Pagi hari selesai sarapan, Nazril membereskan bekas makanannya dan mencuci piring dan gelasnya.
"Hari ini ya lamaran Ara," lirihnya.
"Ya Allah apa aku harus kehilangan dia sebelum bisa aku miliki," lanjutnya.
Nazril masih belum bisa ke kantor, pikirannya masih penuh dengan Zahra.
Dia ke kamar mandi, mengambil wudhu, lalu sholat Dhuha 12 raka'at, dan berdoa, mendoakan dirinya, keluarganya, juga Zahra.
"Ya Allah, pemilik hidup kami, aku mohon bahagiakan Zahra bersama pasangannya, ikhlaskan hati ini untuk menerima semua yang telah menjadi takdir Mu, aku mohon beri aku kesabaran dalam menjalani ujian dari Mu, dan pertemukan aku dengan jodoh yang terbaik untukku...." ucap Nazril dengan penuh harap.
Sementara di kediaman ayah Aziz, kedua keluarga sudah berkumpul untuk acara lamaran Zahra.
Zahra mengenakan gamis warna Lilac dengan jilbab senada, tanpa make up, hanya bedak dan lipstik tipis terpoles di bibirnya agar tidak terlihat pucat.
"Seperti yang kita bicarakan kemarin, hari ini kami datang melamar putri pak Aziz yang bernama Almeera Zahra untuk anak kami Yusuf Abdullah, tapi karena agak mendadak ya, jadi kami belum bisa membawakan seserahan, cuma bawa sedikit kue, hehe," ucap ustadz Abdullah ayah Yusuf.
"Baik, kami keluarga Zahra dengan senang hati menerima anda sekeluarga di rumah ini, namun untuk jawaban lamaran akan dijawab sendiri oleh putri kami tercinta Zahra," ucap ayah Aziz.
Zahra deg deg an, tidak tahu harus berkata apa, dan bagaimana, namun ada satu pertanyaan terbesit di benak Zahra.
"Ra...," bunda membelai lengan Zahra.
"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih, atas lamaran untuk saya, saya sangat terharu, dan sesungguhnya merasa tidak pantas untuk dilamar seorang mubaligh, seorang guru bagi kami," ucap Zahra, yang ditanggapi senyuman oleh ustadz Yusuf, senyuman yang menawan.
"Ehm... Apakah pada lamaran ini saya boleh mengajukan syarat untuk pernikahan saya?" tanya Zahra.
"Silakan nak, mungkin kami bisa pertimbangkan," ucap ayah Yusuf.
"Jika saya dan ustadz, menikah nanti, selama saya bisa melayani dan melaksanakan tugas saya sebagai istri, apakah ustadz bisa untuk tidak berpoligami?" tanya Zahra.
"Bukankah poligami itu diperbolehkan oleh agama? Apa alasannya saya tidak bisa menikahi wanita lain lagi?" tanya ustadz Yusuf.
"Karena saya tidak bisa berbagi hati dengan wanita lain," sahut Zahra.
Ustadz Yusuf terdiam sebentar, lalu membisikkan sesuatu kepada sang ayah, ayahnya mengangguk dan mempersilahkan ustadz Yusuf menyampaikan sendiri.
"Maaf saya tidak bisa berjanji akan hal itu," ucap ustadz Yusuf.
Zahra mengangguk dan tersenyum tipis.
"Baiklah, kalau begitu dengan berat hati saya tidak bisa menerima lamaran Ustadz, mohon maaf," ucap Zahra kemudian menunduk dan menitikkan air mata. Zahra merasa sedih karena pasti orang tuanya kecewa dengannya, tapi ini menyangkut masa depannya, pernikahan impiannya sekali seumur hidup, dan dia hanya ingin menjadi satu-satunya untuk pasangannya.
Meskipun lamaran itu gagal, kedua keluarga tetap beramah-tamah makan siang bersama, itu kesempatan untuk berbincang.
"Jeng, maaf, bukan kami bermaksud mempermainkan lamaran keluarga jeng Ratna, tapi ini juga demi kebaikan anak-anak kita, sebelum melangkah lebih jauh, lebih baik berhenti sekarang jika tidak ada kesepakatan, dari pada nanti sudah menikah dan malah bercerai, nauzubillah," ucap Bunda.
"Iya ga pa pa Jeng, benar sekali dari pada nanti malah jadi bencana, kita doakan saja semoga anak-anak kita mendapatkan jodoh yang terbaik untuk mereka, saya juga ga tau kenapa Yusuf tidak bisa berjanji untuk tidak menikah lagi, ah sudahlah Jeng, yang penting jangan putus silaturahim ya," tutur bunda Ratna.
.
.
Malam harinya, Zahra bercengkrama dengan ayah bundanya.
"Ayah, Bunda, maafin Ara, maaf karena telah membuat Ayah Bunda malu, beneran pertanyaan itu baru terbesit tadi," ucap Zahra.
"Ga pa pa sayang, lebih baik begini dari pada nanti kamu bercerai di tengah pernikahanmu," ucap Ayah.
"Tapi ayah sudah memberi kabar ke grup wa keluarga besar ayah dan keluarga besar bunda juga, ini ayah yang masih bingung, ngasih tau gimana," ucap Ayah.
"Iya, di grup rame banget ribut mau datang, ad yang ngelist juga siapa aja yang dateng, dress code segala macam, au ah, besok aja dipikirkan yah, kita istirahat dulu," ucap bunda.
"Iya Ra, kamu istirahat ya, gak usah dipikirin, ayah sama bunda ga pa pa, yang terpenting adalah kebahagiaan kamu sayang," ucap ayah membelai surai hitam putri sulungnya itu.
Zahra memasuki kamarnya. Ayah dan bunda saling melempar pandangan dan menghembuskan nafas berat.
"Katering, gedung, souvenir, udah di DP semua ya yah?" tanya Bunda.
"Oh iya, coba souvenir nya itu kartu ucapannya aku batalin aja nama mempelainya, untuk souvenir bisa kita simpan, toh suatu saat Zahra juga menikah, katering dan gedung kita pikirkan besok lagi, ayah pusing, kita tidur aja Bun," ucap ayah Aziz.
.
.
Keesokan harinya..
Di dalam apartemennya, Nazril selesai mencuci dan menjemur pakaiannya. Hari itu Nazril belum juga bisa pergi ke kantor. Nazril gelisah tidak karuan, ia mengambil wudhu dan meraih mushaf Al-Qur'an, lalu membacanya. Benar-benar, Nazril melarikan diri ke hal positif.
"Ting tong..." suara bel pintu berbunyi. Nazril segera berdiri dan membuka pintu apartemen nya.
"Assalamualaikum anak Mama," ucap mama Elsa yang datang bersama papa Rendra.
"Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh, masuk Mah Pah," ucap Nazril mempersilahkan kedua orang tuanya masuk.
"Papa ga ke rumah sakit?" tanya Nazril yang menuangkan minum untuk mama papanya.
"Sudah tadi visit pasien, ini diajakin mama kamu ke mall, tapi minta mampir ke sini dulu." sahut papa Mirza.
"Iya Ril, tadi mama telpon Indra katanya kamu belum masuk kantor juga, sampai kapan kamu tinggal di sini juga? Hmm?" tanya Mama.
"Bentar lah Ma, mungkin besok aku usahakan masuk kantor, tapi aku pengen sementara tinggal di sini dulu, kamar aku baru direnovasi sama Zahra, aku pasti keinget dia terus kalau di sana, biar aku di sini dulu ya Ma, pa," sahut Nazril.
"Iya terserah kamu Ril, semoga kamu cepat move on, eh Ayuk ikut mama sekalian dari pada kamu sendirian di sini," ajak mama Elsa.
"Males banget Mah, nyari apa sih di mall?"
"Mama pengen pesen setelan jas buat kamu dan papa, sudah lama kamu ga beli Ril, ikut ya,"
Dan Nazril akhirnya setuju mengikuti papa mamanya ke mall.
Ketika sedang melihat-lihat, mereka secara tidak sengaja bertemu Zahra bersama ayah bundanya.
"Jeng Mirna," sapa mama Elsa.
"Eh mbakyu, lagi jalan-jalan?" sahut Bunda.
Nazril melirik sekilas ke arah Zahra, lalu menunduk kembali. 'Ya Allah, kenapa harus bertemu Ara, masih sakit rasanya,' batin Nazril.
"Iya nih mau pesan jas buat Aril dan papanya, ini mau belanja buat persiapan pernikahan Zahra kah?"
Bunda Mirna menggeleng, "Pernikahannya batal Mbak,"
"Haa..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments