Liona terpaksa mengikuti Rachmi yang terus menggenggam lengannya. Rachmi terus mengatakan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sejujurnya ada semacam keraguan dalam hati Liona saat ini. Namun apalah daya, semuanya telah berantakan. Jika memang kecurigaannya benar, paling tidak Liona hanya akan mati atau terluka saja. Ini tidak sebanding dengan pengorbanan Ayah Dery.
Rachmi membawa Liona ke kamar Liona sendiri. Lalu menatap dalam-dalam kepada Liona seolah-olah ingin membaca pikirannya.
"Li ... sudah berapa lama kita saling mengenal?" tanya Rachmi kemudian. "11 tahun, Li. 11 tahun," ujarnya lagi tanpa menunggu jawaban Liona.
"Iya lalu?"
"Kapan aku gak pernah ngertiin kamu? Apa yang gak aku tahu tentang kamu, Li? Aku tahu semua tentang kamu dan mungkin sesuatu yang bahkan diri kamu sendiri gak tahu," sambung Rachmi.
"Gak ada yang lebih mengenal aku kecuali diriku sendiri, Ra. Jangan berlagak seolah-olah kamu tau semua tentang aku," kilah Liona.
"Ya. Kamu mungkin benar. Itu karena kamu misterius, Li. Kamu selalu seperti ini sejak dulu. Aku belum pernah bilang kan kalau kamu itu terkadang menakutkan?" Rachmi tertawa mengejek diri sendiri, "Tapi apa aku pernah sedikitpun meragukan kamu? kenapa kamu bisa meragukan aku, Li? Kenapa?"
"Jadi ini masih seputar foto-foto tadi ya. Kenapa? Kamu tinggal jelaskan semuanya. Jika memang kamu tidak bersalah, kamu tidak perlu berbelit-belit."
Sorot mata Rachmi nampak kentara sekali bahwa ia sedang kecewa. Didudukkannya dirinya sendiri ke ranjang empuk milik Liona.
"Jika kuberi tahu yang sebenarnya, apakah kamu akan baik-baik saja, Li? Apa kamu akan dapat menerima dan menanggung semua ini?" tanya Rachmi gugup sembari memijit-mijit telapak tangannya.
Liona memegang kedua bahu Rachmi dan berkata dengan yakin, "Beritahu aku, Ra. Aku siap."
"Baiklah. Tapi aku harus memulainya darimana? Aku ... aku juga bingung. Kamu ... mungkin kamu bisa menanyakan hal yang ingin kamu tau duluan, Li."
Mencari posisi nyaman di sebelah Rachmi, Liona mengambil nafas dalam-dalam. Mungkin setelah ini ia akan mendengar sesuatu yang mengejutkan. Jadi ia berusaha menenangkan diri.
"Aku selalu bingung tentang kematian ayah kandungku. Aku memang mengingat peristiwa kelam kematian Ibuku, namun untuk ayah ... aku tidak bisa mengingatnya. Kenapa saat itu aku tidak menyadari kematian ayahku?" tanya Liona penuh rasa penasaran.
"Dari cerita yang ku dengar dari om Dery, kamu sempat mengalami shock berat hingga berada dalam kondisi koma selasa tiga hari, Li. Dokter mendiagnosis kamu mengalami hilang ingatan sebagian karena trauma akan peristiwa tragis itu. Jadi wajar saja kamu tidak mengingat kejadian kala itu secara detail."
Liona mengagguk seraya mendengarkan, "Tapi, Ra. Apakah kamu begitu dekat dengan ayah Dery? Kenapa?"
"Ini ... ini semua terkait dengan masa lalu yang kamu lupakan, Li. Aku ingin menceritakannya, tapi aku khawatir kamu ..."
"Aku baik-baik saja, Ra. Tolong katakan semuanya. aku mohon,"
"Sebelum itu, apakah om Dery pernah menceritakan masa lalu ini kepadamu, Li?"
Liona mengangguk, "Ya, saat kejadian penculikan Mike di rumahku saat itu. Ayah menceritakan semuanya. Ayah bilang bahwa kedua orangtuaku mengalami kecelakaan saat pulang dari berbelanja."
Rachmi tampak menghela nafas kasar, "Setelah mendengar bahwa om Dery mengatakan seperti itu, aku jadi ragu untuk mengatakan yang sebenarnya, Li. Atau memang seperti ini yang terbaik untuk ka_"
"TIDAK," potong Liona. "Katakan yang sebenarnya, Ra. Apakah ayahku berbohong? Dia tidak mengatakan cerita yang sebenarnya, ya?"
"Tapi kamu harus janji, setelah ku ceritakan semua. Kamu harus ikut aku pergi dari sini. Dan putus kontak dengan semua orang disini, terutama Galang. Ya?" bujuk Rachmi tampak memelas.
Meskipun Liona ragu, namun ia tetap mengiyakan.
~15 tahun lalu, Rumah lama Liona.
"Baj**ngan ... jangan sakiti putriku. Lawan aku jika kamu benar-benar seorang pria sejati!" teriak seorang wanita muda yang membelakangi sosok anak perempuan kecil.
Anak kecil itu tampak bergetar karena ketakutan. Ia tak lain adalah Liona kecil yang baru berumur 9 tahun. Pria di depannya tampak marah dengan membabi buta. Dengan menggenggam sebuah sabuk kulit, pria itu menyeret si wanita muda ke sebuah ruangan. Tak lama kemudian, suara penyiksaan mulai terdengar. Liona kecil meringkuk di bawah meja ruang tamu dengan ketakutan.
Liona sudah hampir terbiasa mengalami kekerasan sejak kecil. Sang ayah sangat temperamental sedangkan ibunya seorang wanita yang lemah. Hari ini, entah apa yang terjadi, ibu yang dikenalnya selalu lemah dan diam tiba-tiba angkat suara untuk membela Liona. Hal itu menyebabkan kemarahan ayah Liona semakin besar.
Liona membenci ayahnya yang tidak bisa menjadi cinta pertama untuknya. Ia juga membenci sang ibu yang tidak bisa dijadikan rumah yang aman bagi putri kecilnya. Namun ia lebih membenci dirinya sendiri yang harus menerima siksaan tanpa bisa melawan. Sejak hari ini, kebencian Liona untuk keluarga yang berantakan ini semakin besar.
Sejak kecil Liona telah melihat ayahnya melakukan kekerasan secara terus menerus. Bahkan pernah suatu ketika Liona memergoki ayahnya yang tengah berc*mbu dengan wanita lain. Ayahnya berselingkuh. Namun ketika ia mengadu, sang ibu malah memarahinya dan mengatakan bahwa ini bukan urusannya. Ternyata Ibu Liona sudah mengetahui hal ini, hanya saja dia terlalu lemah.
Adapun pertengkaran malam ini terjadi karena ibu mengetahui bahwa ayah memiliki anak dari selingkuhannya di luar sana. Kesabaran ibu Liona bisa dikatakan sudah di ambang batas. Terlebih saat ayah Liona melampiaskan emosi pada Liona dan membandingkan dengan anak haramnya diluar. Ibunya tidak bisa lagi berdiam diri.
Liona yang masih meringkuk di bawah meja melihat Pak Deni, ayah kandung Liona yang menyeret sang ibu ke luar rumah. Tak lama kemudian terdengar suara motor yang semakin menjauh. Liona sangat panik, sang ayah pergi bersama ibunya. Namun yang membuatnya lebih panik karena beberapa menit lalu ia memasukkan obat tidur ibu ke dalam air minum ayahnya.
"Bukankah s-seharusnya dia tidak boleh b-berkendara?" batin Liona kecil.
Liona mencampur air minum ayahnya dengan obat tidur dengan maksud agar memberi kesempatan bagi Liona sendiri dan sang ibu bernafas sejenak. Liona akan membujuk ibunya untuk kabur meninggalkan rumah yang bagaikan neraka ini. Namun di luar dugaan, ayahnya malah pergi membawa ibunya entah kemana dengan mengendarai motornya.
Sebelum pak Deni menyeretnya ke luar rumah, Aisyah sempat berkata dengan keras. "Ibu akan pergi belanja keperluan jahit dengan bapak, Nak. Kamu tunggu di rumah baik-baik ya."
"Barang apa yang akan dibelinya dengan kondisi seperti itu?" pikir Liona.
Beberapa jam kemudian seseorang mengetuk pintu rumahnya. Liona takut kekhawatirannya menjadi kenyataan. Dan benar, orang itu membawa kabar kecelakaan maut yang menewaskan sang ayah kejam dan ibunya. Liona sangat terkejut mendengar berita tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments