"Bagus. Terus pantau dan jangan sampai ketahuan."
"Baik."
Terdengar percakapan kecil antara dua orang di parkiran kafe paling pojok. Sesosok pria tampak menyerahkan beberapa lembar foto kepada seseorang di dalam sebuah mobil pribadi putih bersih. Bagian kaca jendelanya hanya terbuka sedikit sehingga tidak menampakkan secara penuh identitas orang yang berada di dalamnya. Setelah itu, mobil segera melaju ke jalan raya.
Sementara di sisi lain, Liona tampak kebingungan mencari sosok yang mencurigakan itu. Dalam keadaan ini, Liona teringat kejadian serupa sejak pertemuannya kembali dengan Fiki beberapa waktu lalu.
"Apakah benar-benar Fiki seorang stalker? Tapi apa niatnya?" batin Liona bingung.
Ditengah gejolak pertanyaan di batinnya, seorang pria muda tampak tertatih-tatih menggunakan kruk di tangan kiri. Tampak dari belakang mirip dengan sosok Fiki, jadi spontan Liona berlari mengejar dan menangkap bahu pria tersebut.
"FIKI ...." panggil Liona setengah berteriak.
Pria itu menoleh dengan wajah yang asing bagi Liona.
"Oh ... Maafkan saya. Saya salah orang ...." Liona bergegas mundur dan meminta maaf. Orang tersebut hanya mengangguk dan berlalu pergi.
"Astaga ... apakah ini karena aku terlalu banyak pikiran?" batin Liona.
Don Fikinaro, laki-laki itu pendiam dan baik seingat Liona. Ia sendiri masih skeptis dengan prasangkanya sendiri. Liona dan Fiki pernah menjalin hubungan di masa SMK dahulu selama kurang lebih 2 tahun. Awalnya hubungan mereka sangat baik dan hampir tidak pernah mengalami pertengkaran karena sikap Fiki yang lebih dewasa dan mampu menyikapi kekanak-kanakan Liona. Fiki sendiri merupakan anak yatim piatu dan seorang anak tunggal. Semua berjalan lancar hingga suatu ketika Fiki pergi tanpa pamit. Banyak yang bilang Fiki pindah mengikuti kakeknya ke kota lain.
Namun hubungan 2 tahun itu cukup untuk Liona mengetahui seluk beluk keluarganya. Fiki hanya tinggal seorang diri di kota ini. Tidak ada keluarga maupun kerabat. Lantas darimana datangnya kakek itu. Fiki juga bukan karakter yang tidak masuk akal. Liona yakin ada alasan kuat di baliknya.
Bahkan setelahnya, Liona terus berusaha menghubungi Fiki namun tidak berhasil. Dan akhirnya semua berlalu begitu saja. Pertemuan pertama kemarin setelah sekian lama tidak berjumpa membuat Liona sedikit berdegup. Bagaimana tidak, sosok laki-laki yang dulunya berdiri dengan tegap kini berjalan menggunakan kruk di lengannya. Dan lagi perjumpaan itu dalam keadaan sedikit canggung. Liona merasa sedikit bersalah telah mencurigai Fiki. Namun tidak ada yang bisa di percaya untuk sekarang. Di tambah lagi Liona belum bisa memastikan apakah Fiki benar-benar lumpuh atau hanya pura-pura saja. Ia harus bersikap waspada di tengah badai masalah kali ini. Liona menghela napas dengan berat.
"Sebenarnya apa yang kulewatkan? Kupikir aku paling mengenal orang-orang sekitarku. Namun setelah sekian kali tragedi mengejutkan ini terjadi, aku mulai meragukan diriku sendiri. Apa aku betul-betul mengenal mereka?" gumam Liona dengan linglung.
Ketika akan memesan taksi online, Liona baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal di meja kafe. Tadi ia begitu terburu-buru sehingga lupa memasukkan ponselnya. Setelah kembali ke kafe, Galang sudah pergi dan seorang pelayan menghampirinya.
"Dengan kak Liona?" tanya pelayan tersebut. Melihat Liona mengangguk, ia terus berbicara, " laki-laki yang tadi duduk dengan kakak menitipkan ponsel ini dan sebuah catatan. Ini kak."
Liona mengambil barang-barang itu seraya mengucapkan terima kasih. selembar kertas yang hanya bertuliskan "Maaf, Li. Aku pulang duluan" telah selesai dibaca Liona.
Sekilas Liona masih dapat melihat Galang berjalan dengan terburu-buru ke arah parkiran. Liona sedikit mengernyit.
Liona kembali mendudukkan dirinya ke kursi kafe. Kepalanya mulai pusing tak karuan. Mungkin karena dampak masalah yang terjadi terus menerus akhir-akhir ini. Ia tatap kembali layar ponsel yang menampilkan hasil USG Airin dan menghela napas berat.
"Apa tujuan sebenarnya dari orang ini?" Liona memijit keningnya yang semakin berdenyut.
"Liona ...." Sebuah suara menginterupsi Liona dari lamunannya. Mike tampak berdiri di depannya dalam kondisi baik. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa, hanya matanya saja yang terlihat kurang tidur.
Liona menggenggam kuat telapak tangannya sendiri. Lalu berkata, " Kelihatannya kamu baik-baik saja selama ini."
"Ya ... bagaimanapun kebenaran tidak akan muncul jika aku terus terpuruk," jawab Mike
"Terpuruk .... " Liona tertawa sinis. "Jika boleh kukatakan dengan jujur, aku benci melihatmu baik-baik saja disaat aku menanggung akibat perbuatanmu."
"Kali ini aku benar-benar ingin memohon maaf padamu, Liona." Mike menunjukkan sedikit emosi di matanya yang tampak sendu. "Aku sadar, kesalahan ini sangat fatal. Jadi ...." Mike terdiam.
Liona mendecakkan lidah. " Jangan berbicara omong kosong. Katakan saja apa yang ingin di katakan. Aku sedang terburu-buru."
"A-aku ingin memohon maaf atas segala kesalahan yang pernah aku lakukan padamu ... Juga di masa depan-"
"MIKE ... dengar. Tidak ... aku ulangi, tidak akan aku biarkan kamu menyakitiku di masa depan. Camkan itu. Jika kamu hanya ingin berbicara omong kosong, bicara saja sendiri. Aku masih banyak urusan," ujar Liona sembari berdiri dari kursinya.
"Liona tunggu. Perasaanku ke kamu saat itu dan bahkan hingga saat ini nyata, bukan pura-pura."
Liona menarik kembali pergelangan tangan yang di genggam erat oleh Mike, "Manusia tidak makan dari cinta yang di bumbui pengkhianatan. Aku pun begitu," ujar Liona ketus.
"Mungkin setelah ini, kamu tidak akan pernah sudi melihatku lagi, Liona. Apapun yang terjadi di masa depan, aku harap kamu masih memiliki sedikit rasa percaya untukku. Sedikit saja ...." Mike berdiri dengan kaku. " Tidak. Lebih baik kamu tidak percaya padaku. Akan lebih baik kamu tidak mempercayai siapapun, Liona. Orang-orang terdekat sekalipun tidak bisa di percaya."
Liona geram melihat tingkah Mike yang semakin menjadi-jadi. Tanpa berkata sepatah katapun, Liona beranjak dari meja kafe tersebut.
"Liona ingat kata-kataku. Orang-orang itu juga tidak bisa di percaya. Tidak bisa dipercaya ...," teriak Mike.
Liona pergi dengan marah dan hampir menabrak orang saat keluar dari pintu kafe.
"Oh maaf!" seru Liona.
"Mbak Freni, kan?" tanya orang tersebut.
"Ya? E-eh bukan, Bu." Liona gelagapan karena terkejut.
"Oh maaf. Saya kira kamu kenalan saya," ujar wanita paruh paya itu.
Setelah saling meminta maaf, Liona langsung berlalu begitu saja.
"Siapa, ma?" tanya anak perempuan yang bersama wanita tadi.
"Bukan siapa-siapa, Sayang. Mama salah orang. Wajahnya mirip tapi kepribadiannya berbeda. Mungkin Mama salah orang," jelas wanita itu.
Drrtt ... Drrttt ....
Ponsel Liona berdering menampilkan nama Airin di layarnya.
"Halo, Rin!" Liona mengangkat panggilan dengan cepat. Lagipula memang ada yang ingin ia bicarakan dengan Airin. Namun suara di ujung telepon mengejutkan Liona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments