Liona menatap aneh sikap Rachmi yang tampak gugup. Padahal ia hanya mengajukan pertanyaan biasa.
"Aku mau ambil barang yang ketinggalan. Ini dia," ujar Rachmi sambil mengangkat sebuah lipstick, "Ini ternyata ketinggalan di kamar kamu."
Liona tidak berfikir aneh tentang hal itu. Tak heran lagi jika terkadang barang-barang Rachmi ada yang tertinggal di rumahnya.
"Eh ... Ra," panggil Liona, "Aku sudah minta tolong seseorang untuk melacak akun itu."
Rachmi tau yang di maksud adalah DF100. Tangannya sedikit mengepal dari sisi yang tidak terlihat oleh Liona.
"Kamu ... yakin orang itu bisa di percaya?" Rachmi melihat kecurigaan di wajah Liona, dan buru-buru menjelaskan. "Maksudku apakah orang itu benar-benar bisa di percaya dan bukannya memanfaatkan kesempatan untuk menyesatkan penyelidikan ini."
Liona menghela nafas. Lalu menjawab, "Entahlah. Aku harap semuanya cepat terungkap. Lagipula kita tidak punya pilihan lain. Kita harus segera menemukan pelaku ini. Menurutmu apa tujuan sebenarnya orang di balik ini?"
"A-aku tidak tahu. Yang pasti kamu harus tetap berhati-hati," ujar Rachmi sedikit gugup. "Oh iya ... A-aku mau pulang dulu ya. Nanti hubungi aku kalau terjadi sesuatu."
"Nih anak aneh banget hari ini," gumam Liona.
Saat Liona akan memasuki pintu rumah, sebuah batu yang terbungkus kertas terlempar ke sampingnya dari suatu arah. Liona mencari di sekeliling namun tidak menemukan seorangpun. Perlahan ia buka bungkusan aneh itu, terdapat beberapa potret di dalamnya yang agak kumal karena terikat di batu. Liona mengernyit menatap foto-foto itu. Tampak ayahnya dan Rachmi berada di dalam lebih dari 8 lembar foto tersebut dan di tempat yang berbeda pula. Ada yang di kafe bahkan teras rumahnya. Awalnya Liona tidak menyadari kejanggalan di dalamnya. Tapi setelah di pikirkan kembali, untuk apa ayahnya bertemu secara pribadi dengan Rachmi dan sudah terjadi berkali-kali.
Liona melihat ayahnya yang sedang membaca sembari menyeruput cangkir kopinya.
"Ayah ... tadi Rachmi ngapain ke sini?" selidik Liona sambil berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan sang Ayah
Pak Dery, Ayah Liona melirik lalu menjawab, "Katanya cari kamu, tapi langsung pergi karena kamu sedang keluar."
Liona menggenggam erat telapak tangannya. "Ngomong-ngomong ayah pernah gak sengaja ketemu Rachmi di luar, gak?"
"Gak pernah. Kenapa kamu tanya begitu?" Pak Dery mengernyit.
"Eh gak papa kok, Yah. Cuman penasaran aja." Liona mencoba menyamarkan rasa panik dan gugupnya dengan tertawa.
Liona teringat kata-kata Mike beberapa waktu lalu yang menyebutkan tentang waspada dengan orang terdekat. Liona tidak ingin mencurigai ayahnya sendiri. Namun hubungan antara ayahnya dan Rachmi kini susah untuk dijelaskan secara logika.
Liona memutar panggilan dengan nomor Rachmi. Tak sampai satu menit, terdengar suara dari seberang telepon.
"Halo Ra, kamu dimana?" tanya Liona.
"Di rumah. Kenapa Li?"
"Em ... oh iya, tadi ayah bilang gak sengaja ketemu kamu di kafe, tumben kamu gak ajak-ajak aku," bohong Liona sengaja memancing reaksi Rachmi.
"A-ah om Dery bilang gitu? B-bukannya gak mau ajak kamu, Li. Tadi cuma kebetulan aja aku mampir kafe dan gak sengaja juga ketemu ayah kamu."
Liona memegangi dadanya yang mulai berdegup. Ia berusaha membuang semua pikiran negatif yang ada. Setelah panggilan telepon terputus, ponsel Liona berdering kembali. Ia pikir itu adalah Rachmi yang menelepon balik karena pembicaraan yang belum selesai.
"Halo."
"Ho ho ... Bagaimana? Mengetahui hubungan gelap antara ayah dan sahabatmu tercinta. Menakjubkan, bukan? Di saat kamu sedang kebingungan dengan hal-hal yang terjadi belakangan ini, mereka malah sibuk menjalin hubungan. Hahaha ...." Suara berat laki-laki terdengar dari seberang telepon.
"SIAPA ... SIAPA KAMU," teriak Liona.
"Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Yang pasti kehidupan kamu mulai sekarang ... akan be ... ran ... ta ... kan."
"Halo ... Halo ...."
Liona tampak gusar. Ia mencoba menelepon kembali nomor tadi, namun tidak berhasil. Tampaknya pihak lain langsung membuang simcard nya.
Liona meletakkan beberapa lembar foto ke atas meja persegi di depannya. Laki-laki di seberang tempat duduknya mengernyit penuh tanda tanya.
"Siapa yang ada di foto ini?" tanya Galang kemudian.
Liona menunjuk seorang pria paruh baya di salah satu foto lalu menjawab, "Ini ayahku." Kemudian tangannya menunjuk sosok perempuan cantik berkuncir ekor kuda di foto tersebut. " Dan ini Rachmi, sahabatku."
"Kamu bilang orang itu melemparkan foto ini dalam bentuk bungkusan batu? Apakah menurutmu dia ingin melukaimu?"
"Aku tidak yakin. Tapi kurasa orang ini hanya ingin membuat keributan dengan foto-foto itu. Dia melemparnya lumayan jauh dari tempatku berdiri saat itu."
"Nomor yang menghubungimu. Boleh aku melihatnya? Aku akan meminta seseorang untuk mencoba melacak asal panggilan tersebut."
Galang menyalin nomor dari ponsel Liona dengan cepat. Lalu mengetikkan beberapa kalimat chat di ponselnya sendiri.
"Liona ... aku minta sekarang kamu tenang dan pikirkan kembali tentang orang-orang yang pernah bersinggungan denganmu. Entah itu masalah sepele atau sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Kita akan mulai menyelidiki dari sini."
"K-kurasa aku tidak memiliki musuh ataupun masalah yang memungkinkan seseorang untuk menyimpan dendam padaku."
" Pasti ada. Ayo ... kamu harus mencoba sedikit lagi. Ini akan menjadi petunjuk untuk kita."
"A-apakah masalah sewaktu SMK termasuk juga?" tanya Liona sedikit khawatir.
Galang mengangguk mantap. Lalu menjawab, "Ya, semuanya bisa menjadi petunjuk sekarang."
"T-tapi aku tidak yakin dengan ini," ucap Liona ragu.
Liona ingin mengungkapkan tentang Don Fikinaro, namun teringat kata-kata Rachmi yang melarangnya untuk melibatkan orang ini. Lagipula akhir-akhir ini memang tidak ada hal mencurigakan yang berkaitan dengannya. Liona menjadi ragu sesaat. Mike yang begitu di percaya saja bisa berbeda dari apa yang ia kenal.
Setelah ragu-ragu sesaat, akhirnya Liona berbicara, "A-aku ... dulu semasa SMK aku pernah memiliki hubungan backstreet dengan seseorang. Orang ini pendiam dan nilai akademisnya rata-rata. S-suatu ketika aku tidak sengaja menguncinya di ruang olahraga. Tidak ... aku sengaja bermain-main dengannya dengan menguncinya. T-tapi aku tidak benar-benar meninggalkan ruangan itu. Aku menunggunya di depan pintu dan diam. Awalnya dia terus berteriak, tapi setelah beberapa menit aku tidak lagi mendengar apapun dari dalam ruangan. Karena khawatir aku segera membuka kunci pintu itu dan menemukan dia ... dia berdarah-darah... dia berlumuran darah, Kak!"
Galang segera memberikan segelas air setelah melihat Liona yang mulai panik. Ia meraih tangan gadis itu yang terasa dingin. Ia tersenyum dan mengangguk pelan dalam tatapan gadis tersebut.
Liona melanjutkan kisahnya, "pelipisnya memar, matanya lebam dan hidungnya ... hidungnya keluar d*rah. Dia ... dia memegang sebuah tongkat kasti. Aku panik saat itu, Kak. Aku berlari meninggalkan dia begitu saja untuk mencari bantuan. T-tapi saat aku kembali bersama beberapa orang ke ruangan itu, dia hilang. Dia tidak ada di dalamnya, Kak. Bahkan bekasnya tidak ada. Dia seperti musnah. Bahkan beberapa hari setelahnya dia juga tidak terlihat dimanapun. Aku merasa bersalah, aku takut terjadi sesuatu yang buruk dengannya. Teman-teman bilang aku berbohong, karena memang tidak ada yang tahu kedekatanku dan orang itu, Kak. Tapi bagaimana mungkin itu bohong. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bahwa dia terluka. Tapi tidak ada seorangpun kecuali aku yang menyadari ketidakhadirannya. Aku sudah mulai uring-uringan sejak saat itu, hingga Rachmi membawa kabar kalau ternyata orang itu sudah pindah sekolah. Dia pindah sekolah, Kak. Tanpa pamit ataupun bicara padaku. Selama beberapa waktu Rachmi lah yang menemaniku untuk bangkit dan bilang bahwa semuanya bukan salahku. Tapi, kupikir itu semua pasti salahku kan, Kak. Jika saja ... jika saja saat itu ...." Liona menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. Fakta menyakitkan yang selama ini ia coba untuk lupakan kini semakin jelas.
Sesosok pria bermasker hitam dan mengenakan topi yang hampir menutup sebagian wajahnya tampak tertunduk di meja beberapa meter dari tempat duduk Liona dan Galang berada. Tangannya sedang sibuk mengetikkan huruf demi huruf di ponselnya. Menyalin semua kalimat yang di ucapkan Liona dan Galang ke dalamnya. Kemudian beranjak pergi dengan ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments