?” Aku hampir menyemburkan air minumku.

“Kenapa?”

“Nggak.” Kakiku gemetar mengingat terakhir kali aku datang kondisinya

seperti itu. Aku ingin kabur, tetapi hal ini tidak memungkinkan.

Kami tiba di apartemen Andi 20 menit kemudian. Kami harus parkir di

luar karena tamu dan membawa motor. Aku ngeloyor ke dalam dan menekan

tombol padaa lift. Ando menatapku kebingungan. aku pun juga bingung,

tetapi aku abaikan saja. Aku masih sedikit grogi, entah kenapa

pikiranku malah jadi kacau.

Aku menekan tombol 24 dan lift pun naik. Ando masih sibuk dengan

ponselnya. Beberapa kali dia melihatku.

“Kenapa lo?” Aku menyipitkan mata.

“Nggak.” Ando diam tanpa mengatakannya lagi.

“Jangan natap gue lama-lama. Entar lo suka lagi.” Aku cengengesan menatap Ando.

“Gue ragu bisa suka sama lo, Ndu.”

“Sialan!”

Kami tiba di lantai 24. Aku berjalan mendahului Ando, hampir saja aku

memencet nomor rumahnya, segera kurangkan niat itu dan menengok Ando

yang bersender di tembok sambil bersedekap. Matanya melihatku seolah

mencari jawaban.

“Kenapa, Ndo?”

“Gue ragu lo belum pernah ke sini?”

Mampus! Hampir ketahuan. Aku berusaha mengelak dan berusaha

mengalihkan pandangan Ando.

“Gue tadi wa Andi, Ndo. Makanya gue tahu.”

Ando masih menyipitkan matanya, aku pikir dia masih tidak

mempercayaiku. Namun, aku berusaha tidak terintimidasi dan tetap

tenang. Aku melihat Andi dan Anya baru tiba.

Tak sengaja, mata Andi bersibobok denganku. Mata sendu itu sarat akan

kerinduan. Entah aku yang terlalu terbawa suasana atau memang dia

sedang merindukanku, atau bahkan sebaliknya. Entahlah.

“Loh kalian udah di sini?” tanya Anya.

“Tadi Rindu wa gue, makanya gue suruh langsung ke sini.” Dia

mengatakan itu tanpa berlaih sedikit pun dariku. Aku tahu Andi pintar.

Aku hampir roboh karena takut ketahuan kalau aku pernah ke sini.

Andi memasukkan pin, kemudian kami semua masuk. Ando berkali-kali

terkagum dengan semua Interior yang Andi gunakan. Begitu melihat

viewnya Ando langsung semangat untuk mengerjakan tugas di depan kaca

itu. Aku juga senang di sana.

“Orang kaya emang beda, ya?” ucap Ando tiba-tiba.

“Kayak lo nggak aja? Berlagak miskin, miskin beneran baru tau rasa!”

aku menimpali ucapan Ando yang berlebihan, walaupun ada benernya juga.

Andi berdiri, kemudian berjalan ke arah kulkas, kemudian mengambil

beberapa minuman untuk kami. Aku mengeluarkan laptop, begitu juga

Ando. Setelah laptop menyala, kami kemudian membagi tugas.

Anya bertugas mengetik resume, Ando mencari referensi di buku, aku

sendiri mengcompail semua bahan untuk dijadikan satu, Andi mencari

bahan di internet. Kami semua fokus dengan tugas masing-masing.

Saat seperti ini, suara kami hampir tenggelam, matahari sudah mau

terbenam menyisakan warna jingga yang lamat-lamat di langit. Sesekali

aku melihat keluar, langit begitu indah sore ini. Satu kenangan

sebelum masa SMA ini berakhir. Tuhan baik memberiku kesempatan untuk

melihat goresannya. Goresan yang ada di langit juga makhluk yang

sedari tadi menatapku diam-diam.

Ketika mata –kami bertemu, dia akan memengalihkkaan pandangannya ke

laptop atau mengajak Ando berdiskusi sebentar, sedangkan Anya masih

sibuk mencatat kira-kira apa yang murid lain tanyakan atau kemungkinan

guru tanyakan saat kami presentasi nanti.

Kami hampir selesai, Andi bangkit menuju kamarnya. Ternyata dia

mengambil ponsel. Dia memainkan ponselnya sebentar, kemudian bertanya,

apa yang akan kami makan untuk malam ini.

“Pizza berat nggak sih?” tanya Ando sambil mikir. “Soalnya gue tadi

abis ditraktir Rindu makan nasi bakar dekat STAN.”

_________

Btw nasi bakar ini dulu enak banget. Wkwkw

Sehat-sehat ya kalian biar bisa makan enak meskipun makannya sederhana. Oh, ya. Doakan aku segera. pulih ya, biar bisa up cepet.

selamat membaca

Love,

Ah Reum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!