Binar ada di desa istimewa yang meski terpencil jauh dari kemajuan teknologi, di sana kaya akan hasil alam yang juga menjadi bagian dari pengobatan tradisional. Semua masyarakat dalam keadaan sehat sekaligus awet muda berkat pola hidup sehat yang dijalani.
“Semuanya tampak akur, bahagia bahkan damai. Mereka begitu menikmati hidup mereka meski mereka tinggal jauh dari kemajuan teknologi. Malahan boleh dibilang, alam menjadi rumah mereka, sementara setiap warga bahkan masyarakat asing, mereka anggap sebagai keluarga,” batin Binar.
Sampai detik ini, Binar belum bisa bergerak dengan leluasa. Semua itu terjadi karena luka-luka Binar terlalu parah.
“Tulang kedua tangan dan kakiku patah. Jika ditangani dengan medis, paling tidak wajib dipasang pen. Sementara proses penyembuhannya bisa memakan waktu hingga tiga bulan lamanya. Namun ini, luka-lukaku semuanya diobati dengan serba alami. Entah kulit pohon apa yang mereka gunakan untuk mengikat sekaligus memperban kaki dan tanganku. Namun semua hasilnya nyata. Aku bisa merasakan perubahan maupun reaksi dari pengobatan yang mereka lakukan, bahkan itu di hari pertama aku menjalani pengobatan.”
“Andai pengobatan ini bisa dilestarikan dan dikemas dengan lebih moderen, tentu bisa mengurangi pemakaian obat kim*ia.”
Di gubuk Binar mendapat penanganan sekaligus pengobatan, beberapa orang datang dan kebanyakan dari mereka sengaja untuk berobat. Ada anak kecil batuk, dan nenek Cucun selaku ketua pengobatan di sana yang juga orang yang dituakan, menyuruh orang tua si anak untuk menyadap kajar atau itu talas khusus.
“Nek, Kajar itu apa? Tadi, saya dengar Nenek meminta orang tua dari anak yang batuk parah itu untuk menyadap kajar dan airnya langsung diminum,” ucap Binar yang untuk sekadar bicara saja, masih sangat lemah.
“Luka-lukaku memang sangat parah. Karena sepertinya, Luri dan para ibl*is itu memang sengaja membuatku mere*gang nyawa,” batin Binar yang juga yakin, Luri dan semua pelaku yang terlibat termasuk nyonya Rima, yakin jika ia berakhir meninggal.
Nenek Cucun menjelaskan mengenai pengobatan batuk yang Binar tanyakan. Pengobatan yang sudah turun-temurun masyarakat sana jalani sekaligus lestarikan.
“Kalau di tempat tinggal saya, kami biasa menggunakan daun saga, atau kencur dan madu untuk pengobatan batuk,” cerita Binar saling berbagi ilmu dengan nenek Cucun.
Layaknya masyarakat di sana, nenek Cucun juga tipikal sangat baik yang tak pelit ilmu. Wanita tua yang wajah dan tubuhnya masih sangat segar meski tanpa polesan kosmetik itu menjelaskan banyak hal mengenai obat maupun pengobatan yang selama ini masyarakat sana lakukan.
Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Keadaan Binar juga beranjak membaik setelah pengobatan sekaligus sederet terapi, Binar lakukan dengan rutin. Binar menjalani waktunya di sana dengan kebaikan masyarakat yang menganggapnya layaknya keluarga. Bahkan karena kebaikan masyarakat sana juga, Binar langsung berjuang untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang terjadi di luar sana.
Binar yang akhirnya mulai bisa duduk sendiri, diantar oleh beberapa warga untuk menyaksikan acara televisi yang Binar minta. Acaranya ada di rumah ketua adat dan statusnya sama dengan kades atau itu ketua desa. Binar ingin mencari tahu kabar perkembangan kasusnya.
“Apakah apa yang aku alami sampai diper*karakan, setelah aku memulainya dengan siaran langsung? Atau, semuanya menguap tanpa jejak hanya karena kekuasaan dokter Rima dan para ibl*is berwujud manusia yang tergabung bersamanya?” pikir Binar. Harap-harap cemas ia menunggu televisi di hadapannya segera menemukan chanel. Pak Kades sudah langsung mengurus sendiri televisi yang gambarnya saja dipenuhi ‘semut’.
Mengandalkan televisi dengan tenaga surya di hadapannya, Binar akhirnya mengorek informasi situasi terkini, termasuk itu mengenai kasusnya. Karena kebetulan, Binar menyaksikan berita tentang dirinya. Kenyataan tersebut membuat Binar bersemangat untuk bangkit.
“Adam dan semuanya masih berjuang. Kas*usku berhasil viral, tapi karena yang kami lawan bukan orang biasa karena polisi saja dianggap berat sebelah, kasu*sku jadi alot! Ayo, Bi. Kamu harus secepatnya sembuh. Jangan sampai kamu benar-benar dianggap mati!” batin Binar menyemangati dirinya sendiri.
“Itu beneran kamu, mbak Binar?” ucap pak Alam selaku ketua adat di sana. Ucapan yang juga sukses membuat kebersamaan di sana riuh. Karena warga yang turut menonton, sudah langsung mengawasi wajah Binar dengan saksama.
“Cantik banget!” puji nenek Cucun yang kebetulan merupakan ibu dari pak Alam, dan turut datang sekaligus menyaksikan acara yang tengah Binar dan beberapa warga tonton.
Binar tersipu, tapi ia juga sedih karena yakin, akibat luka yang dokter Luri tinggalkan di wajahnya, selain wajah cantiknya yang jadi penuh luka berikut bekas yang tak bisa sepenuhnya hilang, kini wajahnya juga sampai sulit untuk dikenali, persis seperti bisik riuh yang ia dengar dari warga di sekitarnya.
“Dulu cantik banget, tapi sekarang wajahnya rus*ak dan sulit dikenali!” itulah yang Binar dengar dari para komentar warga di sekitarnya.
“Bekas luka di wajahku benar-benar parah,” batin Binar yang memberanikan diri untuk bercermin di lemari kayu yang ada di hadapannya. Lemari kayu yang juga menjadi tempat keberadaan televisi, selain beberapa perabotan maupun pakaian dan semua itu disusun sangat rapi.
Di rumah paling bagus dan masih serba berbahan kayu tersebut, Binar menunduk dalam. Binar merasa sangat nelangsa dan tak kuasa menahan air matanya, hingga cairan hangat dan biasanya terasa asin yang keluar dari kedua sudut matanya sukses membuat beberapa bagian dari lukanya yang belum sepenuhnya kering, terasa sangat pedih. Rasa pedih yang tak kalah pedih dari luka hati dan juga mentalnya, hingga ia ingin segera balas dendam.
Beruntung, kini keadaan di rumah pak kades terbilang ramai akibat acara menonton bersama yang sedang berlangsung. Boleh dibilang, layaknya kehidupan di tahun 90 ’an, warga setempat masih melakukan segala sesuatunya secara bersama-sama termasuk itu untuk sekadar menonton televisi. Jadi, berhubung di sana yang memiliki televisi hanya satu orang dan itu pak kades, suasana rumah pak kades akan sangat ramai di jam khusus warga untuk menonton. Kini, alasan rumah petinggi di sana ramai bukan untuk urusan khusus, melainkan untuk menonton bersama.
“Luka-luka di wajahku memang tidak bisa sembuh dalam waktu dekat, tapi andai aku menemukan obat yang lebih mutahir, penyembuhan bisa memakan waktu lebih cepat,” pikir Binar lagi menjadi jauh lebih bersemangat. Terlebih ketika tatapannya justru berhenti pada nenek Cucun yang duduk persis di sebelahnya. “Nenek Cucun pasti bisa membantuku menciptakan obat mutahir yang aku butuhkan!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Ita Mariyanti
wah ilmu br ki Thor 👍👍
2024-12-01
0
Ita Mariyanti
trs smngt dr Binar 💪💪🥰🤗🤗
2024-12-01
0
Ari Handayani
semangat Binar luar biasa
2024-07-31
0