Mendengar nama itu mengingatkan Liona pada insiden di kafe beberapa waktu lalu, ketika seorang wanita bersama anak perempuannya tidak sengaja menabrak dan mengenalinya sebagai Freni. Meskipun Liona merasa ini tidak masuk akal, namun ia tidak mampu berbuat apa-apa.
"Lalu ... ayahku. Ayah Dery tidak bersalah. Dia ... dia di penjara karena kesalahanku."
"Om Dery menyuruhku untuk membawamu pergi dari negara ini. Namun kupikir berbahaya jika kita muncul di bandara saat ini. Mungkin saja ada yang mengenali kita terutama si Galang itu. Jadi kita akan pergi ke luar kota terlebih dahulu."
"Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ayah meringkuk di penjara sedangkan aku hidup dengan baik."
"Liona. Usahaku dan ayahmu akan sia-sia. Tenang saja, aku akan selalu ada di sampingmu, Li."
Disela perdebatan mereka, ponsel Liona berdering. Di layar menampilkan nomor asing dan Liona tidak bodoh untuk mengangkatnya. Setelah dibiarkannya panggilan itu, sebuah pesan masuk tepat sebelum Liona mengklik blokir.
Tampak sebuah pesan dari nomor tidak dikenal yang berbunyi,
Halo Liona, ini Aku Galang. Maaf pasti kamu sudah tahu latar belakangku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Kita perlu bicara, ini penting. Setidaknya tolong angkat teleponku. ini tentang ayahmu.
Liona menatap nanar pada pesan teks tersebut. Setelah banyak kejutan, Liona merasa semua orang tidak dapat di percaya begitu saja. Ponsel Liona kembali berdering. Kali ini Liona mengangkatnya.
"Ini yang terakhir kali," batin Liona.
terdengar suara panik dari ujung telepon, "Halo. Liona kamu dimana? Aku memiliki sesuatu yang perlu kubicarakan denganmu. Mari kita bertemu."
"Sudahlah, Kak. tidak perlu menipuku untuk bertemu jika pada akhirnya kamu ingin menangkapku juga."
"Apa maksudmu, Li? tapi itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, aku baru saja bertemu pak Dery, dan aku mengetahui sesuatu yang penting. Aku tidak bisa menjelaskannya melalui telepon. Tapi yang pasti, untuk saat ini kamu jangan bertemu dengan Rachmi," jelas Galang menggebu.
"Kenapa lagi? Apa kamu ingin menipuku lagi, Kak?" Liona melirik Rachmi yang masih fokus menyetir. "Aku sedang bersama Rachmi."
"LIONA, APA KAU TAU BAHWA RACHMI-"
Rachmi meraih paksa ponsel Liona hingga terjatuh.
"Kamu gimana sih. Bisa saja dia melacak kita," jelas Rachmi yang tampak gugup.
Liona menyadari keanehan Rachmi. Lalu berkata, "Asap itu gak bisa di genggam, Ra. Sama seperti sebuah rahasia yang bagaimanapun kita menghindari dan menyembunyikannya, pasti akan terbongkar juga."
"Jika aku memang pelaku akun fake itu, darimana aku mendapat foto-foto Airin dan mike? Tidak mungkin aku pergi kesana secara pribadi. Jika memang iya, tidak mungkin tidak ada yang curiga selama ini." ujar Liona lagi.
"Aku takut kita tidak sempat lagi membicarakan itu, Li." jawab Rachmi sambil tersenyum aneh.
Liona mengerutkan dahi, "Apa yang akan kamu lakukan, Ra. Jangan macam-macam!" seru Liona.
"Mari kita buat rahasia ini tidak bisa dibongkar untuk selamanya." Rachmi berkata dengan ambigu dan menambah laju kecepatan mobilnya.
"Rachmi ... apa kau g*la. Stop ... berhenti, Ra."
Suasana jalan raya lumayan sepi. Hanya ada beberapa mobil yang langsung berhenti ketika menyaksikan sebuah mobil lain dengan dua orang perempuan di dalamnya men**brak pembatas dan terjun bebas ke dalam jurang.
Liona merasakan kelopak matanya begitu berat untuk terbuka. Suara sirine polisi terdengar jauh di atas sana. Kepulan asap mulai memenuhi penciumannya. Tubuhnya terjepit kursi pengemudi dan setir. Ia memaksakan diri untuk menoleh ke kursi sebelahnya yang kosong. Nafas Liona sesak seakan ajal akan menjemput dalam beberapa detik lagi dan matanya terpejam dengan darah membasahi sekujur tubuh.
Sementara itu, Galang sedang panik mendengar pernyataan Liona. Tak dapat dipungkiri bahwa ada perasaan khawatir dalam dirinya, mengingat Liona adalah cinta pertamanya dulu hingga kini.
"Gimana, Bro? apa kamu sudah dapat lokasinya?" ujar Galang pada seorang pria yang tengah sibuk mengutak-atik keyboard komputer.
"Sebentar lagi," jawabnya yang masih fokus menghadap monitor, "Nah dapat. Ini dia," jelas pria itu sembari memperlihatkan titik sebuah lokasi.
"Makasih, Bro." Galang menyambar jaketnya dan bergegas melajukan kendaraan menuju lokasi tersebut.
"tsk tsk ... ni orang gak berubah dari dulu. Masih aja ngejar orang yang bahkan gak tau kalo lagi disukai," gumam pria itu lagi.
Pria itu berjalan menuju meja kopi sembari memandang langit yang tampak mendung dari dinding kaca lantai 2 sebuah gedung tua. Gedung yang dindingnya sudah hampir mengelupas itu tampak sempit dengan berkas-berkas yang semrawut. Dan di dinding atas meja kerja tampak terpajang tulisan "Agen Investigasi Swasta Tiga".
Jalanan tampak sesak di area yang biasanya lenggang. Galang tampak kesulitan menerobos kemacetan. Suara sirine polisi menggelora dari arah depan. Galang turun dan berlari ke arah sumber suara. Hatinya berdegup tak karuan. Benar saja, sesampainya di depan sudah terpasang garis polisi di tepi sebuah jurang. Masih ada sisa-sisa asap yang mengepul. Galang ditahan saat akan masuk ke tkp.
Sebuah mobil yang di kenalnya tampak hancur tak karuan di bawah sana. Sedangkan menurut percakapan orang-orang, korban yang merupakan seorang perempuan sudah dilarikan ke rumah sakit terdekat dan satu orang lagi belum ditemukan. Karena menurut saksi mata, sebelum kejadian di dalam mobil harusnya ada dua orang perempuan.
"Sh*tt ... aku harap kamu baik-baik saja, Li," gumam Galang yang bergegas menuju kendaraannya dan memutar arah dengan tergesa.
***
Suasana rumah sakit tampak dingin sore hari ini. Galang tampak duduk di depan ruang ICU. Sedangkan yang terbaring tak sadarkan diri di dalam adalah perempuan yang sedari tadi di khawatirkannya.
"Maaf, Li. Aku terlambat. Aku memang bodoh," batinnya menyalahkan diri sendiri. Seandainya Galang selangkah lebih cepat, mungkin saja kemalangan ini tidak akan terjadi.
Drrtt ... Drrtt ...
Dering ponsel menginterupsi Galang dari lamunannya. Di layar tampak sebuah nomor asing. Galang tahu siapa pemilik nomor ini, itu adalah pamannya, ayah Airin. Namun sejak dulu hubungan antara Galang dan keluarga Airin memang tidak baik. Mereka bahkan hampir tidak pernah berhubungan baik melalui virtual ataupun secara langsung.
Dan yang tidak terduga, hal ini malah digunakan Rachmi untuk merenggangkan hubungan Galang dan Liona.
Konflik antara Keluarga Galang dan Airin terjadi sejak pembagian harta warisan kakek Galang. Ayah Galang adalah adik kandung dari Ayah Airin, namun kakek Galang malah mewariskan banyak hal kepada Ayah Galang. Hal ini membuat Ayah Airin merasa tidak adil karena sebagai kakak dia hanya mendapat sedikit bagian. Pembagian harta ini juga bukan tanpa alasan. Kakek Galang sudah muak dengan prilaku ayah Airin yang urakan dan melakukan hal-hal di luar batas moral keluarga.
Namun hal ini malah menimbulkan petaka bagi keluarga Galang. Ayah Airin mulai membabi buta menyerang bisnis dan usaha yang dijalankan ayah Galang. Bahkan ambang batas kesabaran ayah Galang habis kala ayah Airin mengatur rencana pengerusakan area gedung perusahaan hingga tanpa sengaja menyebabkan Ibu Galang yang saat itu tengah mengandung calon adik Galang mengalami keguguran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments