flashback 15 tahun lalu
"Tapi nanti belikan mainan ya, Yah."
"Iya, nanti ayah dan ibu belikan mainan untuk Liona. Sekarang Liona tunggu di rumah dulu ya. Teleponnya ada di sini, jadi Liona bisa telepon ayah kalau ada apa-apa," Pak Deni, Ayah kandung Liona tampak berusaha membujuk Liona yang merajuk tidak ingin di tinggal.
Ibu yang melihat sikap Liona tampak sedikit menegur, "Liona kan sudah 9 tahun, bukan anak kecil lagi, Sayang. Jadi Liona harus belajar mandiri, ya. Ibu dan ayah hanya keluar sebentar kok."
Liona yang masih merengut akhirnya mengangguk berat, "Boneka Barbie ya, Janji."
"Iya Sayang, Janji," jawab Pak Deni seraya tersenyum.
Setelah drama pamit itu, keduanya segera melaju ke jalan raya. Ayah dan Ibu Liona berniat untuk membeli bahan-bahan untuk membuat baju pesanan. Akhir-akhir ini Ibu Liona mencoba membuka usaha kecil-kecilan. Hitung-hitung sebagai pengalaman dan menambah sedikit pemasukan keluarga.
Sejak kecil, Liona dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Mengingat bahwa Liona juga merupakan putri tunggal mereka. Jadi sifatnya memang sedikit manja dan keras kepala. Contohnya saja tadi sulit sekali membujuk Liona agar tetap tinggal di rumah selagi ayah dan ibu pergi berbelanja.
Bukannya tidak ingin mengajak Liona. Hanya saja cuaca malam ini agak gerimis dan mereka hanya menggunakan sepeda motor. Mereka takut Liona jatuh sakit jika memaksakan diri untuk ikut.
Sebenarnya Liona juga tidak bermaksud untuk mempersulit kedua orangtuanya. Semua itu karena dirinya merasakan firasat yang tidak baik.
Liona berbaring dengan gelisah di atas ranjangnya. Detik jam seakan berdetak lebih lama dari biasanya. Sesekali di toleh pintu yang tertutup rapat. Sebenarnya Liona merasa takut berada dalam rumah ini sendirian. Terlebih hatinya yang terus menerus gelisah. Seperti mencemaskan sesuatu.
Prangg ...
Terdengar suara pecahan kaca dari arah ruang tamu. Liona yang sudah bergelung dalam selimut sedikit bergidik. Ia tak berani sedikitpun bergerak dari posisinya, seakan tubuhnya mematung.
Setelah beberapa saat, perlahan Liona raih telepon genggam yang tergeletak tak jauh darinya. Ia putar nomor telepon ayahnya namun tidak tersambung.
nomor yang anda tuju sedang berada di kuar jangkauan ... cobal-
Liona mencoba memutar nomor tersebut beberapa kali, namun nihil.
"Tadi katanya kalau butuh apa-apa bisa telepon ayah," ujar Liona sambil terisak.
Sedikit demi sedikit ia turun dari ranjang. Berjubahkan selimut, ia menuju ke ruang tamu. Dalam sekali klik, lampu ruang tamu tampak menyala terang. Tampak sebuah pigura terjatuh di dekat sofa. Figura yang berisikan foto pernikahan Ayah dan Ibu Liona.
Setelah itu disusul dengan suara dentuman keras dari arah jalanan depan rumah. Liona terkejut dan segera mengintip dari balik jendela. Ia dapat melihat dengan jelas kondisi jalanan karena rumahnya tidak memiliki pagar dan terletak di daerah yang ramai.
Banyak orang berkerumun di pinggir jalanan. Liona tidak dapat melihat apa yang terjadi.
"Ada orang jatuh? Aku takut," gumam Liona sembari terus mencoba menghubungi ayahnya.
Dari sela-sela orang yang berkerumun di antara remang-remang cahaya lampu jalan, Liona melihat sesuatu yang tampak familiar.
"Motor ayah?"
Dada Liona berdegup. Ia masih mencoba membuang berbagai macam pikiran buruk. Namun entah bagaimana dirinya mulai berani untuk membuka pintu.
Riuh dan sesak sekali kerumunan orang-orang. Ada yang mengeluh, ada yang mengaduh dan ada yang menyayangkan.
Kali ini untuk kesekian kalinya Liona mencoba memanggil nomor ayahnya.
Ddrrttt ... Drrrtt ...
Terdengar suara dering handphone di tengah kerumunan, tepatnya di sebelah motor yang hampir hancur. Liona sempat mematung, tangannya mengepal, bibirnya bergetar, telepon yang di genggamnya jatuh bebas ke selokan di bawahnya.
Tanpa peduli sesaknya kerumunan orang-orang, Liona menyerbu ke depan. Dan pemandangan yang menyambutnya begitu mengerikan.
Kondisi Ibu Liona yang bersimbah d**rah membuat ketakutan terdalam dalam diri Liona.
"IBUU!"
"IBU ... IBU ..."
Liona histeris. Memeluk tubuh ibunya yang sudah tidak bernyawa. Mengguncangnya berharap keajaiban akan terjadi. Namun yang di inginkan tak kunjung datang.
Orang-orang tampak bersimpati. Bisik-bisik mulai terdengar riuh.
"Kasihan sekali."
"Iya masih kecil. Kasihan ... "
"Bagaimana ini, kasihan sekali anak ini."
Ternyata semua firasat buruk Liona benar-benar terjadi. Ia tidak menyangka bahwa beberapa jam lalu adalah kali terakhir Ibu pamit kepada Liona.
"Aku gak mau Mainan, Bu. Aku gak mau Barbie. Liona Janji gak akan nakal lagi. Ibu bangun, Bu."
Entah apa yang terjadi setelahnya, Liona tidak mengingatnya. Mungkin karena ia terlalu shock sehingga membuatnya linglung. Ia kembali tersadar ketika Ibunya sudah berada dalam tempat peristirahatan terakhirnya.
Liona melihat sosok didepannya. Sosok yang mengingatkannya pada sang Ibu. Bibirnya yang kering berusaha mengucap kalimat, "Ayah ..."
Liona bergegas berlari dalam pelukan sang Ayah. Memeluk erat seakan takut bila ia melepasnya, sang ayah akan pergi menyusul ibu. Tanpa Liona sadari bahwa yang dipeluknya memang bukanlah sang ayah, namun pak Dery, pamannya.
"Mungkin seperti ini lebih baik untuk Liona, Pak. Setidaknya untuk sekarang biarkan mentalnya stabil terlebih dahulu. Tidak masalah jika Liona mengira anda adalah ayahnya. Kita beritahu pelan-pelan saja kenyataan yang terjadi. Saya mengerti betapa terguncangnya jiwa seorang anak kehilangan kedua orangtuanya di depan mata. Jadi saya rasa begini lebih baik, Pak."
Setidaknya begitulah ujar dokter kejiwaan yang menangani kondisi trauma Liona saat itu. Dan pada akhirnya Pak Dery membawa Liona untuk pindah dan mencari ketenangan demi kesembuhan Liona sendiri. Keponakannya kini menjadi anaknya hingga waktu berlalu begitu saja.
Pak Dery sudah beradaptasi dalam menyandang status sebagai orang tua tunggal. Meskipun ada waktu dimana Liona mengungkit kedua orangtuanya. Tapi pak Dery tidak masalah jika Liona menganggapnya sebagai pak Deni, almarhum ayah Liona.
Pak Dery berusaha memberikan segala yang terbaik untuk Liona. Termasuk demi kesembuhannya dari trauma dan sakit yang sebelumnya.
Flashback off
Setelah Pak Dery menceritakan masa lalu Liona, nafas Liona terasa sesak. Tubuhnya mematung, tangannya mengepal dan bibirnya bergetar hebat. Kenangan kelam yang telah terkubur dalam-dalam mulai kembali sedikit demi sedikit dan menyeruak ke dalam ingatannya. Terlebih memori saat sang ibu tergeletak dengan mengenaskan di depan matanya.
"Kenapa ... kenapa ..." Liona terus menggumamkan satu kata itu berulang-ulang.
Pak Dery beringsut mendekati Liona. Berusaha menenangkan anaknya itu,"Nak, Tenang ya. Ayah disini."
Namun semakin begitu, semakin banyak pula memori-memori masa lalu yang memaksa masuk di kepala Liona. Ia mencengkeram erat kepalanya yang seperti ditusuk-tusuk.
Perlahan-lahan ia pandangi wajah pak Dery, menatap wajah pria yang dipanggilnya ayah selama bertahun-tahun ini.
"Ternyata memang berbeda dari ingatanku. Ternyata memang berbeda ... Berbeda ..." Liona bergumam tidak jelas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Saya@×͜×🐜🎸@TampAan
Semangat Friends 🤯.. Mampir juga Di novel ku yaa...
2023-11-24
1