Bersyukur

Sore itu rasanya sedikit aneh. Aku belum merasakan perasaan yang seperti itu ke orang lain. Gombalan yang Andi lontarkan selalu berhasil membuatku berdebar. Padahal sebelumnya aku sudah memutuskan untuk tidak terbawa suasana.

Aku menyeret kursiku di depan jendela. Bukan karena kurang kerjaan, tetapi lebih ke mau lihat hujan. Di luar air tampias dan sedikit dingin. Mama akan marah kalau aku sampai sakit dan izin sekolah.

Menikmati camilan kentang dan susu hangat membuat sore ini begitu nyaman dan bahagia. Mungkin itu perasaan sebelum aku melihat dua manusia yang ada di dalam mobil hitam itu. Kaca jendela yang terbuka di sisi kiri membuatku bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di sana.

“Kak Dami,” gumamku pelan.

Aku terkejut karena selama ini memang bukan aku, tapi Kak Dami. Kilasan demi kilasan langsung muncul begitu melihat mereka berpelukan sebelum turun. Nampak senyum Kak Dami yang merekah cerah ternyata kutemukan jawabannya.

“Sial!” Aku mengumpat lagi. Beberapa kali keanehan Kak Dami yang semakin hari semakin rapi akhir-akhir ini terjawab.

“Jangan-jangan memang dari dulu mereka pacaran, aku aja yang nggak tahu.” Aku meremas plastik snack karena benar-benar terkejut atas fakta ini.

“Apa mama udah tahu, ya? Jangan-jangan Tante Hesti juga udah tahu?” Ada banyak pertanyaan yang ada di kepala.

Kak Dami masuk dengan basah kuyup, dia tersenyum lebar begitu sudah menutup pintu. Dia sedikit terkejut karena melihatku ada di depan jendela.

“Ngapain lo di situ?” Tanpa aku jawab, aku bangkit dan melenggang masuk ke dalam kamar.

Harusnya aku sekarang nangis dan marah sejadi-jadinya, tetapi ternyata kondisiku lebih baik dari apa yang aku lihat. Beberapa kali aku

berpikir untuk sedih, tetapi memang aku nggak sesedih itu. Walaupun sangat kesal karena kebohongan mereka selama ini.

Aku mengambil ponsel sekedar mengecek sosial media, ada Deby yang sedang makan di restoran. Atau Janu yang yang sedang main ps dengan saudaranya. Begitu aku melihat postingan Anya, aku melihat sebuah tas yang nggak asing.

Dia sedang duduk di rerumputan dengan senyum lebar. Di sebelahnya ada tangan milik orang lain, juga tas yang mirip dengan tas Andi.

“Emang Cuma dia yang punya tas yang sama?” gumamku pelan sambil melanjutkan selancarku ke social media.

Aku benar-benar kesal dengan Kak Dami, ada banyak cara untuk dia menemukan seorang kekasih. Namun, aku sangat keberatan karena orang itu harus Bang Faris. Mungkin egoku terkoyak karena ternyata yang berhasil menyentuh hatinya malah Kak Dami.

Aku sudah dekat dengan Tante Hesti, lebih dekat dari Kak Dami. Kami juga sering keluar bersama hanya untuk sekedar makan atau ngobrol biasa. Aku berpikir bahwa ini tidak adil.

Suara ketukan pintu menyadarkan aku, kemudian aku melompat ke kasur dan

menyibakkan selimut sampai kepala.

“Gue masuk, ya!” pinta Kak Dami, kemudian derit pintu menandakan kalau dia sudah masuk ke dalam.

“Bangun, gue tahu lo nggak lagi tidur.” Aku tetap bergeming di bawah selimutku, berusaha mengatur napasku seteratur mungkin seolah aku benar-benar tidur.

“Gue mau bikin mie instan, lo mau nggak?” Aku berkata dalam hati untuk tetap diam saja, mie instan terlalu menggoda. Namun, rasa kecewaku masih lebih besar.

“Lo beneran nggak mau mie instan buatan gue?” Kak Dami masih berusaha untuk tetap membujukku agar aku mau keluar dan makan bersamanya.

Kak Dami memang seperti itu, dia akan mengajakku ngobrol sambil makan

kalau dia merasa bersalah padaku. Namun, kali ini hal itu sepertinya ide buruk. Aku tidak akan goyah, aku masih kesal dan marah dengan apa yang aku lihat barusan.

“Oke.” Dia berjalan kemudian suara pintu tertutup membuatku menyibak selimut, kemudian menghela napas lega. Aku nggak mau diganggu, seenggaknya untuk tiga hari ini aku akan marah ke Kak Dami. Dia

membuatku berpikir bodoh. Aku nggak suka dia berbuat seenaknya begitu. Harusnya dia bilang kalau dia suka Bang Faris bukannya membiarkan pikiranku liar karena berpikir kalau Bang Faris menyukaiku.

***

“Ma, Rindu sarapan sendiri, ya.” Aku berdiri di dekat meja makan dengan menyeret tasku.

“Mama udah selesai, kok. Yuk, sarapan!” Mama membawa nasi goreng dan

meletakkannya di meja. Bau nasi goreng hampir membuatku duduk lagi karena tergiur betapa enaknya masakan mama.

“Nggak, Ma. Rindu makan di sekolah aja.” Aku meraih tangan Mama, kemudian berlalu dari dapur dan bau nasi goreng.

“Mau gue antar?” Tiba-tiba suara Kak Dami terdengar saat aku sampai pintu.

“Nggak usah.” Aku melenggang pergi, aku akan berjalan dulu sedikit ke depan agar tidak melihat Kak Dami saat menunggu ojek online.

Pagi ini harusnya ada ulangan Fisika. Namun, otakku tak akan bekerja walaupun semalaman belajar. Jarang-jarang aku mengingat akan ada ulangan apa, tetapi kali ini aku berusaha belajar walaupun sebenarnya hasilnya sama aja.

Aku duduk di dekat pos satpam menunggu ojek yang aku pesan. Aku tahu

sekarang Kak Dami sedang ngasih tahu mama kalau aku marah. Terserah.

Jarang-jarang aku pagi begini di sini, walaupun di sini rumah kami, tetapi untuk ngobrol dengan satpam aku tidak pernah. Ada satu satpam yang sedari tadi di pos. dia seperti menunggu seseorang. Di sini bukan

perumahan orang-orang kaya raya berlantai 3. Di sini perumahan sederhana, perumahan lama yang ayah beli sebelum ada perumahan mewah yang dihuni artis-artis itu.

Aku nggak habis pikir, di kota yang manusianya berlomba-lomba kemewahan

dan kepunyaan, ada segelintir orang yang bersusah payah hanya untuk makan cukup keluarganya. Hidup memang sungguh tidak adil. Ada yang mati-matian bekerja, tetapi yang didapat tidak seberapa. Ada yang di

rumah baca koran, bisa mempekerjakan banyak orang.

Seorang kakek pagi-pagi mendorong gerobak, menjajakkan dagangannya. Berbagai aksesoris mulai dari jepit rambut dan mainan anak-anak.

Ada seorang ibu pedagang pecel, dia membawa tenggoknya di pinggang, dengan kain panjang dia berharap banyak yang membeli untuk sarapan. Mungkin kalau dagangannya habis hanya cukup untuk makan sehari.

Ada satu manusia berdiri di post satpam sendirian, merenung atas ketidakberdayaan. Itulah aku. Semakin merenung aku semakin banyak bersyukur. Tidak semua orang punya kemudahan. Termasuk kemudahan

untuk makan. Walaupun ayah mama memang bekerja di warung, tapi seenggaknya mereka sudah punya banyak langganan dan lebih mudah menghabiskan dagangan. Mereka juga nggak begitu capek kayak kakek-kakek tadi.

Kakiku bergerak, berjalan mendekati kakek itu. Aku berharap bantuanku ini bisa memudahkannya menghabiskan dagangan.

“Kek, aku mau jepit dong,” ucapku begitu sampai di dekat gerobak.

“Boleh, Neng. Mau yang mana?” Aku memilih jepitan rambut, karet kuncir, sisir, dan beberapa barang serupa.

“Ini aja, Kek.”

Dia mengambil kantong plastik warna bening, kemudian menghitung berapa yang harus aku bayar. Tangannya agak bergetar, kemudian menyerahkannya padaku.

“Ini tiga puluh aja, Neng.” Aku membuka tas. Mengeluarkan uang pas dua puluhan dan sepuluh ribuan. Karena itu uang jajanku kemarin, hari ini aku tidak membawa banyak.

____________

Halo, aku datang lagi. Semoga harimu baik, ya. Meski matahari tidak secerah biasanya. Namun, hangatnya semoga bisa kamu rasakan di dalam sana.

Ada banyak hal kecil yang bisa membuatmu merasa sangat bersyukur banyak-banyak. Kalau harimu sedang nggak baik, semoga sore nanti ada hadiah kecil yang bisa menerbitkan senyummu lagi.

Love,

Ah Reum

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!