Dari semalam aku berpikir kenapa Andi melakukan itu, membuatku banyak berpikir tentang hal yang tidak seharusnya kupikir. Andi bukanlah tipe laki-laki yang serius dengan apa yang ia katakan, aku harusnya tahu diri dengan semua yang ia katakan. Hanya saja itu sedikit mengganggu.
*
Sore itu aku dan Andi pulang dengan berjalan kaki sambil menuntun sepeda kami, ternyata Andi tinggal di perkampungan. Namun, rumahnya justru lebih besar dan bagus dari punyaku. Dia memang baik dan ibunya juga ada di rumah tidak bekerja.
Andi mengajakku memakan beberapa makanan di pinggir jalan, dia paling tahu kalua aku memang suka makan dan di kelas pun biasanya dia memberikan beberapa jajan atau makan ringan lain untukku.
Senin pagi rasanya lebih lambat dari biasanya, aku dan beberapa siswa sudah ada di kelas untuk menunggu jam pelajaran pertama tiba. Entahlah, aku sedikit gelisah, aku bingung nantinya harus bersikap bagaimana.
“Ndu!!!” Aku tiba-tiba diseret minggir sama Anya. Aku bingung karena nggak tahu apa yang sedang terjadi, kenapa Anya seheboh itu saat aku baru masuk gerbang.
“Kenapa sih, Nya! Gue baru datang!” Aku setengah kesal karena Anya bersikap sesukanya.
“Cerita dulu sama gue. Biar gue yang selesain masalah lo nanti.”
“Apaan sih, pagi-pagi nggak jelas.”
“Lo kemarin ke mana?”
Aku mengernyitkan dahiku, ke mana, perasaan aku di rumah saja kemarin. “Gue di rumah. Emang ke mana?”
“Nggak usah bohong lo, gue, mungkin seisi sekolah ini tahu lo kemarin ke mana.”
“Mulai ngelantur lo, Nya! Orang gue yang di rumah, ini tubuh gue.”
Anya mulai merogoh ponselnya, kemudian dia membuka beberapa aplikasi pesan dan menyodorkannya tepat di depan mukaku.
“Nih, apaan ini?” Aku melotot menyambar ponsel Anya dengan segera. Itu adalah foto yang diambil Andi saat mengagetkanku dari belakang, entah gimana di postingan itu ramai sekali. Mereka kebanyakan menyayangkan kenapa aku yang ada di sana. Bukan orang yang lebih oke dibanding yang lain.
Aku mulai marah. Andi memang sering menggodaku, tetapi tidak pernah separah ini. Aku benci menjadi pusat perhatian karena dia. Aku benci dikata orang nebeng ketenaran. Aku benci orang lain menambah masalah. Aku ingin tenang dan memikirkan masa depan seperti apa yang akan aku perjuangkan. Bukan gosip murahan yang berkali-kali aku jelaskan mereka pasti tidak akan percaya.
Kenapa harus aku yang jadi bahan postingan Andi? Andi bukan jenis laki-laki yang sering posting wajah orang lain. Dia hanya memosting beberapa pemandangan dan sepeda kesayangannya saja. Aku tidak pernah melihat dia memosting kekasih atau keluarganya. Tiba saat ini, kenapa dia berubah dan perubahan itu ada aku, yang menjadi bahan julidan orang lain.
“Gimana? Lo masih mau ngelak kalau lo nggak deket sama Andi?”
“Gue nggak, Nya.”
“Terus itu apa?”
“Mana gue tahu, itu yang memposting Andi, jadi Tanya dia.”
“Terus gimana lo ada di sana kalau lo nggak ada apa-apanya?”
“Nya, lo dengerin gue. Itu lingkungan perumahan gue, itu taman yang biasa gue ke sana kalau sore. Terus gue ke sana kemarin, tiba-tiba Andi datang, katanya dia nggak tahu kalau ada gue di sana. Lo tahu kan, dia itu iseng banget, terus dia pas itu ngagetin gue terus jepret poto. Ya, gue nggak tahu kalau dia mau upload. Lagian gue sama dia nggak ada apa-apa, teman dekat aja nggak, NyA, apalagi jadian atau apalah itu namanya.”
Anya terdiam. Dia menghela napasnya kasar, kemudian menarikku menuju kelas. Aku sudah tahu kalau setelah Anya katakan tadi, kejadian seperti ini akan terjadi. Semua yang ada d lorong kelas saling berbisik dan melihat aneh aku. Padahal mereka tidak tahu seperti apa kejadiannya atau itu gosip saja atau benar. Mereka tidak peduli dengan hal-hal semacam itu, yang mereka tahu ada bahan gunjingan yang bisa mereka bicarakan.
Aku membanting tasku di meja begitu sampai kelas. Tak peduli beberapa mata yang menatap tidak suka. Aku tak akan peduli. Yang aku tahu sebentar lagi akan ada berita lelayu karena manusia yang membawa masalah akan kubunuh.
“Awas aja lo, Ndi! Kali ini lo keterlaluan!” aku duduk dengan gelisah berharap laki-laki itu cepat datang.
“Ndu!” Tiba-tiba Andi datang dengan membawa tentengan yang berisi roti lapis dan beberapa keripik kentang.
“Lo pikir kita mau piknik?” Aku yang terkejut karena suaraku sendiri agak tinggi dan mengundang tatapan ingin tahu.
“Lah, lo mau piknik, ya udah ayo! Padahal kemarin kan kita udah piknik.” Dengan santainya dia menaik turunkan alisnya menggodaku.
Aku yang terkejut membuat tanganku reflek mencubit lengannya. “Lo bisa diem, nggak?”
“Kenapa sih pagi-pagi udah galak?” Napasku naik turun, aku tahu dia sudah tahu aku akan marah karena ulah dia kemarin.
“Lo pikir ini lucu, ha? Gue diserang sama fans fanatik lo karena mereka pikir lo sama gue pacaran. Ndi, kali ini lo bener-bener keterlaluan.”
Dia diam, tatapannya berubah. Ia meletakan tasnya, kemudian menyimpan makanaN yang dia bawa ke laci mejaku. Dia menarik tanganku dengan kuat dan menyeretku keluar kelas. Ini yang membuatku dilihatin banyak pasang mata. Aku semakin malas berurusan dengan Andi. Saat aku ingin melepasnya, dia semakin kuat memegangnya, tiba di perpustakaan Bu Eka baru membuka pintu.
“Andi, mau ngapain?” tanya Bu Eka. Kenapa bukan aku yang dipanggil, karena Bu Eka pasti nggak tahu siapa aku.
“Mau ambil buku, Bu. Tapi yang tahu Rindu bukunya kayak apa, dia yang terakhir pinjam.” Pintar sekali memang anaknya.
“Oh, gitu. Ya udah ambil!”
Aku ditarik melewati beberapa rak, menuju rak paling pojok di sana. Aku bingung kenapa dia mengajakku ke sini, karena di sini bukan tempatku.
“Lo gila?” Aku bertanya sambil sedikit berbisik.
“Gue nggak suka lo menggunakan nada tinggi terus sama gue, Ndu. Makanya gue ngajak lo ke sini.”
“Gue tahu, lo emang semau lo, Ndi.” Aku sudah malas, dan mau pergi saja dari perpustakaan yang engap karena belum dinyalakan pendingin ruangannya. Namun, Andi mencegahku.
“Duduk dulu, Ndu. Bisa nggak sih lo dengerin gue sekali-kali.” Dia menatapku kecewa seperti malah aku yang bersalah kalau aku memang benar pergi dari sana. Dia memang pintar melakukan hal-hal yang membuatku lemah.
Tiba-tiba mejaku penuh dengan beberapa teman perempuan. Aku tidak mengerti kenapa malah aku target yang mereka tanya padahal yang buat postingan bukan aku, aku hanya terlibat sedikit. Mereka menyebutku dengan sebutan yang bahkan aku saja merinding mendengarnya.
Anya yang membantuku menenangkan mereka dan berakhir kekecewaan karena aku hanya diam saat ditanyai.
“Makasih, ya, Nya. Untung banget lo ada.” Aku menghela napas kasar. Aku memang bukan tippe orang yang mau dikerubuti lama-lama. Sesak.
“Sebenarnya, gue udah heran, kenapa lo sering banget berantem sama Andi. Tapi gue tahan karena gue yakin lo nggak bakalan suka kalau gue tanya tentang masalah ini. Akhirnya gue pendam aja sampai lo mau cerita ke gue. Itu pun kalau lo percaya sama gue.”
Setelah mengatakan itu, Anya pergi dari sana. Sekarang apa yang aku pikirkan adalah perkataan Andi waktu di perpustakaan.
___________
Halo, apa kabarnya hari ini? Semoga hari ini sehat dan bahagia di mana pun langitnya. Jangan lama-lama sedihnya, ya. Kamu juga orang berharga yang berhak bahagia.
love,
Ah Reum
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Big Boss
semangat nulisnya
2023-12-10
0