“Pak, bisa minta tolong lebih cepat lagi nggak?” tanyaku kepada bapaknya.
“Lagi macet banget, Neng, gimana mau cepat?” Bapak itu menjawab dengan tenang.
“Saya takut kucing saya mati, Pak.”
“Ha?”
Bapak driver itu berubah pikiran, ia berusaha untuk mencari jalan untuk keluar dari kemacetan ini. aku sesenggukan, padahal tidak tahu kenapa aku menangis.
Saat tiba di depan apart, aku mengingat apa masih ada sisa obat di sana. Aku berpikir untuk ke apotek terlebih dulu untuk membeli
beberapa obat. Aku harus berlari beberapa meter untuk menemukan apotek yang masih buka. Beruntung masih ada yang buka di jam segini.
Aku berlari menuju unit apart Andi. Aku menekan tombol 24 untuk sampai sana. Aku buru-buru menekan password khawatir Andi masih berbaring kesakitan.
Namun, saat pintu terbuka, betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang ada di depan mataku.
Andi tengah duduk di sofanya, wajahnya membiru di beberapa bagian, di bibirnya terlihat ada darah yang sedikit keluar.
Namun, bukan itu yang membuatku terkejut. Perempuan yang tengah duduk di sebelahnya sedang menempelkan ice gel di beberapa luka Andi dengan handuk kecil. Sesaat aku merasa bodoh karena menangis di jalanan,
meninggalkan mama dan makanan yang sudah kami pesan. Lagi-lagi, aku terluka atau selalu tertinggal selangkah di belakang Anya.
Ya, dia Anya, yang ada di sana Anya. Aku masih bergeming di depan pintu yang kami lakukan hanya saling tatap untuk beberapa alasan. Aku merasa harus seger pergi.
“Sorry, gue datang buat ngasih ini aja.” Andi diam, Anya berdiri menghampiriku, kemudian mengambil kantong plastik yang aku acungkan.
“Terima kasih ya, Ndu.” Anya tersenyum sarkas. Seperti bukan Anya yang sudah aku kenal sebelumnya.
“Hm, ya, udah, gue balik, ya.” Aku tersenyum, kemudian menghilang di balik pintu.
Aku memegang dadaku, rasanya mulai sekarang tidak lagi kesempatan untuk berbaik hati padanya. Aku menyesal datang ke sini untuk khawatir yang tak terbayar. Saat aku akan melangkah, seseorang mencekal
tanganku.
“Anya,” gumamku pelan.
“Ndu, gue masih nggak ngerti deh ngapain lo ke sini?” Dia meminta penjelasanku.
“Gue … gue … Cuma mau ngasih obat.” Aku melihat Anya begitu marah.
“Kalau lo datang karena merasa lo special, lo salah. Lo itu Cuma teman ngobrolnya doang, Ndu. Lo harusnya sadar, lo itu bukan siapa-siapa dia. Lo harusnya paham kalau lo nggak seharusnya ada di dekat Andi. Lo
nggak punya kaca? Mau gue ambilin kaca? Inget! Mending lo pergi, dan jangan lagi datang ke kehidupan Andi lagi.”
“Nya … gue … gue nggak bermaksud deketin dia.”
“Terus lo ngapain ke sini bawa sampah begini?” Mata Anya hampir keluar, aku benar-benar nggak tahu kalau Anya semengerikan ini. dia melempar plastik obat yang tadi aku bawa, membuat isi di dalamnya tercecer ke mana-mana.
“Gue minta maaf, Nya, kalau gue bikin lo nggak nyaman.”
“Lo emang selalu bikin gue nggak nyaman. Gue muak lihat lo berlagak polos dan berlagak baik di depan anak-anak lain. Gue dengan begonya mau berteman sama lo, lo tuh Cuma nyusahin. Lebih nggak tahu diri lagi
lo berani deketin Andi!”
Anya melangkah pergi, dia meninggalkanku dengan plastik yang isinya sudah keluar. Saat Anya hilang di balik pintu. Aku memunguti
obat-obatan yang tadi sempat aku beli. Aku merasa tidak harus membuang mereka Karena gengsi.
Aku mendongak lagi. Beberapa kali hati kecilku berkata barangkali Andi akan keluar menemuiku. Namun, itu hanya harapan yang tak mungkin jadi kenyataan. Tidak ada lagi kesempatan untuk mengasihani seekor kucing yang terluka. Di sana ada Anya. Harusnya sebelum ke sini aku berpikir
kemungkinan perempuan itu datang.
Aku melangkah keluar menuju lift. Beberapa kali aku berpikir, aku memang yang terlihat bodoh. Aku menertawakan diriku yang kepanikan.
“Harusnya gue ikut mama makan pizza,” gumamku pelan. Aku sendiri di lift, mencintai memang akan sesakit ini kah? Aku sudah dikhianati kakakku sendiri, sekarang sahabatku. Apa tidak ada keberuntungan
untukku masalah percintaan?
Aku tersenyum masam. Mungkin kalau aku mencintai orang lain bukan Andi, aku tidak akan merasakan hal-hal macam ini.
Tiba-tiba ponselku berbunyi, aku mengangkat panggilan dari Ando. Aku nggak tahu manusia ini kenapa hubungin aku padahal biasanya enggak.
“Hm, kenapa?” tanyaku begitu mengusap tombol hijau.
“Lo lagi di mana?”
“Di jalan.”
“Mau ikut gue nggak?”
“Ke mana?”
“Gue mau makan rame-rame di rumah Dewi.”
“Sejak kapan lo deket sama Dewi?”
“Lo mau kagak?”
“Jemput gue di rumah bisa nggak, tapi tungguin gue mau mandi dulu dan sekarang gue lagi di luar.”
“Ya udah gue tunggu di rumah lo.”
Ojek yang aku pesan sudah datang, aku memesannya di lift tadi. Beberapa kali aku melamun dan menyalahkan keteledoran yang sangat mengganggu ego. Lima belas menit kemudian aku sampai di rumah. Mama ada di dapurnya, dia ingin memanaskan makanan barangkali aku belum makan. Namun, aku mencegahnya karena aku akan keluar.
“Di rumah Dewi nggak mungkin nggak ada makanan, Ma. Dia itu seleb makanan mirip food vlogger gitu.”
“Oh, ya. Boleh ya, aku keluar sama Ando. Dia ketua kelasku itu lo, Ma.”
“Oke, tapi jangan malam-malam pulangnya.”
“Terima kasih, Ma.” Aku mencium pipinya sembari meminta maaf karena mama menungguku dan aku malah pergi.
Sebelum aku hilang di balik pintu kamar, mama membuat kesalahan. Menanyakan yang harusnya dia tak tanyakan.
“Gimana kucing yang tadi, Ndu?”
Aku memutar bola mataku lelah, padahal sedetik yang lalu aku sudah melupakan hal itu, dan akan bersenang-senang makan enak.
“Mati!” aku membanting pintu dan segera mandi sebelum Ando datang. Di bawah guyuran shower, di balik mataku yang sembab. Aku merelakan semua air mataku untuk seseorang yang sama sekali tidak memikirkan. Begitu aku masuk universitas, aku akan belajar sambil bersenang-senang.
Mungkin akan ada seseorang yang akan menyukaiku lebih dulu dan membuat
hari-hari merelakan Andi lebih mudah. Mungkin ada yang benar-benar menjadi sahabat tanpa menjadi rubah sehingga pertemanan kami tulus dan menyenangkan.
Bukan seperti Anya yang begitu mengecewakan sampai-sampai aku tidak
mengenalnya sama sekali begitu dia membuka topengnya.
Aku terlalu menikmati mandi, sampai mama mengetuk pintuku dan memberi tahu kalau Ando sudah datang. Kalau dipikir, kapan dia main ke rumah? Kayaknya sebelumnya belum pernah datang, tetapi dia sudah tiba
aja. Ketua kelas memang beda.
Dia bahkan punya database semua anggota kelasnya, padahal selama ini aku pikir dia cuek dan tak pernah memperhatikan, ternyata aslinya lebih baik.
______
Bismillah, do'ain ya banyak yang baca, InsyaAllah malam ini mau ajuin kontrak makanya update sampai 20. thanks a lot semua.
love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments